Ica sudah sampai di rumahnya, setelah setengah hari dia jalan-jalan dengan Nadia. Mengantarnya ke Gramedia, menurutinya makan es krim di pantai, dan mengajak makan bakso kesukaan Nadia. Ica melepaskan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia menatap pantulan wajahnya di cermin meja riasnya.
Senyuman tipis terurai di sudut bibirnya. Senyuman yang entah bisa dibilang senyum yang menyiratkan hatinya sangat lelah. Lelah menunggu kabar dari Satria yang dari siang belum memberikan kabar dan belum membalas pesannya sama sekali.
“Apa aku akan kembali pada nasibku dua tahun yang lalu? Apa aku harus gagal lagi setelah aku gagal dengan Arkan?” gumam Ica.
Ica menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Dia benar-benar lelah. Semakin hari bukannya semakin jelas hubungannya dengan Satria, tapi malah semakin abu-abu. Tidak ada kejelasan dari Satria bagaimana ke depannya. Berbasa-basi membicarakan pernikahannya akan dilaksanakan kapan pun Satria enggan membicarakannya?
“Lebih parah dari Arkan, dulu dia benar-benar ingin melupakan Thalia, dan akhirnya minta cepat-cepat diajukan tanggal pernikahannya denganku. Tapi, pada kenyataannya Arkan sama sekali tidak bisa melupakan Thalia, bahkan sampai ijab qobul, hal yang termasuk sakral dalam sebuah pernikahan, dia menyebut nama Thalia, bukan aku. Sedangkan Kak Satria, setiap aku bahas soal kapan akan meresmikan status, dia seperti bingung dan entah apa yang sedang dia sembunyikan. Tidak ada kejelasan dalam hubungan ini,” gumam Ica.
Ica memejamkan matanya, tak terasa sudut matanya sudah basah. d**a Ica terasa sesak, karena dia baru tahu tadi siang dari Leo, kalau Satria sebenarnya pernah bertunangan dan itu karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya.
Hingga menjelang maghrib, Ica masih berdiam diri di kamarnya. Masih menunggu kabar dari Satria, dan memikirkan ucapan Leo yang katanya Satria pernah tunangan.
“Papa dan mama tahu soal ini gak, ya? Soal Kak Satria yang sudah pernah tunangan? Ya, enggak masalah kalau hanya sebatas pernah tunangan, apalagi dijodohkan, jadi kemungkinan Kak Satria juga belum tentu suka dengan perempuannya. Tapi, kalau seperti ini? Tidak ada kabar sudah dari siang, hanya tadi pagi dia mengabariku, apa aku salah mengkhawatirkan hubungan ini?” gumam Ica.
^^^
Ica keluar dari kamarnya, setelah berjam-jam di kamarnya, dia keluar untuk makan malam bersama kedua orang tuanya. Ica pikir ini kesempatan Ica untuk membicarakan semuanya pada papa dan mamanya perihal Satria, dan Ica ingin tanya, apa papa dan mamanya tahu kalau Satria pernah tunangan.
“Kamu tumben, pulang kerja kok mengurung di kamar sampai jam makan malam? Biasanya kamu bantuin Mbok Wati masak, atau mengusilinya?” tanya Anjani pada putrinya.
“Capek, Ma. Tadi habis jalan-jalan sama Nadia,” jawab Ica.
“Kamu sudah dapat kabar dari Satria?” tanya Pak Akbar.
“Kabar apa, Pa?” tanya Ica.
“Tadi Ibunya telefon papa, katanya dia ....”
“Di Bali sama aku, kan?” tukas Ica.
“Kamu sudah tahu? Karena ini kamu mengurung diri, dan tidak keluar kamar sampai malam?” tanya Pak Akbar.
“Papa tahu dari mana? Bukan gitu sih, aku benar-benar capek, Pa. Dan bingung saja soal ucapan ibunya Kak Satria. Yang bilang Kak Satria sedang liburan dengan aku di Bali,” jawab Ica.
“Tadi Leli telefon mama, mama kaget saja dia tanya kabar kamu gimana yang sedang liburan di Bali, soalnya Satria dihubungi dia susah,” ucap Anjani.
Ica tersenyum merasakan gelenyar dalam hatinya, yang tidak tahu apa rasanya. Marah, lucu, heran dengan perbuatan Satria, dan entah apa yang ia rasakan. Ica mengambil makanannya, dan dia langsung menikmati makan malamnya.
