“Bukankah lamaran ini, kejutan yang sengaja Zean siapkan untuknya?”
Episode 3 : Lamaran Kejutan
***
Melia melangkah tergesa memasuki toilet dengan d**a yang berdebar-debar. Sebelah tangan wanita itu menggenggam erat sebuah test pack, sedangkan sebelahnya lagi meremas ujung baju bagian perut yang dikenakan. Setelah harap-harap cemas, rasa tak percaya sekaligus terpukul mendadak menyekap Melia dalam waktu bersamaan dikarenakan dua garis merah justru menghiasi test pack-nya sebagai hasil pemeriksaan.
Dunia Melia seolah hancur detik itu juga. Gemetaran dan air mata juga menjelma menjadi kawan baik menyertai tubuhnya yang berakhir terduduk di kloset. Terlebih, test pack miliknya masih sama tanpa perubahan sedikit pun. Benda kecil tak lebih panjang dari jari telunjuknya itu masih menampakkan dua garis merah yang begitu terang, kontras dari harapan yang terus ia harapkan bahkan hingga detik ini.
Kini, di kepala Melia hanya ada dua pertanyaan; kenapa ia harus hamil setelah Zean memilih meninggalkannya bahkan pria itu juga tidak menganggap hubungan mereka? Serta, apa yang harus ia lakukan, sedangkan Zean sudah tidak bisa diharapkan?
Melia terpejam pasrah dengan sesak yang memenuhi dadanya. “Seharusnya aku tidak pernah percaya kepadamu!” rutuknya dalam hati seiring benaknya yang dipenuhi sosok Zean.
***
Sehari setelah Melia melakukan pemeriksaan test pack, ia yang tengah mengepel teras depan rumah, dikagetkan oleh kedatangan orang tua Zean. Belum lagi, ternyata orang tua Zean tidak datang berdua, melainkan bersama lima pasang paruh baya lainnya. Mereka datang dalam tampilan rapi, membawa beberapa bingkisan tak beda dengan seserahan.
“Ya ampun, Mel, ini sudah jam berapa? Kamu baru pulang kerja, tapi masih sempat mengepel?” ujar Pristine—mama Zean—tak habis pikir, sambil membenarkan posisi tas abu-abu yang menghiasi pundak kanannya.
“Memangnya kamu nggak capek?”
Rona kagum dan cemas terpancar dari senyum yang menghiasi wajah cantik Pristine, kepada Melia. Bahkan ujaran wanita bertubuh langsing itu, membuat setiap wajah di sana mengalami hal serupa. Mereka menatap Melia penuh kagum.
“Rajin benar calon menantunya, Mbak.”
“Iya, malam-malam begini. Jarang-jarang, apalagi anak zaman sekarang.”
“Mungkin paginya nggak keburu. Calon mantumu, kan, desainer super sibuk.”
“Enggak salah pilih, nih, si Zean. Kalau begini sih, aku juga mau, buat si Ecxel.”
Jas warna cokelat s**u yang dilipat hingga siku menyertai gaun selutut warna putih sementara buih keringat mengalir dari ujung kepala hingga leher, menjadi tampilan paling mencolok Melia. Terlepas dari itu, Melia yang terlihat bingung juga menjadi serba salah. Wanita berusia 27 tahun itu sangat gugup, hingga mengangkat ember pel saja kebingungan.
“M-maaf, Om, Tante, semuanya ... mari masuk. Maaf, ya, kalau masih berantakan.”
Setelah menghiasi wajah lelahnya dengan senyum, Melia segera menenteng ember dan tongkat pelnya, memimpin jalannya langkah. Mereka masuk rumah. Rombongan orang tua Zean, langsung mengamati suasana rumah sederhana kunjungan mereka yang terbilang rapi dan bersih.
“Melia pasti gugup, Mah. Bukankah lamaran ini, kejutan yang sengaja Zean siapkan untuknya?” lirih Joan—ayah Zean, tepat di dekat telinga Pristine, tapi sampai terdengar Melia.
Langkah Melia memelan. Lamaran kejutan? Ia mengerling. Ekspresi wajahnya seperti bertanya, “masa, sih?” Ia tidak percaya Zean akan memberinya lamaran kejutan, setelah apa yang terjadi pada hubungan mereka. Bukankah pria itu lebih memilih Fanny dan memintanya untuk merahasiakan hubungan mereka?
Keluarga Zean tampak antusias di antara senyum yang kian lepas. Dengan tampilan rapi, kompak mengenakan nuansa batik, acara resmi seolah menjadi tujuan mereka. Terlepas dari itu, semua wajah wanita yang datang sudah beberapa kali Melia jumpai, karena mereka merupakan pelanggan butik tempatnya bekerja. Mereka saudara Pristine, sementara pria paruh baya yang menyertai, mungkin suami mereka—panggilan akrab yang mereka sematkan dan terdengar intens—sudah cukup menegaskan bila dugaan Melia benar.
Jadi, Zean sengaja menyiapkan semuanya? Pria itu sengaja memberinya lamaran kejutan? Memikirkan itu, Melia jadi terenyuh dan bahkan nyaris menitikkan air mata. Setelah semua yang terjadi pada hubungan mereka, dari Zean yang tiba-tiba memutuskannya serta kenyataan paling mengejutkan lagi yaitu mengenai kehamilannya, rasanya tidak aneh jika pria itu memang sengaja menyiapkan lamaran kejutan untuknya.
Setelah sempat terdiam dalam tunduknya, tiba-tiba saja Melia tersipu atas bahagia yang tiba-tiba saja menyelimuti hatinya. Bahkan ia ingin bermanja kepada Zean secepatnya. Nuansa hangat menjadi menggeliat dalam sanubarinya. Pun kendati perih tak sepenuhnya sirna dari kehidupannya. Yang jelas, akhir-akhir ini Melia memang cengeng dan sangat sensitif. Ia sadar, kenapa itu bisa terjadi. Mungkin tak ayal atas keberadaan jabang bayi dalam rahimnya.
***
Sebuah teko yang mengepulkan asap dan menebarkan aroma teh hijau, Melia sajikan lengkap dengan cangkir berikut lambar. Potongan bolu dan brownies yang disusun di wadah saji juga turut Melia sajikan untuk menemani. Dan tak lama kemudian, Melia menuangkan isi tekonya dengan hati-hati ke setiap cangkir.
Melia bersyukur, karena sebelum pulang kerja, ia sempat mampir ke swalayan dan membeli semua itu, selain beberapa buah juga s**u hamil untuknya. Entahlah, selain karena memang ingin mengonsumsi dan belum pernah terjadi sebelumnya, mungkin jabang bayi dalam perutnya tahu, papanya mengirimkan keluarga besar untuk lamaran kejutan sementara jamuan harus disiapkan.
“Om, Tante, semuanya, ayo dicicipi. Dihabiskan juga boleh.” Rona bahagia tak dapat Melia sembunyikan. Wajahnya tak lagi dihiasi senyum palsu, melainkan senyum tulus yang sampai membuat wajah putih bersihnya merona. Bahkan, rasa hangat yang berubah menjadi panas, ia rasakan bersemayam di kedua pipinya.
Masih menatap Melia penuh senyum, semuanya menjadi tertawa.
Tak pernah terbayang sebelumnya oleh Melia, pertemuannya dengan keluarga besar Zean, akan membuatnya merasakan banyak rasa; tegang, gugup, bahagia, bahkan semua rasa itu ia rasakan dalam waktu yang bersamaan.
“Langsung gagal diet, dong, Mel,” seloroh wanita yang mengenakan gaun lengan panjang motif batik keris warna cokelat muda, sambil memegangi perutnya yang memiliki dua lipatan besar.
“Alah ... diet is hoax! Mengakunya saja diet, .. tetapi hobi sama bakat terpendamnya ngemil!” timpal Joan. “Punya cita-cita langsing tapi hobinya makan!”
Semuanya kembali tertawa tanpa terkecuali Melia.
“Omong-omong, orang tuamu di mana, Mel?” ujar Pristine sesaat kemudian dan berhasil membuat Melia celingukan.
Semuanya kompak menatap Melia, menunggu balasannya. Rumah kunjungan mereka sangat sepi, dan sepertinya memang tidak ada penghuni lain kecuali Melia.
“Kebetulan lagi keluar kota, Tan. Lusa baru pulang.” Yang membuat Melia cukup bingung, apakah Zean tidak menceritakan perihal Melia yang sudah sebatang kara, kepada orang tuanya? Kenapa Pristine sampai bertanya seperti tadi, berikut rombongan yang mengikuti juga terlihat bertanya-tanya?
Sebagian senyum menepi dari wajah keluarga Zean. Dahi mereka kompak berkerut. Mereka saling berkode mata dan seolah mempermasalahkan balasan Melia.
Joan menelan ludah. Ia menyadari bila rombongan yang ia bawa, mempermasalahkan keberadaan orang tua Melia. Kemudian ia berbisik tepat di telinga kanan sang istri. “Kalau Zean kasih kabar, pasti nggak begini.”
“Memangnya nggak ada keluarga lain yang bisa datang? Bukan bagaimana, hanya saja, kedatangan kami memang diminta Zean untuk melamarmu, Mel.” Pristine menatap Melia penuh harap. Kemudian ia melanjutkan, “kalian harus menikah secepatnya.” Matanya mulai terasa basah. “Melihat hubungan kalian terlebih Zean menjadi serius mengurus perusahaan, sepertinya anak itu memang sudah ingin kamu urus total.” Ia menyadari, suaranya menjadi sengau. Namun apa yang ia katakan tulus dan sesuai kenyataan. Zean memang mengalami perubahan drastis semenjak menjalin hubungan spesial dengan Melia, tiga tahun terakhir.
Melia tersipu. Ia yakin pipinya makin merona. Ia bahagia. Tapi entah kenapa, rasa takut bahkan tidak yakin, masih menyertainya. Melia benar-benar tidak mengerti, pun ketika deretan seserahan ia terima. Ada gaun warna jingga berikut aksesori, termasuk tas dan sepatu. Tiga parsel buah, dua parsel berisi bolu dan manisan, juga cepuk hati berwarna jingga yang tentu menjadi pengikat Zean kepadanya.
Melia berharap Zean segera menghubunginya agar kecemasan yang terus saja melanda, tak lagi menghantuinya.
***
Di ruang keluarga, Zean tersenyum puas kala mendapati kepulangan orang tuanya. Ia yang sudah berpiama panjang warna biru tua, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Pria berusia 27 tahun itu segera bangkit dari sofa tempatnya duduk.
Joan menggeleng dan tersenyum geli melihat antusias putranya yang beberapa hari lalu tiba-tiba meminta dilamarkan calon pendamping. Ya, lamaran kejutan yang beberapa saat lalu ia berikan pada Melia-lah hasilnya. “Sudah sana, ditelepon atau langsung datang saja ke rumahnya.”
Sembari menghalau senyum, Zean berkata, “hari pernikahan sudah ditentukan juga, kan?” Ia yakin, panas yang mendadak menyita wajahnya, telah membuat pipinya merona.
Joan dan Pristine kompak menggeleng dan terlihat menahan geli. Hanya saja, ketika Joan berlalu sembari melepas jas hitam berikut dasi merah yang melingkar, Pristine mendekat kemudian mengelus lembut kepala Zean menggunakan tangan kanan.
“Orang tuanya masih di luar kota dan baru pulang lusa. Tapi diusahakan secepatnya,” ucap Pristine mencoba memberikan pengertian.
Zean menatap Pristine di antara binar bahagia yang tidak dapat ia sembunyikan. “Makasih banyak, Ma!” ucapnya yang kemudian memeluk Pristine sangat erat.
Tanpa Zean ketahui, Pristine sampai susah bernapas akibat pelukannya, tetapi wanita itu menanggapinya dengan santai. Pristine memaklumi cara bersikap Zean. Terlebih, hari-hari anaknya menjadi semakin dipenuhi kebahagiaan bahkan hal bermanfaat, semenjak menjalin hubungan dengan Melia.
“Sama-sama, Sayang. Mama yakin, dia wanita pilihan yang Tuhan siapkan untukmu. Karena semenjak dia ada dalam hidupmu, kamu banyak berubah dan tambah bertanggung jawab.”
Bersambung ....