Perangkap Arsen

1134 Words
“Apa tidak ada stok darah rumah sakit, Dokter?” tanya Bianca putus asa. “Rumah sakit tidak memiliki stok darah Golden Blood karena pemilik darah tersebut sangatlah langka, dan hanya ada beberapa orang saja yang memilikinya,” ujar Arsen. “Berikan saya data data tentang anak anda.” Arsen mengulurkan tangannya kepada Bianca. Spontan Bianca menyerahkan hapenya yang berisi foto Kartu Keluarga sebagai data lengkap. Mata arsen melebar saat melihat Kartu Keluarga tersebut, disana tertulis Bianca Florensia sebagai orang tua tunggal dari anak yang bernama Abian Rasbiano. Kening Arsen berkerut melihat foto tersebut, dia langsung mengirimkan foto tersebut ke nomornya untuk diteliti lebih lanjut sekalian untuk mendapatkan nomor Bianca jika ada hal yang diperlukan nantinya. Bianca berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut dengan pikiran kacau. Tubuhnya terasa sangat lelah, dan lemah membayangkan keadaan anaknya yang kritis. Hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan anaknya. “Selidiki semua data yang tertera pada kartu keluarga tersebut. Jangan menghubungi gue jika belum menemukan informasi lengkapnya!” perintah Arsen kepada Alex melalui sambungan telepon. Setelah mengeluarkan perintah tersebut, Arsen mematikan sambungan telepon secara sepihak tanpa mendengarkan jawaban Alex. Beragam umpatan keluar dari mulut Alex saat melihat sambungan yang sudah terputus. Begitulah Arsen, ucapannya merupakan perintah bagi siapa pun. Ucapannya mutlak dan tidak bisa dibantah lagi. “Maaf, Buk. Anda dipanggil Dokter Arsen,” ucap seorang perawat yang telah berdiri di depan Bianca. Bianca bergerak cepat menuju ruangan sang dokter seraya menghapus air matanya. “Duduklah,” ucap Arsen sambil menatap mata Bianca yang berwarna hijau terang. Mata yang membuat jantung Arsen berdetak dengan lebih kencang. “Bagaimana keadaan anak saya, Dok? Apa sudah ada donor darahnya?” tanya Bianca dengan suara bergetar. “Belum. Apa imbalan yang bisa saya dapatkan jika bisa menyelamatkan nyawa anak anda?” Arsen menatap wajah Bianca yang terlihat sangat kusut, tetapi masih terlihat sangat cantik. Belahan dagunya terlihat sangat seksi di mata Arsen. “Saya akan melakukan apa pun yang anda minta selagi dibatas yang wajar dan bisa saya kabulkan,” lirih Bianca sambil menegadahkan kepalanya untuk menahan butiran bening yang hendak meluncur dari sudut matanya. “Deal! Tanda tangan di sini! Kamu harus menuruti semuanya dengan patuh.” Arsen menyerahkan selembar kertas yang berisi perjanjian mereka. Setelah membubuhkan tanda tangannya di atas materai, Bianca langsung keluar dari ruangan tersebut dengan harapan semoga ada jalan untuk anaknya. Arsen tersenyum menatap kertas yang sudah dibubuhi tanda tangan Bianca, “Kertas ini akan menjadi senjata berikutnya,” gumamnya dengan smirk yang tercetak jelas di sudut bibirnya yang tipis. Bianca duduk di samping ranjang anaknya yang masih belum sadarkan diri. “Maafkan Mommy, sayang,” lirihnya dengan air mata yang mengalir dengan deras. “Cepat bangun, sayang. Mommy yakin Abi pasti akan sembuh, Abi anak yang kuat.” Bianca terus bermonolog dengan anaknya. Hanya itu satu satunya usaha yang bisa dia lakukan untuk mengembalikan kesadaran anaknya. Derap langkah seseorang terdengar sangat jelas di telinga Bianca, dia memutar tubuhnya menatap ke arah pintu untuk melihat siapa yang masuk. Tampak Dokter Arsen yang telah berdiri di samping kanan ranjang pasien. “Keadaannya sebentar lagi akan membaik. Donor darah sudah didapatkan,” ucap Arsen dengan tersenyum menatap kepada Abi. Sudut matanya berembun melihat keadaan Abi yang terbaring dengan lemah. “Terima kasih, Dokter,” ucap Bianca seraya memegang tangan Arsen dengan tersenyum bahagia, tetapi air mata masih mengalir di wajahnya yang cantik itu. “Maaf.” Bianca melepaskan tangannya saat menyadari tatapan Arsen yang menatapnya dengan kening berkerut. Derap langkah kaki seseorang yang memasuki ruangan tersebut membuat Bianca menoleh dengan cepat. Bianca membungkukkan tubuhnya kepada Alex. Dia mengenal Alex sebagai pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Sedangkan Alex tersenyum penuh arti kepada Arsen yang menatapnya dengan kening berkerut. “Tidak perlu seformal itu, Nona. Kita sedang tidak berada di kantor,” ucap Alex seraya menoleh kepada pasien. “Bagaimana keadaannya?” tanya Alex dengan wajah yang sulit diartikan. “Sebentar lagi akan mendapatkan donor darah,” ucap Arsen seraya berjalan keluar dari ruangan tersebut yang diikuti oleh Alex di belakangnya. “Silakan keluar dahulu, Buk,” ucap beberapa orang perawat yang baru memasuki ruangan tersebut dengan peralatan lengkapnya. Bianca segera keluar dari ruangan tersebut dan menunggu di luar. “Bagaimana?” tanya Arsen begitu mereka sampai di dalam ruangan pribadinya. “Sangat banyak informasi yang didapatkan. Tetapi itu baru informasi awal. Selanjutnya masih dalam penyelidikan. Bianca bekerja di perusahaan sebagai petugas cleaning service. Enam tahun yang lalu, dia di usir dari rumahnya karena hamil. Dia perempuan yang sangat cerdik dan pintar. Maka, berhati hatilah dalam bertindak.” Alex menyudahi kalimatnya. “Sudah aku duga,” ucap Arsen dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celananya. Kepalanya mengangguk pelan saat berbicara. “Aku sangat yakin dialah orangnya,” lirih Arsen seraya berjalan menuju dinding kaca ruangannya yang menampilkan pemandangan kota. “Jangan seyakin itu. Takutnya bukan dia orangnya,” nasihat Alex yang masih meragukan semuanya. “Aku tidak pernah seyakin ini sebelumnya dan Abi memiliki kalung yang sama,” ujar Arsen. “Semoga saja semuanya memang benar demikian,” ucap Alex dengan tangan yang bersilang di depan dadanya. Hanya Alex yang mengetahui bagaimana kacaunya Arsen selama enam tahun ini. Enam tahun sudah mereka melakukan pencarian yang sia sia karena tidak menemukan petunjuk apapun. Dilain tempat, Bianca berdiri dari duduknya saat melihat beberapa orang perawat mendorong hospital bed keluar dari ruangan. “Keadaan anak anda akan segera pulih, Buk. Dia akan dipindahkan ke ruangan rawat inap,” ucap salah seorang perawat kepada Bianca. “Terima kasih, suster,” ucap Bianca dengan tersenyum lega. “Sama sama, Buk. Mari,” ucap perawat tersebut dan berjalan dengan cepat. Bianca sampai di ruangan Residence yang berada di lantai tiga rumah sakit tersebut. Bianca menatap ruangan yang paling mahal tersebut dengan kening berkerut heran dan kepala yang memikirkan berapa uang yang harus dia keluarkan untuk biaya menginap di ruangan tersebut. “Mengapa anak saya dirawat di ruangan ini, Suster?” “Ruangan ini dipilih khusus agar anak anda segera pulih dan mendapatkan perawatan yang maksimal,” ucap perawat seraya memindahkan infus dan kantung darah yang mengalir dengan sangat cepat. Kepala Bianca berdenyut nyeri memikirkan dengan apa dia akan membayar tagihan ruangan yang bernilai sebulan gajinya dalam satu malam saja. “Tetapi,,” ucapan Bianca terpotong karena kehadiran Arsen dan Alex di ruangan tersebut. “Tetapi apa?” tanya Arsen cepat dengan tatapan tajamnya. Jantung Bianca memompa darah dengan cepat saat melihat bola mata Arsen yang berwarna biru lembut. Sama persis dengan mata Abi anaknya. “Saya tidak mempunyai uang untuk membayar ruangan ini. Apa tidak bisa dipindahkan saja ke ruangan yang biasa?” tanya Bianca. “Ingat dengan perjanjian anda, Nona. Maka, menurutlah!” Bianca langsung diam mendengar ucapan Arsen yang sedingin kulkas. Bianca menundukkan kepalanya dan tidak berani membantah lagi. Tiba tiba hape Bianca bergetar dan tampak panggilan dari Dion yang merupakan kepala bagian cleaning service.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD