Bab 17

1159 Words
Nadia melihat suaminya berjalan dari arah dalam hotel hendak kembali ke lantai atas. Mereka saling berpapasan ketika akan memasuki lift.  Nadia memang sengaja berlama-lama di restoran, itulah sebabnya ia baru selesai makan ketika Keanan selesai dengan kegiatannya berkeliling hotel.  Keduanya saling pandang ketika bertemu di depan pintu lift. Namun tak ada kata yang terucap ketika mereka akhirnya sama-sama masuk ke dalam si kotak besi.  Hanya mereka berdua yang ada di dalam lift. Nadia memilih berdiri di belakang Keanan yang berdiri dekat papan tombol. Sepi, hanya suara mesin kotak besi itu yang mengantar keduanya ke lantai atas.  Nadia memperhatikan ketika lift melewati lantai dua dan tidak berhenti, itu berarti suaminya pun akan menuju ke lantai yang sama dengannya, dan benar saja, begitu lift berhenti di lantai tiga dan mengeluarkan suara dentingan, Keanan keluar meninggalkan Nadia yang masih berdiri mematung.  Sebelum pintu tertutup, Nadia segera beranjak keluar. Berjalan terus melewati lorong hotel menuju kamarnya. Langkah kaki suaminya semakin menjauh dari pandangan Nadia dan melewati kamar tempat gadis itu tempati. Ternyata suaminya memesan kamar lain, yang bersebelahan dengan kamarnya.  Nadia masih memperhatikan sosok Keanan hingga tak terlihat lagi sebab sudah masuk ke dalam kamar. Hanya gelengan kepala yang Nadia bisa lakukan karena lelaki itu benar-benar tak mempedulikan dirinya.  Nadia menempelkan kartu kamar dan masuk ke dalam. Kamar yang ia lihat terlalu luas dan mewah untuk ia tempati. Tuan Hari terlalu berlebihan memesankan kamar president suite itu kepadanya, ralat! kepada mereka. Jikapun mereka adalah pasangan suami istri yang sesungguhnya, baginya tetap saja kamar itu terlalu berlebihan. Atau mungkin, memang seperti itu pasangan suami yang sedang honeymoon menikmati kegiatannya dalam kamar yang harus luas? Entahlah, Nadia tidak tahu dan tidak mengerti.  Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Memandang ke atap kamar dengan sebuah lampu menggantung di sana.  "Hidup apa yang aku jalani saat ini? Hubungan suami istri apa yang kami jalani? Semenjak kamu menolak dengan keras tentang perceraian yang aku ajukan, sejak itu pula kamu semakin bersikap acuh." Nadia hanya mampu bicara sendiri dengan benda-benda di dalam kamar yang mungkin mendengarnya. Membayangi betapa bodohnya ia yang harus berada dalam situasi saat ini.  "Aku harus bagaimana, Tuhan? Di saat ia bersikukuh tak ingin menceraikanku, janjinya yang tidak akan lagi berhubungan dengan perempuan itu, ternyata ia langgar. Aku tahu ini semua tak akan mudah baginya yang harus meninggalkan perempuan itu demi pernikahan kami, seperti aku pun yang tidak mudah melupakan dirinya begitu saja. Namun, jika kenyataannya masih seperti ini, apakah tidak Engkau gerakkan saja hatinya agar mau bercerai denganku? Dengan begitu tak ada lagi hati yang tersakiti. Ia akan hidup bahagia dengan kekasihnya, dan aku pun akan melupakannya dengan mendapatkan cinta dari lelaki lain." Semua keluhan yang Nadia ucapkan dalam hatinya, yang ia tujukan pada Tuhannya, membuat ia lama kelamaan tertidur. Rencana untuk mendiskusikan tugas yang diberikan oleh Tuan Hari dengan Keanan, akan ia lakukan nanti setelah makan malam.  *** "Di mana kamar yang sudah papa pesan untuknya?" batin Keanan bicara begitu sudah masuk ke dalam kamarnya.  Lelaki itu sempat kaget ketika akan masuk ke dalam lift bersama dengan istrinya. "Lama sekali ia makan? Apakah ia sengaja menungguku kembali ke dalam hotel?" Begitu hatinya bicara.  Lantas, ketika akhirnya mereka berhenti di lantai yang sama, Keanan memilih untuk keluar lebih dulu meninggalkan istrinya itu.  Sikap yang mungkin bisa dibilang jahat atau tak bermoral. Sikapnya yang tentu saja akan menyakiti gadis itu karena dengan sengaja melenggang tanpa permisi atau ucapan pamit yang lain.  Namun, entah mengapa ia masih saja melakukannya. "Untuk apa kalian ke Bali bersama kalau hanya saling diam?" Mungkin suara hati dirinya yang lain akan berkata seperti itu.  "Aku tidak menyuruhnya ikut atau menemani tugas yang diberikan papa ke Bali. Itu semua keinginannya sendiri." Menurut kata hatinya yang lain.  Keanan menjambak rambutnya kesal. Ia bingung dengan pikirannya sendiri. Di saat gadis itu memintanya untuk berpisah, ia malah menolak. Tapi, ia bersikap seperti seorang suami yang tak bertanggung jawab dengan bersikap abai dan tak peduli. Membuat siapapun perempuan yang diperlakukan seperti itu akan bersedih dan mungkin akan membencinya.  "Apakah aku terima saja permintaannya untuk bercerai? Bukankah ini kesempatanku agar lebih leluasa berhubungan dengan Maura?" Keanan berpikir keras. Semalam memang ia tak rela jika harus menceraikan Nadia, tetapi melihat kondisi hubungannya saat ini dengan gadis itu bukankah malah membuat keduanya tersiksa satu sama lain?  "Aku akan mendengar saran dari Oscar nanti, apakah keputusanku untuk bercerai dan mempertahankan hubungan dengan Maura adalah lebih baik dibanding harus bersama dengan Nadia yang sepertinya tak aku cintai." Akhirnya keputusan sudah lelaki itu buat. Hanya tinggal menunggu, apakah sahabatnya akan mendukungnya. Ya, meskipun selama ini Keanan tak pernah mendengar pendapat atau saran dari orang lain, tetapi kali ini ia butuh itu. Video kekasihnya dengan lelaki lain butuh kejelasan. Ia ingin tahu apakah menurut Oscar, seorang eksekutif muda yang acap kali berhubungan dengan dunia selebritas, apa yang kekasihnya lakukan dengan lelaki lain adalah sesuatu hal yang biasa terjadi di dunia mereka. Lantas, kalaupun iya, apakah Keanan bisa menerimanya, dan ikhlas menerima kenyataan hidup kekasihnya yang pastinya akan sering berhubungan dengan dunia seperti itu.  "Ya, tinggal menunggu Oscar maka aku bisa segera memutuskan." Keanan yang tadinya ingin melakukan massage, memundurkan rencananya ke sore hari. Suasana di luar cukup panas, sepertinya akan lebih nyaman melakukannya nanti menjelang malam.  Di tengah pikirannya mengenai rencana hari itu, tiba-tiba Keanan mendapat panggilan dari sang papa.  "Hallo, Pah?" [Hallo, Keanan. Bagaimana perjalanan kalian apakah lancar?] "Tentu saja, Pah. Jakarta-Bali 'kan dekat. Perjalanan kami lancar-lancar saja." [Lalu, di mana Nadia? Mengapa dari tadi Papa telepon, ponsel-nya tak kunjung diangkat?] Sial! Bagaimana Keanan harus menjawab pertanyaan papanya. Apakah papanya akan memaklumi jika keduanya tidak berada dalam satu kamar?  "Aku tidak tahu, Pah. Tadi aku lihat sih Nadia masuk ke dalam kamarnya." [Masuk ke dalam kamarnya? Kamar kalian maksudnya? Memang kamu lagi di mana waktu Nadia masuk kamar?] Sepertinya ia harus jujur. Kepalang tanggung. Toh, papanya sudah tahu hubungan pernikahan ia dan Nadia.  "Kamar yang Papa pesan Nadia tempati sendiri, sedangkan aku memesan kamar lain, Pah." Hening suara di seberang, begitu Keanan selesai menjelaskan pada sang papa. Sepertinya Tuan Hari sedang berpikir, apa yang dirinya ucapkan adalah sebuah fakta yang harus papanya terima.  [Ya sudah, nanti kalau kamu bertemu dengan Nadia, tolong beri tahu gadis itu untuk menghubungi Papa.] Kejutan, ternyata papanya tidak marah atau bertanya lebih jauh. Sepertinya, keputusannya untuk mempertahankan Maura sudah bulat dan ia akan mengubah keputusannya untuk mengabulkan permintaan cerai istrinya itu.  "Ya, Pah. Nanti malam juga kita ketemu, Pah. Ada hal yang mesti aku diskusikan dengan Nadia." [Ya, kalau begitu Papa tutup dulu teleponnya. Jangan lupa kabari Papa, Keanan.] "Iya, Pah." Keanan mematikan sambungan telepon dengan sang papa. Kemudian menaruh asal ponsel itu ke atas kasur.  "Hah! Sepertinya memang aku yang sudah salah membuat keputusan semalam. Kalau akan berakhir seperti ini, di mana kami hanya saling diam, seharusnya dari malam saja aku meng-iya-kan permintaan Nadia." Keanan membuat hidupnya rumit sendiri. Pada akhirnya mungkin hanya nama Maura yang saat ini terpatri di dalam hatinya. Bukan Nadia yang menurut Oscar adalah sosok berlian, yang bodohnya Keanan abaikan.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD