Ajakan

1625 Words
Andraga dan Alvian mempercepat langkahnya, keduanya kesal lantaran cuaca benar-benar tidak dapat di prediksi. Saat mengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI), sinar matahari benar-benar terik, panas hingga rasanya membakar kulit. “Ini Cuma awan lewat aja, kayaknya. Kebawa angin sebentar lagi, masa iya dari panas banget tiba-tiba hujan,” ucap Andraga. Alvian mengiyakan, tanpa berlama-lama mereka terus mendaki, selain dua kakak beradik itu, ada pula pula pendaki yang sama tergesanya dengan mereka. Sayangnya mereka tertahan di rumah singgah, sebelum mencapai Pos 1 pemantauan. “Jangan ada yang nekad, tunggu sampai hujan reda. Pastikan tetap beregu. Jika cuaca terus memburuk terpaksa pendakian dibatalkan.” Petugas jaga memberikan arahan, mulai dari keselamatan saat mendaki dengan track licin, hingga mencegah agar tidak terkena hipotermia, kondisi di mana suhu tubuh turun drastris di bawah batas suhu normal yang dapat mengganggu fungsi syaraf dan organ lainnya. Mereka terus menunggu hingga berjam-jam lamanya. Rumah tradisional dengan lantai palupuh, atau bilah bambu menjadi tempat mereka berteduh. Carrier-carrier menumpuk di pintu masuk. Meski bercampur baur, tetapi pemiliknya mengenali sendiri mana tas milik mereka. Di salah satu sudut rumah dengan jendela terbuka lebar, lelaki berusia dua puluh tahun menyandarkan bahu tepat di permukaan jendela, menghitung tetes demi tetes hujan yang turun ganas. Angin pun tak kalah riuh berpesta menghantarkan hawa yang semakin dingin menggigit. “Punya korek, Bro,” tanya lelaki berambut ikal. “Gak ngerokok saya. Ga lo ada korek?” tanya Alvian pada adiknya yang masih asik menikmati derasnya hujan di jendela. Andraga menyerahkan korek berwarna biru, “Jangan dikantongin, Bro.” Lelaki yang diketahui bernama Wira itu tertawa, sudah jadi kebiasaan memang. Ketika ada yang pinjam korek maka kemungkinan korek itu kembali kepada pemiliknya hanya 40% saja. Sisanya jangan harap korek bisa kembali dengan selamat. “Tenang, Bro.” Dinyalakannya korek untuk menyulut rokok yang dikempit di antara telunjuk dan jari tengah. Bara api merah menyala, asap membumbung menguarkan aroma tembakau kretek yang khas. Tidak lupa Wira mengembalikan koreknya kepada Andraga. Lelaki itu sempat menawarkan rokok, tetapi dibalas dengan gelengan oleh Andraga. “Gue pengen bajigur,” desis Andraga, suaranya teredam suara hujan, tetapi Alvian masih dapat mendengar jelas keinginan sang adik. Bajigur adalah minuman tradisional sunda yang terbuat dari santan kelapa dan gula merah. “Yang instan gue bawa, lo mau?” tawar lelaki berambut agak pirang dan ikal tersebut. Dia selalu ada untuk adiknya, ibaratnya Alvian itu tim logistiknya Andraga. “Boleh, Kak?” tanya Andraga antusias. “Nanti lo cuci gelasnya ya.” Anggukan antusias menandakan bahwa Andraga setuju dengan perjanjian sang kakak. Dilihatnya Alvian berjalan ke pojokan di mana ranselnya disimpan. “Air panasnya gimana? By the way, nama gue Wirayudha.” Wira bertanya lalu memperkenalkan diri, lelaki itu nimbrung begitu saja, seolah ketiganya adalah teman lama yang baru saja dipertemukan kembali. “Di depan ada termos, coba lo minta,” perintah Alvian pada adiknya. Andraga mencebik kesal, tetapi tidak membantah, dia menyeret langkahnya untuk minta air panas ke depan. Setelah mendapatkan air panas dengan termos-termosnya Andraga kembali kepada sang Kakak, kini tidak hanya Alvian dan Wira, melainkan ada satu lelaki yang wajahnya mirip sekali dengan aktor dari Thailand, Joss Wayar. Hanya saja lelaki itu tubuhnya jauh lebih kecil dari Joss, postur khas orang Indonesia. “Itu dapet,” ujar Alvian, buru-buru menyambarnya, langkah lelaki itu menimbulkan deritan pada bilah bambu yang dia pijak. “Tapi gue malu!” “Ya sudah, sini. Hujan keburu reda, seni menyeruput bajigurnya ilang nanti. Kalian mau?” Wira mengangguk, pria mirip Joss Wayar yang ternyata bernama Chandra juga mengangguk. Alvian mengeluarkan dua buah cangkir dari ranselnya, terbuat dari stainless stell dengan ukuran 6 cm tanpa tutup. “Gue Cuma punya dua gelas,” tukas Alvian. “Lo ada gelas sendiri, kan?” “Cangkir,” ralat Andraga. “Alah sama aja.” “Gue ada cangkir, lo bawa gak, Bro?” sahut Chandra. Mungkin karena Wira enggan bangkit dari duduknya, akhirnya dia menggeleng. “Gue icip punya lo aja, Bro. Mager, Nih.” “Halah, masa ada pendaki mageran,” ledek Chandra mengundang gelak tawa Alvian dan Andraga. Aroma lembut santan dan gula merah tercium begitu nikmat, lumayan mengingat mereka sedang dalam situasi darurat. Petir dan tetesan hujan bagai musik pengiring tanpa selimut yang memberikan kehangatan. “Lo pernah muncak ke mana aja?” tanya Andraga. Candra yang menggenggam cangkir hangat mengalihkan perhatiannya. “Baru kali ini.” “Really?” sentak Andraga dan Alvian bersamaan. Bagaimana mungkin, Chandra terlihat seperti pendaki yang sudah sering muncak. “Jangan bilang lo juga ....” Suara Alvian mengambang seraya menunjuk pada wajah Wira. Wira membalas dengan anggukan, kemudian dia nyengir dan melihat sekeliling. Tempatnya sepi, hanya ada satu pendaki yang terlelap di sudut ruangan. “Bener, gue muncak karena ada misi,” jawabnya penuh misteri. “Gue seregu sama teman di depan,” “Udah deh, Wir.” Chandra tidak menyukai saat Wira mengungkapkan tujuannya kepada Andraga dan Alvian. Lelaki itu kentara sekali dengan raut wajahnya yang sangat kesal. “Heh, Buntelan, lo emang berani muncak bareng orang-orang yang sama-sama gak ada pengalaman kayak mereka?” Wira menunjuk ke arah luar, nunjuk tim mereka yang lagi ngobrol asik. “Lo ada pengalaman gak? Gue mana ada tahu jalur.” Chandra termenung sedikit, sementara itu Alvian dan Andraga berusaha mencerna apa yang diperdebatkan oleh Wira dan Chandra. Tidak ada sedikit pun yang dimengerti oleh Alvian dan Andraga. Apalagi Wira berkata seolah-olah mereka akan pergi bersama hingga puncak. “Denger gue, kalau ingin selamat, kita harus ajak orang yang bener-bener ngerti gimana caranya mendaki, mendaki itu gak asal naik-naik saja, Bro. Lo harus ajak orang yang berpengalaman.” Tawa pendaki lain yang menunggu di beranda rumah menggelegar, entah apa yang sedang mereka tertawakan, Wira dan Chandra masih saling tatap dengan emosi yang tak tertahankan. “Bro, kalian ngomong gitu seolah-olah gue sama adek gue setuju buat pergi bareng kalian, ya kita berangkat bareng aja bareng rombongan, udah punya regu masing-masing, kan? Gak usah debat lagi udah. Lo dek, buruan cuci cangkirnya, sebentar lagi hujan reda.” Wira menarik tangan Alvian yang hendak beranjak dari tempatnya sekarang. “Bro dengerin gue dulu.” Alvian mengempaskan pegangan tangan Wira, lalu kembali duduk memberikan kesempatan kepada orang yang baru saja dia kenal untuk bicara. Andraga pun tak kalah penasaran, dia yang hendak mencuci cangkir dengan tampungan air hujan diam sejenak dan mendengarkan. “Gue sama Chandra sepupuan, satu kakek. Kakek kami, Natakusuma adalah seorang ilmuan.” Jeda sejenak Chandra terlihat