“Aku mencintai Fanny, tapi Melia sedang mengandung anakku. Selain itu, mamah juga sangat menyukai Melia.”
Episode 8 : Menentukan Pilihan
****
Zean tengah berusaha mengambil keputusan terbaik. Baik untuk masa depannya, maupun jabang bayi di rahim Melia. Selain dilanda kebimbangan, langkah Zean juga loyo, sedangkan tatapannya kosong.
“Zean?”
Panggilan Pristine yang terdengar menaruh cemas, membuat Zean terjaga. Pria berambut cukup bergelombang itu menggeragap. Zean belum siap jika Pristine mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Tentang hubungannya dengan Fanny, juga hubungannya dengan Melia yang sedang mengandung anaknya.
“Mel, nggak jadi ke sini?”
Pristine melongok ke belakang Zean, memastikan keberadaan Melia—si wanita pendiam yang baginya, bahkan di mata orang yang mengenal Melia, serba bisa. Sayangnya ia tidak mendapati wanita itu di belakang anaknya, dikarenakan Zean memang datang seorang diri.
Zean yang masih mencoba mengurangi ketegangannya, mengatur napas pelan setelah turut menoleh ke belakangnya. Namun, langkah Pristine yang tertatih sementara kaki kanan wanita itu dihiasi beberapa koyok, berhasil mengusik perhatian Zean.
“Kaki Mama kenapa?” Zean menatap cemas kaki Pristine. Ia mendekat bahkan sampai berjongkok guna menatap lebih dekat kaki kanan sang mama.
Pristine menghela napas dan terlihat lesu. “Ini ... tadi siang, ceritanya Mamah ke butik tempat Mel kerja. Niatnya mau mengajak Mel makan siang sekalian bahas acara ke Singapur. Eh pas turun dari mobil, kaki Mamah malah keseleo. Gagal deh, acara makan siangnya. Yang ada Mamah malah merepotkan Mel.”
Yang membuat Zean menjadi semakin cemas bukan lagi keadaan kaki Pristine, melainkan pertemuan sang mama dengan Melia. “Terus, Mel bagaimana, Mah?” tanyanya hati-hati. Ia takut, Melia sudah menceritakan semuanya dan membuat keadaan semakin sulit ia kendalikan. Bisa panjang urusannya jika ia sampai kecolongan Melia!
Bahkan mungkin di luar kesadaran Zean, tatapan terhadap Pristine menjadi mengintimidasi. Wanita itu tengah membungkuk sembari memijat kaki kanannya yang penuh koyok.
Pristine mendongak. “Ya, yang mengurus Mamah. Satpam di butik panggil Mel, terus Mel antar Mamah ke tukang urut sebelum ke dokter. Mel juga ikut memijat sih, pas di mobil. Dia kelihatan cemas banget.”
Pristine teringat kejadian saat dirinya keseleo, tepat ketika baru menginjakkan kaki setelah keluar dari mobil. Ia mengakui jika dirinya ceroboh, hingga hak sepatunya tersangkut drainase. Tak lama berselang, satpam yang tak kalah panik dari sopirnya, segera memanggil Melia yang diketahui dekat dengannya.
“Tan-te?” seru Melia yang mempercepat larinya setelah tatapan mereka berpapasan. Melia segera jongkok kemudian memijit kaki kanan Pristine, yang duduk di jok penumpang dengan pintu terbuka lebar.
“Aduh, Mel.” Pristine merengek manja sembari memegangi kaki kanannya.
“Kita ke tukang urut saja, yah, Tan? Setelah itu langsung ke dokter?”
“I-iya, Mel. Sakit banget, ih!”
“Iya, Tan. Sabar, yah. Aku ambil tas dulu, sekalian cari tahu tukang urut terdekat. Sepertinya teman kerjaku ada yang tahu.”
“Iya, Mel. Cepat, ya. Tante takut kenapa-kenapa ....”
“Tante jangan mikir macam-macam dulu. Bentar, ya ....”
Seperti kedatangannya, Melia juga meninggalkan Pristine dengan berlari sementara kedua tangannya kembali menahan pangkat perut.
Mengingat itu, Pristine jadi merasa sangat malu. Tidak pernah ia sangka sebelumnya, jika karena kecerobohannya ia sampai terjungkal di tengah keramaian dan banyak orang yang menjadi mengerumuninya.
“Saking semangatnya mau ketemu mantu!” celetuknya tersipu. Setidaknya, kata-kata tadi akan menjadi s*****a andalannya dalam mengurangi rasa malu.
Zean yang menyimak perkara kejadian kecelakaan Pristine, menjadi merasa bersalah. Beban batinnya seketika bertambah lantaran sang mama begitu menyukai Melia. Keduanya bahkan sepertinya sudah sangat dekat melebihi apa yang ia pikirkan.
“Ini sudah jauh lebih mendingan, Zean. Soalnya tadi pas belum diurut, kaki Mamah kaku sampai nggak bisa digerakkan!”
Zean masih menjelma menjadi manusia kaku. Pria itu hanya diam. Sekadar manik matanya saja yang bergerak menyertai deru napas lirih tak bersemangat. Kalau siang tadi Melia telah menjadi malaikat untuk mamanya, dengan kata lain, apa yang dilakukannya pada Melia sudah sangat keterlaluan. Air s**u dibalas air tuba—itulah gambaran dirinya terhadap Melia. Tak hanya mengenai kejadian tadi siang, melainkan semua yang terjadi sebelumnya.
“Aku mencintai Fanny, tapi Melia sedang mengandung anakku. Selain itu, mamah juga sangat menyukai Melia.” Batin Zean.
