Oke fix aku gila...!!
Ralat sedikit, aku gila dan nekat lebih tepatnya. Sudahlah gila karena pesona seorang Sita yang hari ini tampil kece badai. Ditambah aksi super nekat ku yang mencium pelipis Sita di tempat umum. Ciuman kecil sih, tapi ngefek parah pada jantungku yang tiba-tiba kelonjotan berdisko ria. Kalau Sita, entahlah apa yang dia rasa, aku cuma melihatnya tersenyum tipis saat aku dengan percaya diri merengkuh pinggang rampingnya.
Tapi kan niatku baik ya, menyelamatkan Sita dari si pria yang dipanggilnya mas Bayu mas Bayu itu. Gak perlu jauh-jauh nanya ke dukun handal siapa si mas Bayu itu, palingan juga mantan. Kelihatan lah dari tingkah Sita yang terkesan menghindar, berbanding terbalik dengan sikap si pria berambut klimis yang tampak mengejarnya tadi. Ngarep balikan mungkin. Tapi jangan harap bisa balikan, bisa hancur hati hamba kalau sampai Sita dimiliki orang lain.
"ICAAALLLLL.....!!!"
Suara Sita yang melengking manja membuatku sontak menutup kedua telinga. Kami sudah tiba di basement gedung acara saat ini, menuju tempat parkir mobil yang kubawa tadi. Saat aku merasa Sita sengaja mendorong tubuhku menjauh dan dia mencak-mencak tak karuan.
"Lain kali gak boleh gitu, GAK SOPAN!!!" lanjutnya dengan wajah ketus, tapi tetap cantik paripurna tiada tara.
Eh, bentar. 'lain kali' katanya?
"Iya.. iya ... mbak... Ampuuun.." seruku sambil menangkup kedua tangan di depan layaknya memohon ampunan karena jemari lentiknya sudah mencubit kecil tepat di perutku.
"Lain kali langsung aku cipok bibir aja yaa, biar kamu gak marah." lanjut ku lantas berlari menghindari Sita yang wajahnya berubah jadi judes level dewa karena godaanku barusan.
Duh yaa ... Semenyenangkan ini ternyata menggoda si cantik Anarasita putri sulung papa Rio. Jiwa jombloku yang sudah mendarah daging sejak SMA mendadak meraung-raung ingin segera nembak si Sita ini. Wajahnya itu loh, gemesin banget meski lagi marah.
"Ckk.. dijaga lah tuh bibir biar gak main sosor aja." telunjuknya mengarah padaku dengan sorot mata yang gak ada manis-manisnya sama sekali.
"I saved you Sita." jawabku santai.
"Iya, tapi gak pake adegan cium-cium gitu." telunjuknya mengarah padaku lagi saat kami hampir sampai di tempatku memarkir mobil.
"Iya deh maaf, kan dikit doang buk, anggap aja kompensasi karena aku udah bawa kamu pergi dari hadapan si Bayu itu. Siapa sih? Mantan terindah ya? Ganteng gitu." godaku sengaja menaikturunkan kedua alis tebalku.
"Hadeh najis dunia akhirat!" umpat Sita dengan wajah memerah dan mengangkat tangan hendak memukulku dengan clutch nya.
"Ampun mbak, ampuuun." pekikku lagi-lagi berlagak memohon. "Dahlah kencan aja yuk biar kamu lebih adem, gak marah-marah terus." bujukku lagi.
"Ogah."
"Katanya tadi mau kencan sama mas Fais." aku tak mau berhenti menggoda gadis cantik yang kini melirikku sinis itu. Kapan lagi kan?
"Kencan aja sendiri, setelah antar aku pulang tapi ya." jawabnya lantas duduk di kursi depan bersebelahan denganku yang duduk anteng dibalik kemudi.
"Duuuuh ya cobaan banget kalau anak perawan pak Rio lagi marah gini." balasku saat menyalakan mobil.
"Siapa yang lagi marah?"
"Tuh manyun aja bibirnya dari tadi."
"Gak marah, mood swing aja tiba-tiba."
"Gara-gara si mas Bayu tadi?" tanyaku berharap dia mau berbagi kisah.
"Ya, gitu deh. Gak usah dibahas, pulang aja yuk."
"Dari pada pulang dengan mood jelek gitu, mending kita ke tempat yang enak buat lepasin penat yuk." ajakku tiba-tiba.
"Ke mana?"
"Paralayang mau?"
***
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai juga di puncak Paralayang. Salah satu destinasi wisata ciamik untuk memanjakan mata di kota Batu Malang. Dan untungnya aku selalu siap sedia membawa jaket tebal didalam mobil. Jadi begitu udara sejuk menyapa dan menusuk kulit, aku langsung sigap menyampirkan jaket tebalku dipunggung Sita yang nampak kedinginan.
"Sudah mau cerita?" ucapku memecah keheningan saat kami menunggu pesanan cokelat panas dari salah satu kedai.
"Gak ada yang jadi bahan cerita sih." jawab Sita sambil melemparkan pandangan jauh ke hamparan bukit hijau di depan kami.
"Tentang si Bayu yang tadi itu mungkin. Siapa tau habis cerita mood kamu jadi lebih baik." saranku.
"Cuma mantan kok."
"Tapi kayaknya dia masih ngarep kamu ya?" cecar ku penasaran.
"Ckk ... mana ada, udah punya tunangan dia." akhirnya mau cerita juga kan kamu non. Butuh pancingan aja ternyata.
"Monggo cokelatnya mas, mbak. Ini mienya yang pedes, ini yang gak pedes."
Ibu-ibu paruh baya dengan wajah teduh menjeda pembicaraan kami. Sita langsung mengambil gelas berisi coklat panasnya setelah mengucap terima kasih pada si ibu. Kedua tangan Sita berputar-putar pelan dipinggiran gelas demi menyalurkan rasa hangat.
"Masih kedinginan?" tanyaku sedikit khawatir. Kugeser sedikit posisi dudukku agar lebih mendekat padanya.
"Nggak kok, udah anget nih kena cokelat." jawab Sita tanpa menoleh ke arahku.
"Si Bayu tadi gimana?" lanjut ku tak bisa berhenti penasaran.
"Bahas yang lain aja bisa gak Cal? Aku udah gak ada hubungan apa-apa sama mas Bayu, males aja bahas masa lalu."
"Tapi tadi kok menghindar gitu?"
"Ya kali mau aku tanggepin, dikata dia udah punya tunangan juga. Jangan sampe deh aku dicap pelakor. Serem tau Cal."
Eh, pinter juga sih Sita. Bisa tegas ambil sikap. Mantan ya mantan, apalagi kalau sudah punya pasangan baru. Ya sudah, tutup pintu hati rapat-rapat karena sudah tidak ada harapan.
"Cal?" ulangku meniru panggilannya. "Lebih enak dipanggil mas Fais kayak tadi deh. Mesra aja gitu dengernya."
"Tadi cuma acting Cal, jangan ngarep dipanggil mas beneran lah. Usia kamu tuh kayak Shila, jauh di bawah aku."
Sita tersenyum menoleh padaku, haduh tatapan matanya bikin hamba klepek-klepek ya Tuhan.
"Usia cuma angka Sita. Tapi soal kedewasaan, sepertinya kita sama atau bahkan aku lebih dewasa." seruku sok bijak.
"Yaa ... Whatever lah, tapi kayaknya kamu lebih cocok sama Shila." katanya sambil meraih mangkok berisi mie ayam yang terlihat menggiurkan itu.
"Tapi hatiku cocoknya sama kamu Sita. Gimana dong?" spontan Sita menatapku meski hanya beberapa detik.
Entah kenapa dari dulu aku paling gak bisa berbasa-basi dengan perasaan. Kalau suka aku akan bilang langsung, begitu pula sebaliknya.
"Ckk ... bocah, coba ngerayu nih ceritanya?"
"Gak boleh ya?"
"Masih bocah aku bilang." tolaknya cengengesan.
"Eeh... bocah darimana? Gini-gini bisa bikin bocah juga loh. Mau bukti?" tantangku membusungkan dadà membuatnya tergelak.
Aku benar kan?
Cinta ya cinta aja, kenapa harus mempermasalahkan usia sih? Gak jaman. Aku sama Sita cuma terpaut empat atau lima tahun kok, gak kelihatan. Apalagi Sita tampangnya imut kebangetan gitu, kalau jalan sebelahan malah kelihatan aku yang lebih tua. Sita benar-benar gak kentara jika lebih tua dariku dari segi usia.
"Dah ah.. becanda mulu kamu Cal. Balik yuk, makin dingin nih. Besok pagi-pagi banget aku harus ke sekolah."
"Sekolah? Ngapain?"
"Eh, aku belum cerita ya kalo aku jadi pelatih karate di SMP Tunas Bangsa."
Aaah ... Aku baru ingat jika Sita ini juga atlet karate. Temannya yang tadi menikah pun teman sesama pelatih karate. Gokil kan pilihanku, cantik, judes-judes manja jago bela diri pula.
"Oya? SMP yang di Hamid Rusdi itu?" tanyaku memastikan.
"Iya, yang didepan balai kota itu. Alumni sana?" jawabnya sambil menutup erat jaketku yang membungkus tubuhnya.
"Iya doong, adek sama sepupuku juga sekolah di situ." aku teringat Maisha yang memang baru lulus dari sana.
Setelah menghabiskan makanan yang kami pesan, akhirnya kami berdua beranjak dari paralayang setelah absen sholat Maghrib di masjid dekat alun-alun kota Batu.
"Banyak yang ikut ekstra karate?" tanyaku lagi begitu menjalankan mobil.
"Lumayan, sekitar tujuh belasan anak lah." jawabnya masih fokus ke jalan depan. Entah kenapa Sita ini jarang sekali menoleh ke arahku saat kami duduk bersebelahan di dalam mobil seperti ini. Tatapannya selalu saja berbinar menatap lampu jalanan atau deretan hijau di sebelah kirinya.
"Boleh ikutan daftar gak?"tanyaku spontan.
"Daftar apa?" tanyanya masih tak menoleh padaku yang kini malah sibuk mengeluarkan gawai dari clutch nya.
"Daftar jadi.." aku menghela nafas panjang dan menoleh padanya yang sekarang nampak santai melepas jepit yang menahan gelungan rambutnya. "pacar kamu!!"
Gotcha..!!
Akhirnya dia menoleh dan membalas tatapan tajamku. Tentu saja dengan tatapan yang tersirat bahwa di kepalanya dipenuhi banyak tanda tanya dengan kelakuan spontan ku.
"Aku serius Sita." lanjutku lagi sebelum ia membuka mulut untuk menjawab atau meragukan pernyataanku.
***