"Aku enggak mau, Pah."
"Kenapa?" tanya Pak Hari heran. Sikap yang sama juga terlihat oleh Nyonya Ranti ketika mendengar penolakan yang langsung tegas dikatakan oleh sang menantu.
"Ehm, kerjaan aku di kantor lagi banyak, Pah." Nadia berusaha mengeles.
Pak Hari tahu jika itu hanya sebuah alasan yang dibuat-buat oleh Nadia. Bagaimana bisa menantunya itu berkata sedang sibuk, jika semua pelaporan dari masing-masing divisi, dari laporan mingguan sampai bulanan sudah selesai dilaporkan.
"Apa alasan kamu sebenarnya, Nadia?" tanya Pak Hari tanpa basa basi.
Gadis itu terkejut, ternyata Papa mertuanya tahu kalau ia berbohong.
"Maafkan Nadia, Pah. Nadia cuma enggak mau berduaan sama Keanan."
Semua orang tampak terkejut mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Nadia. Pengakuan dari gadis itu juga sangat tidak Keanan duga. Lelaki itu tidak menyangka kalau Nadia akan jujur membicarakan mengenai perasaannya.
"Kenapa kamu tidak mau berduaan dengan suami kamu sendiri?" tanya Nyonya Ranti, dengan menatap wajah Nadia, berusaha untuk mencari jawaban dari raut wajah gadis berjilbab itu.
Ikut menatap wajah sang istri yang duduk di sampingnya, Keanan menunggu. Lelaki itu ingin tahu sejauh mana istrinya itu bicara.
"Pah, Mah, seandainya Nadia ingin mengajukan permohonan gugatan cerai terhadap Keanan, bagaimana?" Gadis itu menatap lekat ke arah Pak Hari dan Nyonya Ranti secara bergantian.
Enggan melihat atau pun cuma melirik ke arah lelaki yang terlihat dari sudut mata Nadia, tengah menatapnya tajam.
"Apa?" pekik Pak Hari dan Nyonya Ranti bebarengan.
"Kamu ini bicara apa, Nad?" tanya Nyonya Ranti dengan intonasi suara yang melemah.
Wanita itu terkejut dengan ucapan yang keluar dari mulut menantunya. Bagaimana bisa Nadia ingin bercerai dari sang putra —Keanan. Apakah ada hal yang selama dua bulan ini tidak ia ketahui?
Pak Hari pun menatap ke arah Nadia dan Keanan dengan pandangan yang sama. Lelaki paruh baya itu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara pasangan suami istri di depannya sekarang.
"Sebenarnya pernikahan ini memang tidak seharusnya terjadi Pah, Mah. Nadia baru sadar sekarang kalau kehidupan rumah tangga kami berdua selama ini, tidak berjalan dengan baik."
"Bagaimana kamu bisa mengatakan hal itu, Nak? Mama perhatikan kalian berdua rukun dan baik-baik saja."
"Itu hanya yang terlihat oleh Mama dan Papa saja."
"Keanan, coba kamu jelaskan! Kalian baru menikah dua bulan dan sekarang istri kamu mau minta cerai. Ada apa ini sebenarnya?" Pak Hari terlihat menatap wajah Keanan, serius.
Sang putra yang sejak Nadia bicara tidak bersuara, masih diam di posisinya.
"Apa yang harus Keanan jelaskan, Pah. Bukankah yang ingin meminta cerai itu Nadia, tanya saja pada Nadia-nya." Keanan cuci tangan. Meski ia tahu apa yang sebenarnya Nadia rasakan, lelaki itu lebih memilih diam.
Nadia memandang sinis wajah Keanan. Perasaan kesal dan benci menjadi satu kini.
"Nadia? Apa bisa kamu menjelaskan, kenapa kamu merasa kalau pernikahan kalian tidak dalam situasi baik-baik saja?"
Gadis itu sudah bertekad jika sekarang adalah waktu yang tepat baginya, untuk membicarakan semua masalah yang selama ini terjadi.
"Pah, Mah, maafkan Nadia kalau alasan aku nanti akan membuat Papa dan Mama marah atau pun kecewa."
Nadia menjeda kalimatnya, menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya. Gadis itu tahu, jika apa yang akan dikatakannya nanti bisa membuat sebuah kekacauan baru.
Pak Hari dan Nyonya Ranti terlihat serius. Sedangkan Keanan tampak waspada, bersiap dengan apa yang akan diucapkan oleh sang istri.
"Pah, Mah, Keanan tidak pernah mencintaiku. Hubungan pernikahan yang hanya karena alasan keterpaksaan ini, tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Sejak awal aku dan Keanan memang tidak pernah setuju akan pernikahan ini. Aku tidak menyalahkan kalian sebab akhirnya kami menikah. Hanya saja hubungan ini memang sudah seharusnya tidak diteruskan."
"Iya, tapi apa yang membuat pernikahan kalian ini tidak baik? Setahu kami berdua kalian cukup akrab." Nyonya Ranti tampak tidak terima dengan alasan yang diutarakan oleh sang menantu.
Nadia melirik ke arah Keanan, yang ternyata sedang memandangnya. Menatap tajam Nadia seolah memberi isyarat 'jangan macam-macam'. Namun Nadia sudah kepalang basah, ia sudah bertekad.
"Keanan tidak pernah memutuskan hubungannya dengan Maura, Mah, Pah." Kalimat Nadia telak, membuat Keanan tak berkutik.
Lelaki itu memejamkan kedua matanya. Hal yang ia takutkan terjadi. Istrinya membongkar hubungannya dengan sang kekasih —Maura— yang selama ini ia sembunyikan.
"Keanan?!" hardik Pak Hari kepada sang putra.
Keanan pasrah jika ia harus diadili malam ini ini oleh kedua orang tuanya. Tapi ia sudah berjanji —entah kenapa— bahwa keinginan Nadia untuk bercerai dengannya, tidak akan pernah ia wujudkan.
"Ya, Pah?" jawab Keanan.
"Sekarang apa pembelaan kamu?"
"Tidak ada. Semua yang Nadia katakan itu benar."
Lemas sudah Pak Hari dan Nyonya Ranti kini. Kedua orang itu tak tahu lagi apa yang harus dikatakan pada situasi sekarang.
"Kalau begitu, Papa setuju kamu menggugat cerai Keanan, Nadia." Kalimat mengandung oase yang Nadia rasakan di tengah kegersangan dan kesakitan hatinya selama ini.
Setidaknya gadis itu tidak harus merasakan cemburu atau sakit hati, melihat kemesraan yang tercipta di antara suami dan kekasihnya.
"Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah menyetujui permohonan cerai yang Nadia inginkan."
"Keanan? Mama harap kamu tidak egois!" Nyonya Ranti ikut terbawa emosi.
"Jadi Mama dan Papa setuju kalau aku bercerai dengan Nadia?"
"Ya, Papa setuju kalau alasan Nadia seperti yang tadi ia katakan. Jujur saja Papa tidak mengira kalau kamu masih berhubungan dengan perempuan itu, Keanan!"
Keanan enggan berkomentar jika membicarakan masalah Maura —kekasihnya.
"Sekarang Papa dan Mama menyerahkan semuanya kepada Nadia. Jika ia mau menggugat cerai kamu, maka Papa setuju."
"Mama juga."
Nadia sangat terharu. Gadis itu tidak menyangka kalau keluarga Darmaputra akan menerima begitu mudah, mengenai kenyataan kehidupan rumah tangganya bersama sang putra bungsu.
"Aku sudah bilang, mau sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan Nadia." Keanan beranjak dari duduknya, hendak pergi meninggalkan ruang keluarga yang sudah semakin menimbulkan aura panas.
"Keanan, aku minta kamu jangan seperti ini." Nadia berkata lirih. Menatap wajah lelaki yang selama ini ia sukai.
"Seperti apa maksud kamu, Nadia? Enggan bercerai begitu? Heuh, bukankah kamu itu mencintai aku, Nad? Tapi kenapa kamu seperti ingin pergi dariku. Apa yakin kamu tidak akan menyesal jika tidak bersamaku?"
Nadia tampak kesal dengan kalimat demi kalimat yang Keanan katakan. Bagaimana bisa lelaki itu memiliki rasa percaya diri yang begitu besar. Meski apa yang dikatakan adalah benar —Nadia mencintai suaminya.
"Jangan terlalu kePD-an jadi orang. Apakah kamu pikir lelaki di dunia ini hanya ada kamu saja?"
"Aku tidak sedang membicarakan orang lain. Yang tengah aku bicarakan itu adalah kamu, yang memiliki perasaan cinta sama aku." Keanan tak mau kalah.
"Sudah, cukup!" hardik Pak Hari.
"Keanan, sekarang hanya ada dua pilihan yang akan Papa berikan sama kamu. Pertama, kamu setuju untuk bercerai dengan Nadia dan pekerjaan serta karir kamu aman. Atau kamu tetap dengan pendirian kamu yang ingin mempertahankankan rumah tangga, tetapi semua yang kamu miliki akan Papa ambil paksa. Baik itu uang, pekerjaan, warisan dan yang terakhir, kekasih kamu —Maura— tak akan segan Papa menghilangkannya dia dari kehidupan kamu."
***