Wajah Melia dan Fanny silih berganti memenuhi benak Zean. Melia si pendiam penuh perhatian, sementara Fanny si ceria penuh pesona. Dan Zean harus segera menentukan pilihannya!
***
Baru jam setengah tujuh kurang, Melia sudah sibuk menarik koper berukuran besar dan membuatnya keteteran. Di waktu yang sama, mobil Zean berhenti. Dahi pria berparas dingin itu menjadi berkerut menatap cemas Melia, di mana tak berselang lama setelahnya, ia bergegas setengah berlari ke arah wanita itu.
Melia memilih meninggalkan koper besar yang awalnya ia tarik menggunakan kedua tangan. Ia membungkuk dan terengah-engah menahan sakit sementara kedua tangannya sibuk meremas pangkal perut.
“Kok sakit, yah?” gumam Melia yang detik berikutnya menjadi terkesiap, lantaran Zean tiba-tiba hadir bahkan mencoba memastikan keadaan perutnya.
“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membawa koper sebesar ini?”
Tegang menyelimuti Melia detik itu juga. Bahkan sakit di pangkal perutnya langsung hilang tanpa sisa. Apa maksud Zean kembali perhatian kepadanya?
“Zean ...?” seru Fanny dari depan pintu.
Zean dan Melia terkesiap. Zean refleks balik badan menatap Fanny, sementara Melia buru-buru meraih dan menarik kopernya menggunakan kedua tangan. Melia mengerahkan sisa tenaganya dengan banyak ketegangan. Melia berharap semuanya akan menjadi lebih baik setelah ia pergi dari Zean dan Fanny.
Ketika Fanny yang berpiama merah hati beraksen hello kitty, langsung berlari ke arah Zean, Melia yang sudah rapi mengenakan gaun biru toska selutut menyerupai daster, buru-buru memasuki taksi yang langsung membawanya pergi. Sementara yang terjadi dengan Zean, pria berhidung bangir itu terlihat serba salah.
Pelukan mesra lengkap dengan kecupan di sebelah pipi, Fanny lakukan kepada Zean. Ia tak segan bergelendotan manja kendati Zean hanya bersikap biasa bahkan cenderung tak acuh. Tak beda dari kebersamaan kemarin, calon suaminya itu kembali terlihat gelisah, kurang fokus layaknya Melia.
“Aku enggak menyangka kamu datang sepagi ini, padahal aku baru bangun dan baru mau mengabarimu ...?”
Lantaran Zean masih menatap kepergian taksi yang membawa Melia, fokus Fanny pun teralih. Ia ikut mengamati dan membuatnya cukup melongok.
“Bakal ada yang kurang, setelah Mel pindah.” Fanny bertutur lirih sarat kesedihan.
Zean mengernyit. “Kenapa, Mel, pindah?”
“Ya biasalah ... Mamah kalau ngomong memang kadang pedas.” Fanny mengembungkan pipinya. Sebenarnya ia kesal dengan keputusan mamanya yang mengusir Melia secara halu. Namun mau bagaimana lagi, mamanya pasti melakukan itu karena ingin memberikan yang terbaik untuknya.
“Pedas bagaimana?” sergah Zean. Otot dan syaraf di wajahnya menegang. Ia menghela napas cepat beberapa kali dan tampak tidak sabar menunggu balasan Fanny.
“Ya ... kita kan mau menikah, sementara rumahku sempit. Jadi Mamah minta Mel, pindah sebelum kita menikah.” Fanny mengakhirinya dengan menatap Zean.
Perih memilin ulu hati Zean, yang detik itu refleks menelan ludahnya. Pun meski tiba-tiba, Fanny mengalungkan kedua tangan ke tengkuknya, hingga tubuhnya terguncang akibat ulah wanita itu. Seharusnya ia bahagia. Bukankah langkah awal menyingkirkan Melia sudah berjalan tanpa harus membuatnya turun tangan? Namun, kenapa hatinya juga menginginkan anak yang tengah bersarang di rahim wanita itu?
“Zean, bagaimana kalau setelah kita menikah, kita belikan rumah baru buat Papah-Mamaku, biar aku nggak kepikiran mereka? Kasihan, kan, kalau Papah sama Mamah tinggal di rumah ini? Rumah ini sudah sangat tua dan sempit ....” Fanny memasang wajah memelas, tepat di depan wajah Zean. Tak ada sepuluh senti, jarak wajah mereka.
Zean yang masih kepikiran Melia tidak begitu merespons.
“Zean!” panggil Fanny kesal.
Zean terkesiap dan segera menatap Fanny. “I-ya ... kamu atur saja maunya bagaimana ....”
Fanny kecewa dengan balasan Zean yang baginya kembali kaku. “Kok jawabannya begitu? Kaku banget kayak nggak rela?” Wajahnya menjadi ketus.
“Fan ....” Zean menatap serius Fanny.
“Sebenarnya apa yang kamu pikirkan sampai kamu jadi nggak fokus? Kamu sedang sama aku, tapi pikiran bahkan hatimu nggak!” Fanny menatap kecewa Zean kemudian memalingkan wajah.
Zean gelisah. “Apa maksudmu? Jelas-jelas aku di sini untukmu, pastinya aku juga memikirkanmu. Masa depan kita! Jangan mikir aneh-aneh, deh ....”
“Kalau begitu ....” Fanny melirik sinis Zean. “Nanti kita bulan madunya ke Eropa saja. Terus lanjut ke Jepang, biar bisa lihat sakura bermekaran sekalian hanami di sana. Satu lagi, aku mau pernikahan yang mewah karena aku akan mengundang banyak orang penting!”
Zean mengangguk pasrah. “Oke! Kamu atur saja.”