Hidangan seafood di atas meja restoran dengan pemandangan lautan lepas di depan Nadia dan Oscar, habis tak bersisa.
Mereka sepertinya sangat lapar sehingga mampu menghabiskan begitu banyak makanan yang Oscar pesan.
"Aku rasa, aku baru menemukan partner untuk kuliner makanan. Tak kusangka, badanmu yang ramping seperti itu ternyata doyan makan." Terkekeh Oscar dengan posisi duduk yang bersandar dengan perut yang semakin membuncit.
"Makanku memang banyak sejak dulu. Namun, aku pun merasa aneh kenapa badanku tidak gemuk-gemuk." Nadia terkekeh samanya.
Keduanya begitu menikmati suasana malam hari itu dengan tawa gembira, setelah sebelumnya air mata membasahi wajah Nadia demi mengingat kondisi rumah tangganya yang tak jelas.
"Aku sudah menunggumu sampai lapar, ternyata orang yang aku tunggu sudah mendahului makan bahkan sampai perutnya membuncit kekenyangan. Kamu sudah bosan hidup, Oscar?" hardik Keanan yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah Nadia dan Oscar.
Oscar terkekeh ketika tertangkap basah oleh Keanan —sahabatnya.
"Aku menghubungimu lebih dari sepuluh kali, tetapi tak kunjung kamu terima. Dasar sial!" umpat Keanan yang kemudian mengambil bangku di sebelah Nadia.
Sang istri terkejut ketika lelaki itu mendadak berubah tidak alergi. Berbeda dari sejak pagi hari keduanya sampai di Bali sampai tadi sore, Keanan seolah enggan berdekatan dengan istrinya itu.
"Jadi, kamu sudah selesai makan?" tanya Keanan sembari melihat tumpukan piring yang terlihat kosong di depannya.
"Ya, sorry Keanan. Habis aku lapar banget tadi. Kebetulan waktu mau naik ke kamar kamu ketemu Nadia yang mau makan, jadi aku ikut saja," ungkap Oscar terkekeh.
"Aku menunggumu sampai hampir ketiduran, ternyata kamu bersenang-senang di sini!" Keanan terus saja mengoceh kesal, membuat Oscar tertawa puas.
"Kalau begitu aku permisi duluan, Mas Oscar. Biar tagihannya nanti aku yang bayar."
"Wah! sungguh? Sepertinya kamu baru dapat bonus dari Bos-mu Keanan yah?" ejek Oscar menatap usil sahabatnya.
"Dia baru dapat warisan, Oscar. Jadi, sedang banyak uang!" sinis Keanan, tanpa menatap wajah istrinya.
"Benar begitu, Nad?" Oscar menatap Nadia penasaran, meski kesal melihat ekspresi Keanan yang terlihat sekali mengejek.
"Oh, tidak kok, Mas. Aku ingin traktir aja. 'Kan tadi aku yang ajak. Sekali-kali perempuan yang bayar 'kan enggak apa-apa, enggak melulu lelaki yang mengeluarkan uang terhadap pasangannya. Apalagi kalau sampai berlebihan, enggak baik 'kan?" Nadia telak membalas kalimat sindiran yang Keanan lontarkan.
Hampir saja ia terbawa suasana haru sebab lelaki itu berubah sikap meskipun di depan orang lain, tetapi nyatanya lelaki itu masih saja memiliki mulut pedas layaknya mulut seorang perempuan.
"Ehm, ya ... kamu benar, Nad. Baiklah, kali ini aku ijinkan kamu yang bayar, tetapi lain kali biar aku traktir kamu kalau kita berwisata kuliner lagi."
"Siap, Mas! Kalau begitu aku permisi duluan."
"Baiklah. Sampai jumpa lagi, Nad. Senang bertemu denganmu hari ini. Nanti kita bisa saling berkirim pesan lagi." Nadia tidak menjawab, ia hanya mengangguk meng-iyakan.
Gadis itu beranjak dari duduknya. Tanpa berkata pada Keanan, ia hendak berjalan meninggalkan. Namun, baru saja langkahnya akan memulai, suara Keanan mengejutkannya.
"Setelah aku selesai, nanti aku menyusulmu. Diskusi mengenai pertemuan kita besok dengan Tuan Richard belum kita bahas," ujar Keanan pada sang istri.
"Ya."
Balasan singkat yang Nadia lontarkan, disusul kemudian dengan langkah kakinya meninggalkan kedua lelaki itu untuk menuju ke kasir. Membayar tagihan makan malam dirinya dan Oscar, lalu pergi kembali ke hotel.
"Aku tidak tahu kalau kalian semakin akrab?" sindir Keanan pada Oscar, sembari meminum air berwarna orange yang ada di gelas di depan Oscar.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Dari dulu aku dan istrimu itu memang akrab. Hanya pada kekasihmu —Maura saja aku tidak dekat bahkan mengenal pun tidak." Oscar membalikkan ucapan Keanan, kemudian mengambil air minum miliknya yang hampir Keanan habiskan.
"Sebagai seorang pengusaha, kenapa kamu pelit sekali!" hardik Keanan kesal.
"Pesan sendiri sana! Sebagai seorang wakil direktur terkenal dan ternama, kamu kikir terhadap sahabatmu sendiri!"
"Wah, akrab dengan Nadia, sepertinya membuatmu jadi pandai bicara!" Keanan menatap sebal sahabat di depannya.
"Terserah kamu mau bilang apa!" Oscar menghabiskan air minum miliknya hingga tandas.
"Jadi, apa ada tambahan informasi lain mengenai Maura dan lelaki yang ada di video itu?" tanya Keanan sembari membolak-balikkan buku menu restoran, kemudian memanggil salah satu waitress untuk menghampiri dan mencatat pesanannya.
"Apakah benar kamu ingin tahu informasi selanjutnya yang sudah aku dapatkan? Apa tidak sebaiknya kamu ceritakan dulu padaku, kenapa kamu menolak permintaan cerai Nadia padamu? Bukankah ini kesempatan baik untukmu, Keanan, supaya bisa tetap melanjutkan hubunganmu dengan Maura?"
Keanan menyebutkan pesanan makanan dan minuman pada sang waitress, kemudian menaruh buku menu di atas meja.
"Rupanya makan malam kalian sekalian diisi curhatan Nadia padamu?" sindir Keanan menatap sahabatnya.
Oscar menarik napas cepat, kemudian menghembuskannya kasar. "Mengapa kamu selalu berpikir negatif tentang istrimu itu?"
"Bagaimana aku tidak berpikir negatif kalau aku belum sempat menceritakan masalahku pada sahabatku sendiri, tetapi ternyata dia sudah tahu lebih dulu."
Oscar menatap wajah Keanan dengan tatapan kesal luar biasa. Lelaki yang sudah lama bersahabat dengannya sejak masih kuliah dulu, tampak terlihat bodoh akibat perasaan cinta butanya pada kekasih hatinya —Maura.
"Aku yang bertanya lebih dulu mengenai kondisi rumah tangga kalian padanya. Tentu saja Nadia bukanlah tipe gadis pembohong yang akan mengelak pertanyaan yang aku ajukan."
"Setidaknya ia bisa menutupi aib suaminya sendiri di depan mertuanya alias kedua orang tuaku!" sahut Keanan kesal.
"Suami yang seperti apa dulu yang akan Nadia tutupi aib-nya dari kedua orang terdekatnya itu. Ingat Keanan, papa Hari dan mama Ranti adalah kedua orang tua Nadia juga. Lima tahun istrimu itu sudah dianggap sebagai anak perempuan mereka. Jadi, jangan kamu menganggap kesalahanmu akan dimaklumi oleh mereka." Oscar tak kelah emosi menanggapi jawaban Keanan yang dirasanya tak masuk akal.
Keanan tak menduga, ternyata Oscar malah membela Nadia ketimbang dirinya.
"Jadi, kamu datang ke Bali hanya untuk menyudutkanku?" elak Keanan yang sudah merasa terpojokkan.
Oscar memutar kedua bola matanya jengah. Bila sudah tersudutkan, akan begini sikap lelaki di depannya itu.
"Kamu yang memintaku untuk datang. Sekarang kamu malah memutar balikkan fakta. Jadi mau kamu itu apa, sih?"
"Sudah, sudah. Jadi, apa kabar yang kamu dapatkan dari pertemuanmu dengan Maura di Singapura? Apa ada tambahan informasi lainnya supaya aku bisa memutuskan secepatnya mengenai kelanjutan hubunganku dengan Maura atau hubungan pernikahanku dengan Nadia?"
Oscar bersikap serius kali ini. Memandang lurus wajah sahabatnya dan bersiap untuk menjelaskan semua yang ia ketahui.
"Setelah kamu mendengar apa yang ingin aku katakan, aku berharap kamu memutuskan hubunganmu dengan Maura. Tapi, entah kenapa aku juga ingin kamu menyetujui permintaan Nadia supaya kalian bercerai. Aku seolah tak rela jika Nadia masih berstatus istri dari pria b******k sepertimu!" ujar Oscar tanpa segan.
"Kau sungguh ingin mati di tanganku, Oscar! Apakah kamu pikir kamu tidak sebrengsek diriku?" respon Keanan yang mendapat sambutan tawa dari sahabatnya itu.
"Hahaha, kenapa emosimu ke sininya semakin labil, Keanan?" ejek Oscar.
"Dasar sial!"
"Tapi, Keanan. Pada intinya aku memang memintamu untuk berpisah dari Nadia jika kamu memang tidak mencintai gadis itu."
Ada kejanggalan di dalam hatinya ketika Oscar memintanya untuk melepaskan gadis itu dari hidupnya. Padahal sebelumnya ia sudah bertekad untuk menyetujui permintaan sang istri untuk bercerai darinya. Tapi, di saat Oscar mengingatkan hal itu, mengapa kembali ia merasa gamang?
***