sangat gusar bola matanya bergerak ke sana kemari, khawatir obrolan mereka terdengar oleh pendaki yang berada di luar rumah singgah. Hujan memang pada akhirnya tidak terlalu deras dan seganas tadi, malah di bagian utara rumah singgah awan hitam seakan sudah habis berganti langit biru yang cerah. “Gue sama Chandra nemu naskah kuno milik kakek, di dalamnya ada peta yang bisa membawa kita ke salah satu negeri di sisi lain gunung yang akan kita daki. Lo bisa bantu kita gak? Kita muncak bareng, nanti jika ‘sesuatu’ yang kakek gue ciptakan bisa ketemu kita bisa jadi kaya. Lo dapet bagian.” Adraga tersenyum dan mengingat PS 5 yang sudah menjadi incarannya. Tidak hanya itu, motor sport mungkin juga bisa dia beli jika berhasil menemukan ‘harta karun’ yang disebutkan oleh Wira. “Udah gak usah khawatir, gue percaya sama mereka,” hibur Wira saat melihat Chandra terus-terusan cemberut. “Kalau gue gak mau ikut gimana? Gue gak enak sama temen seregu.” Alvian menjelaskan ketidaknyamanannya. Tujuannya ke sini hanya untuk melihat lautan awan dari puncak gunung. Bukan untuk mencari harta karun seperti bocah-bocah gak ada kerjaan, lagipula zaman sekarang mana ada harta karun. Mana ada hal-hal yang bikin orang-orang yang malas bekerja, berkhayal, pemimpi atau halu. “Gue paksa. Bilang aja mau tukar regu, kalian gak kenal kan sama mereka? Nanti gue lihatin naskahnya tapi gak di sini. Gue janji, dapet enggaknya ‘sesuatu’ yang diciptakan kakek gue, gue akan tetep bayar kalian berdua.” Benar ketika hendak memasuki kawasan konservasi mereka diizinkan naik dengan minimal jumlah regu empat orang. Karena Alvian dan Andraga pergi berdua, regu ditentukan dari mereka yang juga tidak memiliki regu. “Deal!” sambar Andraga. Membuat murka kakaknya. “Dek. Lo ngapain sih, tanggung jawab gue ke mami gimana kalau sampe terjadi apa-apa sama lo.” Andraga mendengkus, berapa kali sih mereka muncak, berapa gunung di Indonesia yang sudah mereka taklukkan. Kadang dia kesal juga dengan perlakuan kakaknya. Terlalu over protektif. Menganggap dirinya adalah adik kecil yang harus selalu dilindungi. “Gak apa-apa, Kak. Selama kita bersama, kita pasti bisa. Lumayan nambah-nambahin tabungan lo buat beli Brompton.” Bagian terakhir Andraga sampaikan dengan bisikan. “Ya sudah, berapa lama batas waktunya?” tanya Alvian. “Tiga hari, Bro. Tiga hari gak ketemu kalian boleh turun dan kita akan transfer bayarannya. Anggap aja kalian kerja.” “Kalau gak siap mundur aja, gue bisa berdua doang sama Wira.” Chandra akhirnya bersuara. “Dra, lo diem aja,” protes Wira. “Gimana kalau kita dicariin? Di surat izin hanya diizinkan dua hari satu malam saja. ” “Gue dapet izin tiga hari dua malam, Bro,” jawab Wira bangga. “Wow mantap,” sorak Andraga penuh semangat. Antusiasme sang Adik membuat Alvian berpikir sejenak. Tidak tega juga jika harus menolak melihat semangat dan tekad adik lelakinya. Banyak hal yang harus lelaki itu lakukan jika menerima ajakan untuk mencari ‘sesuatu’ yang mereka maksud. Dia tidak menyebutnya harta karun karena Wira dan Chandra menolak menyebutnya harta karun. Hal lainnya adalah pergantian regu, Wira yang berjanji akan menyelesaikan urusan itu sebelum mereka muncak sebentar lagi, saat hujan benar-benar reda. Adraga dan Alvian, seorang pendaki tidak menyadari bahwa pendakian kali ini tidak akan sama lagi. Banyak hal yang harus dia hadapi. Sanggupkah keempat orang itu terlepas dari bahaya yang mengintai mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD