Kak Satria memang orang yang sangat baik, penyabar, tampan, cool, macho, dan tidak salah sih, banyak cewek yang pada melirik dia. Tapi, dia terlalu dingin dengan cewek. Jiwa humorisnya kurang. Dia orang yang sangat serius menurutku. Serius dalam hal apa pun. Dengan aku pun selalu bicara serius. Candaan saja tidak pernah. Dia terlalu serius dan ulet sekali dalam hal pekerjaan. Enggak salah kalau Kak Leo belum bisa melepaskan Kak Satria menjadi asisten pribadinya. Meski pekerjaannya terbagi dengan tugas yang papa berikan, Kak Leo juga tidak mempermasalahkan hal itu. Papa pun paham soal itu. Papa hanya meminta tolong saja untuk mengawasi kantorku yang selama dua tahun lebih aku tinggalkan.
Papa tidak memaksa Kak Satria untuk berhenti menjadi orang kepercayaan Kak Leo. Karena papa enggak mau mengganggu kenyamanan Kak Satria bekerja. Toh papa juga sudah punya orang kepercayaannya yang selama ini mengurus kantor papa saat papa menemani aku di Jepang. Sekarang semua sudah kembali lagi. Aku, papa, dan mama sekarang sudah kembali ke tanah kelahiran kami semua. Meski di kota ini adalah kota yang sempat membuat kami terpuruk dan malu, tapi kami tetap berusaha menghilangkan rasa itu, dan bangkit sedikit demi sedikit.
Sudah saatnya keluargaku membenahi dan menata hati kembali setelah kejadian dua setengah tahun silam kurang lebihnya. Kejadian yang membuat aku malu, malu dengan semua orang, teman dekat, rekan kerja, dan semua yang mengenal aku.
Bagaimana aku tidak malu, aku gagal menikah. Bukan karena calon suamiku tidak hadir dalam acara pernikahan kami. Aku gagal menikah karena calon suamiku menyebut nama perempuan lain saat melangsungkan akad nikah denganku.
Bagaimana aku tidak malu saat itu?
Aku malu, aku malu sekali.
Mungkin orang mengira aku ini dipaksa menikah dengan calon suamiku. Mungkin semua orang mengira pernikahan aku itu karena sebuah perjodohan. Semua yang mungkin dipikirkan orang-orang itu tidak benar. Karena kami saling mencintai kala itu. Ya, Arkan mencintaiku, bilangnya seperti itu. Tapi, separuh hatinya bahkan mungkin seluruh hatinya masih mencintai perempuan di masa lalunya. Cintanya Arkan untuk aku hanya di mulut saja, bukan di hati.
Malangnya hidupku.
Sekali jatuh cinta, aku jatuh cinta pada orang yang pura-pura mencintaiku. Sungguh lucu dan menyakitkan kalau mengingat semua itu. Semua orang sudah menegurku, untuk tidak terlalu berharap pada Arkan saat itu. Tapi, Om Arsyad, Tante Nisa, bahkan semua saudara Arkan berharap aku bisa bersatu dengan Arkan. Tapi, saat Arkan melakukan kesalahan seperti itu, tak ada satu pun yang peduli dengan perasaanku, dan tidak ada satu pun saudara Arkan yang datang hanya sekadar untuk menenangkan hatiku.
Aku tahu mereka kecewa dengan Arkan, mereka marah. Tapi, kenapa dengan mudah mereka juga menyetujui Arkan dengan perempuan itu?
Ah ... sudahlah, aku tidak mau lagi memikirkan itu. Sekarang, aku sudah siap mulai dari awal lagi. Membuka lembaran baru, dengan orang yang sangat tulus mencintaiku.
Satria.
Dia laki-laki yang tidak sengaja datang di hadapanku, saat aku sedang bermasalah dengan hatiku yang sakit karena Arkan. Om-om ganjen. Ternyata aku kualat dengan ucapanku sendiri saat itu. Sekarang aku sudah jadi tunangannya Kak Satria. Om-om ganjen yang nyebelin saat pertama bertemu.
Memang dia sikapnya dingin dengan perempuan, tapi aku yakin dia adalah laki-laki yang penuh dengan kejutan. Seperti pagi ini, di meja kerjaku sudah ada sekuntum bunga mawar dan cup cake yang manis dan cantik, juga kartu ucapan yang isinya kata-kata romantis.
Ya, menurut aku ini romantisnya Kak Satria, meski hanya sekadar ucapan selamat pagi, selamat bekerja, dan i love you, sudah cukup membuat aku terbang dan semangat untuk bekerja hari ini.
Hari ini adalah hari pertama aku kembali bekerja mengurus perusahaanku yang aku dirikan dengan bantuan papa dan mama. Dengan modal nekat saja aku berani mengelola kantor cabang dengan dituntun papa.
Ruang kerjaku tertata sangat rapi. Tatanannya berubah, menjadi lebih rapi. Itu semua karena Kak Satria yang menatanya.