“Oh iya, Pa, Ma, satu lagi yang baru aku tahu dari Kak satria, dan itu benar-benar membuatku tidak percaya sama sekali dengan apa yang Kak Leo katakan tadi. Tidak percaya, tapi memang kenyataannya kata Kak Leo,” ucap Ica.
“Apa itu, Ca?” tanya kedua orang tua Ica.
“Kak Satria pernah tunangan, dan katanya pertunangannya gagal karena perempuannya kabur, hamil dengan pacarnya dulu,” jawab Ica satntai.
“Apa Tante Leli pernah bilang sama mama atau papa?” tanya Ica.
“Enggak, Leli tidak bilang, dan aku baru tahu ini. Ini ada yang gak beres, Pa. Hal semacam ini Leli sembunyikan, maksudnya apa? Terus Bali? Belum jadi suaminya Ica sudah bohong dengan ibunya, apalagi kalau sudah?” ucap Anjani.
“Ya, aku gak tahu, Ma. Aku saja heran, kok bisa-bisanya Kak Satria yang aku anggap di itu perfect banget, ternyata malah seperti ini. Dan, yang buat Ica sedikit curiga, di Bandung proyek itu sudah selesai kata Kak Leo,” ucap Ica.
“Papa mau tanya, kamu sebagai tunangannya, bagaimana dengan soal yang seperti ini?” tanya Pak Akbar.
“Batalin semuanya, Ca! Mama sudah gak ada respect dengan Satria! Dia sudah berani bohong dengan ibunya. Apalagi nanti dengan kamu saat sudah jadi istrinya?” ucap Anjani.
“Ma, aku tanya Ica, bukan tanya mama,” ucap Pak Akbar.
“Ica akan bicara baik-baik dulu dengan Kak Satria setelah Kak Satria pulang. Mungkin, Ica akan menyusul ke Bandung, papa tahu lokasi proyek yang di sana, kan? Ica penasaran saja di sana ada apa sebenarnya. Kalau soal ke Bali, itu enggak mungkin Kak Satria ke sana. Ica yakin Kak Satria di Bandung, tidak di Bali. Tapi di Bandung bukan urusan pekerjaan, melainkan pribadinya,” ucap Ica.
“Kamu yakin itu?”
“Yakin, Pa,” jawab Ica dengan yakin.
“Ica juga sudah pasrah dengan hubungan ini. Bayangkan saja, satu tahun, Pa, Ma? Dan, janji Kak Satria sampai sekarang belum ada yang terpenuhi? Bilangnya setelah Ica pulang dari Jepang, akan langsung membicarakan soal pernikahan? Nyatanya, mana? Enggak, kan? Setiap Ica tanya soal itu, dia jawab nanti dulu, sedang banyak sekali pekerjaanlah, inilah, itulah, Ica ngerasa kok sekarang Ica yang terlihat ngejar Kak Satria banget, ya? Kebalikannya dari dulu?” ucap Ica.
“Papa dan mama dulu sudah ngasih kamu kesempatan untuk berpikir, untuk memilih, Dev atau Satria. Itu semua karena papa tahu, mereka berdua sangat baik, dan tulus mencintai kamu. Papa suruh kamu memilih di antaranya, kamu pun dilema saat itu, kan? Dan, kamu memilih Satrtia. Papa ya hanya mengiyakan saja, kamu maunya dengan Satria.”
“Kak Satria sekarang jauh beda dengan Kak Satria dulu, Pa. Ica itu ngerasa aneh banget tahu, Pa? Sejak Kak Satria nerima proyek di Bandung, Ica juga sudah ngerasain hal aneh. Dia selalu balas chat Ica lama, kadang sampai 3 harian gak balas chat Ica, gak telefon Ica? Ya aku paham Kak Satria sibuk, tapi kenapa sampai sekarang?”
Menyesal, tentu Ica menyesal karena dia sudah memilih Satria yang pada kenyataannya malah akan seperti ini jadinya. Ica juga tidak mau diam. Dia ingin membuktikan kalau Satria di sana benar-benar bekerja, bukan ada urusan lain.
^^^
Setelah makan malam, Ica kembali ke kamarnya. Dia melihat ponselnya menyala, dan bergetar di atas meja kerjanya. Ica melihat siapa yang menelefonnya.
