Sekitar pukul lima, Keanan sudah siap dengan segala penampilan juga keperluan selama di Bali nanti. Satu buah koper berukuran sedang sudah berdiri di samping Keanan, yang sedang duduk di kursi makan sembari menikmati kopi panas yang sudah Bi Darmi siapkan.
Jam delapan pesawatnya sudah harus terbang, itulah kenapa pagi-pagi sekali Keanan sudah siap dengan semuanya. Anto —asisten pribadi papanya, sudah mengantarkan tiket dan segala dokumen yang harus Keanan bawa untuk keperluannya saat ini.
Sambil menunggu istrinya keluar dari kamarnya, Keanan memilih untuk meminta sang asisten rumah menyiapkan sarapan yang terlampau pagi itu.
Hanya sepotong sandwich yang lelaki itu lahap, lumayan untuk mengganjal perutnya yang semalaman tidak diisi sebab ia ajak begadang.
Ya, semalaman Keanan tidak tidur. Khawatir ia akan bangun kesiangan —walaupun sudah menitip pesan pada sang asisten— yang akan membuatnya ketinggalan pesawat.
"Nadia belum keluar juga, Bi?" tanya Keanan setelah sandwich yang ia makan habis. Lelaki itu benar-benar lapar.
"Belum, Tuan. Apa perlu Bibi panggil?" Wanita tua itu berinisiatif.
Keanan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, hampir jam setengah enam.
"Panggilkan saja, Bi! Kita bisa telat ke bandara nanti." Keanan memutuskan.
"Baik, Tuan. Kalau begitu Bibi permisi sebentar."
"Hem!" gumam Keanan yang akan menghabiskan kopi miliknya yang tinggal setengah cangkir.
Sembari menunggu Nadia datang, lelaki itu memilih untuk melihat chat terakhirnya dengan sang kekasih, Maura.
Semalam ia masih berkirim pesan dengan model seksi itu. Ia mengabarkan kalau pagi ini jadi terbang ke Bali bersama Nadia. Wanita itu juga mengabarkan jika hari ini jadwal pemotretannya di Singapura akan dimulai. Seminggu ke depan, seperti yang sudah Maura kabari pada Keanan, ia tidak akan bisa menemui kekasihnya itu.
Saat Keanan akan mengirim pesan pada Maura mengenai jadwal kerja yang diamanatkan kepadanya, suara dari langkah kaki seseorang menuruni tangga cukup mengagetkannya.
Nadia datang setelah Bi Darmi memanggilnya. Satu buah koper berukuran sedikit lebih kecil, gadis itu bawa. Begitu tiba di area ruang makan, keduanya tampak bersikap cuek cenderung tak bersahabat.
"Kamu mau sarapan dulu enggak?" tanya Keanan berusaha basa basi.
"Enggak. Aku belum pingin."
Keanan kemudian menatap Bi Darmi. Menyuruh wanita tua itu membungkus sandwich yang masih tersisa dua potong ke dalam wadah.
"Untuk apa?" tanya Nadia heran.
"Buat sarapan kamu nanti sembari menunggu pesawat." Keanan menjawab tak peduli.
"Di pesawat 'kan kita dapat sarapan?"
"Kalau kamu enggak mau, biar nanti aku yang habiskan." Jawaban yang Keanan lontarkan sepertinya tidak sesuai dengan pertanyaan Nadia.
Nadia yang melihat Keanan bersikap cuek, memilih untuk melakukan hal yang sama. Gadis itu hanya berharap jika perjalanan mereka ke Bali saat ini akan berjalan sesuai rencana tanpa hambatan atau kendala apapun.
"Makasih, Bi!" seru Keanan pada sang asisten rumah yang menyodorkan wadah kepadanya. "Aku pergi dulu."
"Iya, Tuan."
Lelaki itu pergi meninggalkan area meja makan, berjalan dengan menarik koper miliknya sendiri. Nadia menatap tak percaya jika sosok suaminya benar-benar mendiamkannya.
"Apa yang kamu harapkan, Nad? Setelah pengajuan cerai kamu ditolak mentah-mentah oleh Keanan, apakah kamu berharap lelaki itu berubah dan bersikap baik padamu?" batin Nadia nelangsa.
"Bi, titip rumah yah. Nanti aku kabari kalau sudah sampai Bali biar Bibi enggak khawatir." Senyum mengembang di wajah cantiknya.
"Iya, Non. Hati-hati yah selama di Bali. Ini perjalanan pertama Non dengan Tuan Keanan ke sana, Bibi harap semua pekerjaan yang papa Non berikan, akan lancar sesuai apa yang diharapkan."
"Aamiin. Terima kasih do'anya."
Di tengah percakapan Nadia dan Bi Darmi, terdengar suara klakson yang berasal dari mobil di garasi. Bunyi klakson yang sengaja dibunyikan supaya Nadia bergegas.
"Ya sudah, aku pergi dulu. Keanan sepertinya sudah emosi menungguku lama." Kembali senyum yang Nadia sunggingkan untuk menyindir suaminya.
"Iya, Non."
Nadia keluar dengan koper di tangannya. Keluar rumah menuju garasi dengan mobil milik tuan Hari yang sudah siap melaju.
Pak Sapto, supir pribadi keluarga Darmaputra yang ditugaskan pagi itu mengantar keduanya ke bandara, tampak tak enak hati begitu melihat Nadia mendekat ke arah mobil. Lelaki empat puluh tahun itu khawatir jika nona mudanya akan menuduh dirinya nanti. Padahal sosok lelaki tampan yang duduk di sebelahnyalah yang sudah membunyikan klakson agar sang istri segera keluar.
"Ke Bali kita cuma dua hari, masih banyak waktu buat kamu dan Bi Darmi ngegosip nanti." Keanan berkata sinis.
Jika tidak melihat ada Pak Sapto di dekat mereka, mungkin saja ucapan yang keluar dari mulut Keanan akan Nadia bungkam dengan sindiran yang sama pedasnya. Tapi, gadis itu masih tahu etika berbicara. Hanya dengan Bi Darmi saja Nadia bisa lepas kontrol jika bicara dengan suaminya itu.
Tanpa banyak kata atau pembelaan, Nadia memilih untuk membuka pintu mobil bagian belakang, kemudian duduk.
"Jalan, Pak Sapto!" perintah Keanan pada sang supir.
Mobil pun melaju membelah jalanan pagi di kawasan perumahan. Embun masih menempel di dedaunan pinggir jalan ketika mobil yang mereka tumpangi lewat. Udara segar masih terasa meski mereka tinggal di kota yang akan terasa panas jika mentari sudah terbit di ujung timur.
Nadia yang tahu jika papa angkatnya itu memiliki rumah di pinggiran kota, memilih rumah yang saat ini ia tempati ketika Pak Hari menawarkannya sebuah tempat tinggal untuk ia dan Keanan sebagai hadiah pernikahan terpaksa itu.
Itulah mengapa Keanan sengaja berangkat lebih pagi karena jarak kediamannya dengan bandara cukup memakan waktu.
Kini, lelaki itu memilih memejamkan kedua mata selama mobil masih melaju membelah jalan. Ia memang berniat untuk tidur selama dalam perjalanan sebab semalam ia tidak tidur. Sengaja memang, dibanding ia bosan karena merasa tak ada yang harus diobrolkan bersama gadis di belakangnya.
Nadia sendiri memilih diam menatap ke luar kaca jendela mobil. Menatap jalanan yang cukup lengang di sabtu pagi itu.
Gadis itu kembali mengingat percakapan semalam dengan papa dan mama angkatnya, yang sekaligus berstatus mertuanya itu. Bayangan tentang pengajuan cerai dengan suaminya —Keanan, harus berujung pada kegagalan, sebab lelaki itu bersikukuh menolak.
Apa sebetulnya rencana lelaki itu? Mengapa sulit sekali lepas dari jerat kesakitannya karena masih terbelenggu dalam sebuah ikatan tali pernikahan. Pertanyaan itu terus menari-nari di pikirannya. Menggema seolah meminta jawaban akan keinginannya untuk terbebas.
Tetiba Nadia teringat Sean —sahabat yang sudah menganggapnya adik itu. Nadia belum memberi tahu Sean jika pagi ini ia terbang ke Bali. Hingga dua hari ke depan tentunya, demi menjalankan tugas sang papa.
Gadis itupun mengeluarkan ponsel di dalam tas kecilnya. Mengetikkan sebuah pesan yang ia kirim ke nomor Sean. Tak lama kemudian ponselnya berdering. Sean menghubunginya.
"Iya, hallo!" sapa Nadia.
[Nad, di mana?]
"Di mobil. 'Kan tadi aku bilang mau ke Bali."
Suara Nadia yang sebetulnya tidak kencang, rupanya membangunkan Keanan yang baru akan tertidur. Berusaha tak peduli, nyatanya Keanan malah memasang kupingnya untuk mendengarkan percakapan sang istri di belakang.
"Kamu tumben udah bangun jam segini?" sindir Nadia terkekeh.
[Baru selesai ngerjain tugas. Pas mau tidur ada notif pesan dari kamu.]
"Tesis kamu belum selesai?"
Ya, Sean —sahabatnya itu tengah mengerjakan tugas akhir pendidikan S2-nya.
[Tinggal ngetik, Nad. Alhamdulillah semua data dan coret-cotetannya udah selesai.]
"Syukur deh. Semoga cepat selesai. Biar bisa segera bantu Om di perusahaan."
[Haha, memang harus punya gelar S2 aku baru bisa bantu papa?]
"Minimal pikiran kamu tidak terbagi, Sean."
[Hei, apa kamu meragukan otakku?]
"Tentu saja tidak. Aku tahu kamu pintar. Hanya mengingatkan saja, sebab aku ingin kamu meraih semuanya dengan maksimal."
Ada rasa cemburu yang tiba-tiba menelusup di hati Keanan saat mendengar Nadia begitu perhatian pada Sean. Sosok yang sangat Keanan kenal sejak lelaki itu masih remaja.
Hubungan kedekatan antara keluarga Sean dan Nadia memang sudah Keanan ketahui. Karena keluarga Darmaputra pun kenal dengan keluarga lelaki itu.
[Jaga dirimu selagi kamu di sana.] Sean mengingatkan. Lelaki itu khawatir jika gadis itu akan mengalami hal buruk ketika pergi dengan suaminya itu.
"Tentu saja. Aku akan baik-baik saja, Sean."
Sial, apa yang sebetulnya lelaki itu katakan sehingga membuat sang istri mengatakan hal yang membuatnya tersinggung.
"Memang apa yang akan aku lakukan pada Nadia, sampai gadis itu meyakinkan sahabatnya kalau ia akan baik-baik saja?" batin Keanan yang pada akhirnya tidak jadi tidur.
[Baiklah, aku percaya padamu. Kamu adalah gadis yang kuat. Tetaplah seperti itu.]
"Makasih, Sean!"
[Apa kamu butuh aku untuk menemanimu di sana?]
"Ah, tidak perlu. Tak perlu khawatir, Sean."
[Ehm, baiklah kalau begitu. Enjoy your work. Aku mau lanjut tidur.]
"Ok!"
Nadia memutuskan sambungan teleponnya dengan Sean. Kembali memandang ke arah jalan. Hatinya selalu tenang jika sudah bicara dengan Sean. Lelaki yang sudah ia anggap kakak sendiri. Selalu perhatian dan mengkhawatirkan dirinya.
Lain halnya dengan Keanan yang menatap ke arah belakang melalui kaca spion depan. Melihat ke sang istri yang terlihat segar dengan penampilannya yang selalu bersahaja di matanya, saat ini. Ya, ia baru menyadarinya kini. Cantiknya wajah gadis itu telihat alami. Tanpa polesan make up berlebihan, tetapi malah tampak bersinar dan mempesona.
"Sial!" umpatnya pelan.
Tak ada yang mendengar, baik Pak Sapto yang duduk di sebelahnya apalagi Nadia yang duduk di belakang.
Keanan menggeram dan memilih menormalkan kondisi hatinya yang tiba-tiba berubah tidak baik. Mendapati fakta betapa dekatnya sang istri dengan sosok Sean, yang sebetulnya sudah ia ketahui dari dulu, entah mengapa membuatnya tak suka kini.
Perjalanan menuju bandara hanya tinggal beberapa menit lagi, menyisakan keheningan di dalam mobil yang sejak awal hanya diisi dengan alunan musik dari radio.
***