Sebenarnya aku sudah satu minggu di rumah, setelah kepulanganku dari Osaka-Jepang. Tapi, aku baru saja ke kantor hari ini. Satu minggu aku sibuk menata ulang kamarku. Aku meminta bantuan orang yang bisa mendesain kamar. Itu semua supaya aku ada ruang baru untuk hidupku. Selama aku di Jepang, rumah hanya ditempati Mbok Wati dan suaminya saja. Beliau yang setia dari dulu mengabdi dengan papa dan mama. Suaminya juga tukang kebun di rumahku.
Kamar sudah aku desain sesuai dengan keinginanku. Juga ruangan di rumahku. Itu semua supaya aku tidak mengingat kejadian dua setangah tahun silam. Tapi, ternyata hasilnya sama saja. Aku ingin menertawai diriku sendiri, ketika aku lupa kalau ada sosok Kak Satria yang sudah menjadi separuh bagian dari hidupku. Sedang aku, masih terus berporos dengan masa lalu.
Menyakitkan sih, tapi cinta masa laluku belum juga hilang. Aku masih terus mencoba mencintai Kak Satria. Aku tidak mau menyia-nyiakan orang sebaik Kak Satria. Dia sudah sangat sabar menungguku. Harusnya di usia yang akan menginjak kepala empat, Kak Satria harusnya sudah berumah tangga. Entah karena menunggu aku, atau karena tidak bisa move on dari Kak Rana, atau karena faktor lain, dia yang sudah berusia 38 tahun masih saja melajang.
Tidak pernah menyangka aku mau menerima lamaran Kak Satria, yang mungkin pantasnya aku jadi keponakan dia. Lucu kalau aku pikir, tapi aku juga membutuhkan sosok laki-laki seperti Kak Satria. Dia sangat mirip dengan papa, dari sifatnya saja. Tapi, kalau wajah sama sekali tidak mirip. Tetap tampan papaku, meski rambutnya sedikit demi sedikit sudah ada perubahan warna.
Sabarnya, tutur katanya yang lembut, pengertiannya, gampang diajak curhat, selalu membangun komunikasi yang baik dengan aku, dan selalu support aku. Semua itu sama dengan papa, papa juga yang selama ini menemani aku di saat aku terpuruk, papa sedikit pun tak pernah meninggalkanku saat aku berada di titik paling rendah dalam hidupku. Sama seprti Kak Satria, dia pun demikian. Tidak pernah absen selalu ngajak aku ngobrol, tukar pikir, meski saat aku di Jepang, terbatas sekali waktunya untuk berkomunikasi.
Ponselku berdering, aku mengambil ponselku yang aku taruh di dalam laci meja kerjaku. Aku tersenyum sendiri melihat siapa yang menelfonku.
Calon suami.
Entah kenapa aku memberikan nama kontak seperti itu pada kontak Kak Satria. Ya, dia memang calon suamiku. Dan, mungkin tahun ini aku akan menikah dengannya, setelah urusan Kak Satria dengan Kak Leo selesai di Bandung. Itu juga proyek ada hubungannya dengan kantor papa juga. Kak Satria sering bolak-balik Bandung-Jakarta. Dua hari yang lalu Kak Satria juga di sana, dan sekarang sudah berasa di Jakarta lagi.
Aku mendial icon berwarna hijau di layar ponselku.
“Hallo, Kak?”
“Kamu sudah di kantor?”
“Sudah, Kak. Kenapa?”
“Nanti siang mau makan siang apa?”
“Ini masih pagi lho kak, masa udah tanya nanti siang mau makan apa? Cupcake yang kakak belikan saja belum aku makan? Sayang mau makannya, habis cantik dan manis, Kak.”
“Kamunya kan manis dan cantik, jadi aku pilihin yang sesuai sama kamu.”
“Ih gombalnya ....”
“Sudah jawab dulu pertanyaanku, mau makan siang apa nanti?”
“Nawarin saja atau mau ngajakin makan di luar, Pak?”
“Nawarin plus ngajak makan siang di luar. Yuk, mau makan apa?”
“Apa, ya? Yang aku kangenin sih, Cuma satu sih?”
“Apa?”
“Kamu.”
“Dasar! Sudah bisa kangen sama aku, nih?”
“Boleh, kan?”
“Boleh lah sayang? Kamu kan calon istriku. Kamu pengin makan apa?”
“Kalau aku sih apa saja, pokoknya jangan yang manis kalau soal menu masakan. Yang seger berkuah, juga enak. Soto lamongan mungkin, ya? Seger sepertinya.”
“Oke, nanti makan soto lamongan. Jam istirahat nanti aku jemput kamu.”
“Oke, aku kerja dulu, Kak. Makasih cupcakek nya, bunganya, dan kartu ucapannya. Love you too, Kak.”
“Terima kasih, Sayang.”
Aku langsung meletakkan ponselku lagi ke dalam laci. Aku melihat sekilas wajahku di layar komputer yang belum menayala. Rasanya pipiku ini merona karena ulah Kak Satria. Apa aku jatuh cinta dengannya? Jantungku pun tidak beraturan sekali degubnya, setelah aku bilang i love you too pada Kak Satria.
^^^
Setengah hari di kantor, aku merasa pikiranku sedikit terkuras, juga tenagaku. Itu semua karena hari ini banyak sekali tamu dan investor yang ingin bertemu denganku. Dua tahun, bahkan mungkin tiga tahun aku tidak bergelut dengan dunia kantor saja aku sudah ngerasain hal yang teramat melelahkan pikiran dan tenagaku. Tapi, aku harus tetap semangat, karena ini semua impianku.
Oke, impian menjadi bagian dalam hidup Arkan sudah pupus. Harapan menjadi istri dari seorang Arkan sudah musnah, dan hari ini aku tetapkan akan mengubur semua kenangan itu.
Aku punya Kak Satria, sosok yang sangat sempurna bagiku. Aku baru sadar sih dia itu perfect. Benar kata Devan, Kak Satria laki-laki yang perfect banget. Meski sudah berumur, dia bisa menyesuaikan aku yang umurnya jauh dari dirinya.
Aku merasa, aku benar-benar jatuh hati dengan Kak Satria hari ini.
Bisa, aku pasti bisa melupakan masa laluku yang kelam. Toh Arkan sudah bahagia dengan Thalia. Meski rasa sakit itu masih ada, tapi aku tetap harus bisa bangkit.
Devan pernah bilang, mencintai seseorang itu tidak ada salahnya. Cinta itu tidak salah, yang salah kadang ego yang ada pada diri kita. Ego kita yang harus bisa mendapatkan cinta, padahal itu bukan cinta yang baik. Apalagi mencintai orang yang tidak mencintai diri kita.
Cinta itu saling, bukan sendiri.
Itu yang Devan sering katakan padaku. Dia pun sama. Dia mencintaiku, tapi aku menganggap dia temanku saja, tidak lebih dari itu. Devan menyadari itu, dia berusaha menjadi teman yang baik selama ini, meski cintanya tak pernah ku balas.
Sudah satu minggu, aku tidak tahu kabar Devan. Terakhir dia Video call aku, saat sehari aku sampai di Indonesia. Itu yang terakhir, sampai sekarang nomor Dev susah aku hubungi. Padahal aku pengin cerita sama dia. Aku tahu, dia pasti menghindar dariku. Dia tidak ingin mengganggu aku dengan Kak Satria. Seperti dulu saat aku dengan Arkan, dia pun tidak mau dekat-dekat dengan aku. Bahkan dia kabur dari rumah, pergi ke rumah eyangnya yang ada di Jogja, setelah lulus kuliah dan aku memutuskan bertunangan dengan Arkan.
Dia bilang, dia hanya tidak ingin mengganggu kehidupan baruku dengan Arkan, karena dia masih sangat mencintaiku. Mungkin sekarang ini juga seperti itu. Dia sadar kalau aku sudah jadi tunangan Kak Satria, dan dalam waktu dekat ini juga aku akan menikah dengan Kak Satria.
Kadang hal terbaik dari cinta adalah mau menerima.
Sebab jatuh cinta adalah ketidakjelasan yang paling jelas, yang membutuhkan kejelasan, tanpa perlu banyak penjelasan.
Ya seperti itu yang pernah aku baca di dalam sebuah n****+, tentang jatuh cinta. Jatuh cinta memang patah hati yang paling sengaja. Apalagi cinta tanpa balas. Seperti aku yang jatuh cinta dengan Arkan, dan Arkan tidak pernah mencintaiku. Juga Dev. Dev mencintaiku, dan aku pun hanya membalasnya sebagai teman saja. Itu yang disebut definis jatuh cinta adalah patah hati yang paling sengaja.
Aku sengaja mematahkan hati sendiri, dengan aku jatuh cinta pada Arkan saat itu. Patah, bahkan remuk tak berbentuk. Itu karena ulahku sendiri yang berani jatuh cinta pada orang yang tidak mencintaiku.
Sekarang aku sudah jera. Aku akan mencintai orang yang sangat mencintaiku dengan tulus, dan menerimaku apa adalanya. Kak Satria. Dia adalah Kak Satria, ya aku merasa hari ini berbunga-bunga dengan perlakuan Kak Satria.
Pagi-pagi sudah menyapa dengan seuntai kalimat cinta bercampur rindu. Sampai kantor, ada kejutan kecil darinya, dan dia dari tadi begitu manis sekali setiap mengirim pesan padaku.
Meski sulit memantapkan hati untuk mencintai Kak Satria, tapi aku yakin aku bisa melaluinya, dan aku bisa mencintainya dengan tulus, seperti Kak Satria mencintaiku. Karena, hal yang paling sulit dalam mencintai adalah memulainya, terutama membuka hati, setelah membereskan luka lama di hati.