Satria. Setelah setengah hari lebih dia tidak memberi kabar pada Ica, akhirnya dia menelefon Ica. Ica tersenyum sinis menatap layar ponselnya yang terlihat nama Satria di layar ponselnya. Ica menggeser icon berwarna hijau di layar ponselnya.
“Iya, Kak?” Ica masih santai menjawab telepon dari Satria.
“Maaf ya, Sayang. Aku seharian sibuk sekali. Jadi aku baru sempat menghubungi kamu.”
“Enggak masalah, Kak. Tadi saja aku sibuk jalan-jalan sama Nadia. Diajak makan siang dengan Kak Leo dan Kak Rana. Santai saja, Kak. Aku percaya Kak Satria sedang banyak pekerjaan, kok?”
“Makasih kalau kamu mau mengerti aku, Sayang. Besok pagi aku pulang. Maafin aku sekali lagi, Sayang.”
“Iya, enggak apa-apa, Kak.”
“Aku kangen kamu, Ca. Miss you and I love you.”
“Miss you too, Sayang. Cepat pulang.”
“Oke, besok aku pulang. Kamu sudah makan?”
“Sudah, baru saja. Kakak sudah?”
“Sudah tadi sebelum lembur, kakak makan dulu. Ini baru selesai kerja kakak. Capek banget, Sayang.”
“Makanya kapan nih mau diresmiin? Biar pulang kerja capek ada yang mijitin.”
“Sabar ya, Sayang? Tunggu kerjaan di sini selesai dulu. Kamu masih mau nunggu, Kan?”
“Iya, enggak apa-apa, Kak.”
“Gak mau! Aku mau bobo sama Om Satria, Bunda! Ayo Om, bobo! Katanya Om mau jadi ayah Rani, kan?”
Suara anak kecil yang sedang merajuk terdengar jelas di telinga Ica.
“Om Satria? Rani? Mau jadi ayahnya Rani? Siapa dia, Kak? Kakak tidak sedang menyembunyikan sesuatu? Siapa gadis Rani itu, Kak?”
“Ca, sorry nanti aku jelaskan. Aku tutup dulu telefonnya!”
Telefon terputus sepihak. Satria langsung memutus percakapannya. Tubuh Ica kaku, dadanya sesak. Dia terduduk lemas di lantai. Ucapan gadis kecil itu masih terngiang di telinganya dengan jelas. Jelas sekali.
“Ya Allah, ada apa lagi ini? Siapa Rani? Dan, siapa bundanya? Apa ini jawaban dari mimpi-mimpiku selama ini, saat aku ingin diberikan petunjuk soal Kak Satria? Kuatkan aku Ya Allah,” gumam Ica dengan menyeka air matanya yang mulai membanjiri pipinya.
Ica masih terdiam, ucapan gadis itu semakin jelas. Dia tida tahu harus bagaimanya. Menyusulnya ke Bandung pun tidak mungkin. Yang hanya bisa Ica lakukan adalah menunggu Satria pulang dan menjelaskan semuanya.
^^^
Satria terdiam di kamar yang cukup luas, di sebuah rumah mewah milik ibu dari anak yang bernama Rani. Dia masih memikirkan bagaimana cara menjelasakannya pada Ica soal Rani, dan siapa ibunya.
“Om, kata opa dan oma, om janji mau jadi ayah Rani?” tanya gadis kecil itu yang sedang memeluk Satria.
“Iya, Sayang. Ayo tidur, sudah malam.” Satria mengusap kepalanya lalu memeluk gadis kecil itu.
Satria tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Ica. Sedang dirinya di sini semakin terjebak hal yang membuat dirinya nyaman. Satu tahun yang ia lalui di sini, sudah sangat sulit untuk Satria lupakan, terlebih dengan gadis kecil yang bernama Rani, yang ia tolong karena terserempet sepeda motor saat main sepeda, dan yang menyerempetnya kabur begitu saja. Dan, ternyata Rani adalah anak dari perempuan yang sangat Satria kenal.
“Ya Tuhan, bagaimana aku menjelaskannya pada Ica? Maafkan aku, Ca. Sungguh aku tidak bermaksud untuk menyakitimu, tapi inilah aku, aku yang sudah nyaman dengan semua ini,” gumam Satria.