Bertemu untuk pertama kalinya

1157 Words
"Gio, apa kau sadar yang kau lakukan?" "Nona, maafkan aku, aku mengaku salah, tolong jangan pecat aku." Gio merengek seperti seorang perempuan, dia bahkan sampai berlutut di dekat meja kerja Nita. Nita menggeleng melihat tingkah pria itu, "berdirilah, karena itu tidak akan membantu." "Nona, tolong jangan begitu, aku janji aku akan memperbaiki kesalahanku." Gio masih terus merengek meminta agar Nita tidak memecatnya. "Aku sudah memberimu banyak kesempatan tapi kau selalu mengulangi kesalahan yang sama, jika kau jadi aku, apa yang akan kau lakukan?" Gio tahu kali ini dia tidak akan lolos lagi, dia sudah sering menggunakan fasilitas perusahaan untuk memperdaya seorang wanita. "Baiklah, aku mengerti," Gio bangkit berdiri dengan wajah menunduk. Nita mengambil sesuatu dari laci mejanya, sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja, "ini ada uang untukmu, mungkin jumlahnya tak seberapa, tapi mungkin itu cukup untukmu membuka modal usaha." Nita menyodorkannya ke arah Nita. "Dan satu lagi pesanku, lain kali jadilah orang jujur, agar kejujuranmu itu bisa menjagamu." "Tapi nona, jika boleh memilih aku masih ingin bekerja di sini." Rengek Gio sekali lagi. Nita menggeleng, keputusannya kali ini sudah bulat, dia harus memecat asistent pribadinya ini untuk memberinya efek jera. Dirinya juga sudah memberinya uang sebagai modal usaha, dia pikir dia sudah cukup bijaksana dalam mengambil keputusan. "Tapi maaf, Gio. Tidak bisa lagi, aku mohon kau mengerti." Gio meraih uang yang di berikan oleh Nita dengan linangan air mata, "terimakasih nona, selama ini kau sudah baik padaku, dan aku malah menyia-nyiakan kebaikanmu, kali ini aku janji akan jadi orang yang lebih jujur dan sukses." Ucap Gio tulus. "Aku harap kau tidak membenciku, dan sampaikan salam ku pada ibumu, lain kali aku akan tetap mengunjungi beliau." "Sekali lagi terimakasih nona, aku sudah melakukan banyak kesalahan, tapi kau masih mau peduli padaku." "Aku tahu kau memang bersalah Gio, tapi aku juga tahu kau anak baik yang selalu ingin berbakti pada orang tuamu satu-satunya, yaitu ibumu, jadi lain kali, jangan membuat ibu mu sedih dengan tingkahmu yang seharusnya tak kau lakukan." "Kau benar, nona, maafkan aku, aku hilaf." "Jadilah orang jujur, jadilah apa adanya, agar kau juga mendapatkan seorang gadis yang juga mencintaimu apa adanya." "Hatimu sungguh mulia nona, aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi padamu." "Jangan terlalu memujiku, aku begini karena aku ingat pesan mendiang ayahku, beliau berkata, kita harus tetap berbuat baik meski orang itu memiliki kesalahan pada kita, karena membalas perbuatan baik pada orang yang berbuat salah pada kita, akan memutus mata rantai keburukan." "Mendiang ayah anda sangat bijaksana, nona. Sama seperti anda. Kalau begitu, aku permisi dulu, nona." Gio mengangguk hormat untuk yang terakhir kalinya. "Hem... Hati-hati di jalan," Gio mengangguk dan berlalu pergi dari ruangan Nita. Aku harap dia akan benar-benar sadar kali ini. *** Seorang pria melihat Gio baru saja keluar dari ruangan Nita dengan wajah murung. Pria itu merasa penasaran dan mendekatinya. "Maaf, apa benar ruangan yang itu ruangan nona Nita?" Pria itu mencoba menghentikan langkah pria itu dan mencoba berbasa-basi. "Benar, ada apa?" Gio menatapnya menyelidik. Sepertinya dia belum pernah melihat pria itu di kantor ini. "Kau terlihat tidak baik, apa yang baru saja terjadi?" Tanya pria itu dengan memasang wajah simpati. "Nona Nita baru saja memecatku, jadi aku merasa sedih." Sahut Gio jujur. Saat ini dia hanya ingin meluapkan rasa sedihnya tanpa berpikir dia sedang bicara dengan orang asing. Pria di hadapannya terlihat makin penasaran dan hendak mengajukan pertanyaan lagi, "memang kau di pecat karena apa?" Karena selama ini rumor yang beredar di luaran sana, Niya adalah seorang wanita yang angkuh, sombong dan arogan. Gio menatap pria asing di hadapannya itu sesaat. Dia merasa sedikit curiga. "Ah... Aku hanya ingin mencari tahu, karena aku juga sedang ingin melamar kerja di sini, aku hanya ingin tahu apa bos besar perusahaan ini benar-benar seperti yang rumor kan di luaran sana?" Pria itu mencoba meyakinkan Gio. "Maksudmu apa? Jika kau ingin tahu yang sebenarnya, lebih baik kau buktikan sendiri saja." Kali ini Gio merasa tidak perlu bicara panjang lebar lagi dengan pria aneh yang ada di hadapannya ini. Dia melenggang pergi begitu saja meninggalkan pria itu. "Hei... Kenapa dia malah pergi?" Gumam pria itu. Padahal dia belum selesai mencari tahu. "Baiklah, sepertinya aku harus mencari tahu, orang sepeti apa Wanita ini? Kenapa Ayah ngotot sekali ingin menjodohkan ku dengannya." Tok... Tok... Tok.... "Masuk!" Sahut Nita dari dalam ruangan kerjanya. Pria dengan kemeja putih dan celana hitam itupun masuk ke ruangannya. "Permisi, Nona. Aku adalah orang yang menerima panggilan kerja di perusahaan nona. Orang HRD mengatakan jika aku bisa langsung menghadap nona kemari." Nita yang sejak tadi fokus dengan layar laptopnya, kini mengalihkan perhatiannya pada pria yang masih berdiri di hadapannya itu. Benar saja, dia memang sengaja menyuruh bawahannya dari jauh-jauh hari untuk mencarikan pengganti Gio. Tapi dua tidak menyangka akan mendapatkan pengganti secepat ini. Padahal dia baru saja memecat Gio. "Duduklah," Nita mempersilahkan pria di hadapannya itu untuk duduk. Pria itu menarik kursi dan duduk dengan tenang. Lumayan, ternyata dia cantik juga. Tapi astagfirllahalazdim pakaiannya... Pria itu buru-buru menundukkan pandangannya. Nita memang memakai pakaian yang cukup terbuka di bagian dadanya. "Boleh aku lihat profile-mu?" Ujar Nita. Pria di hadapannya menyodorkannya dengan wajah tetap menunduk. Dalam hatinya dia terus beristigfar meminta ampun karena telah tanpa sengaja memandangi tubuh wanita di hadapannya tadi. Nita membuka map warna hitam yang baru saja di sodorkan padanya, lalu mulai membacanya dengan seksama. "Namamu ... Pria Aditama?" Ucap Nita merasa ragu. "Bagaimana aku harus memanggilmu?" Tanyanya lagi. "Anda bisa memanggilku dengan Pria, nona." Nita tiba-tiba tertawa geli sendiri, "ini seperti sebuah kebetulan, namaku Wanita, dan kau Pria?" Dia tidak terlihat seperti yang orang-orang katakan. Pria membatin. "Bahkan kau lulusan luar negeri, kau kuliah di Kairo?" Tanya Nita lagi merasa takjub. "Alhamndulillah, itu karena aku mendapat bea siswa." Pria berusaha merendah, agar Nita yakin jika dirinya memang benar-benar dari keluarga sederhana dan memang sedang ingin mencari kerja. Meskipun sebenarnya, Pria adalah anak orang kaya, dan dia juga seorang pemimpin perusahaan besar. Semua dia lakukan demi menyelidiki calon istri yang di jodohkan sang ayah padanya. "Baiklah, pria, kau di terima kerja di sini. Selamat ya?" Nita mengulurkan tangan hendak menjabat tangan Pria sebagai tanda selamat. Tapi Pria hanya membalasnya dengan menangkupkan kedua tangannya di d**a. Nita merasa aneh namun dia berusaha untuk tidak tersinggung. Dia menarik tangannya perlahan. "Maaf Nona, bukannya aku tidak mau berjabat tangan, tapi agamaku mengajarkanku untuk tidak menyentuh seorang wanita yang bukan mahrom." "Mahrom?" Nita merasa kebingungan, semenjak ayahnya meninggal 19 tahun yang lalu, saat umurnya masih 5 tahun,selama itu pula dia tidak pernah belajar agama lagi. Sedangkan Ibunya adalah seorang Nasrani yang taat, tapi Nita juga tidak pernah mengikuti ajaran ibunya. Dia masih belum menemukan jati dirinya sendiri. Meski begitu, Nita selalu menanamkan nilai-nilai kebaikan yang pernah di ajarkan ayahnya padanya dalam kehidupannya. Pria merasa bingung kenapa Nita seolah tak mengerti dengan apa yang di katanya, jika Nita seorang muslim sama sepertinya, seharusnya dia tahu apa yang di katanya bukan? "Maaf, aku ingin tanya, kau seorang muslim juga kan?" Pria malah balik bertanya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD