“Nikah kontrak?” Kedua mata Sasha seketika terbelalak laget. Lagi-lagi, Gala berhasil mengejutkannya. Ia tidak habis pikir dengan ucapan Gala. “Nikah kontrak gimana, Om?”
“Ya … nikah kontrak. Kamu tau kan definisi nikah?”
“Ish! Om kira aku masih bocil banget apa? Ya tau lah!” ucap Sasha kesal karena merasa diremehkan oleh Gala.
“Apa, coba?”
“Ya … nikah. Jadi pasangan suami-istri, kan?” jawab Sasha asal.
“Oke. Bagus kalau kamu tahu. Jadi, aku gak perlu capek-capek jelasin,” ucap Gala sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Tapi, kamu jangan baper, ya! Aku terpaksa nikahi kamu bukan karena aku suka sama kamu. Aku punya penawaran dan aku yakin kita sama-sama diuntungkan.”
“Penawaran?” Alis Sasha seketika menyerngit heran.
Gala kembali mengangguk. “Pernikahan ini hanya sebatas nikah kontrak. Em, lebih tepatnya kita hanya menikah pura-pura.”
“Nikah pura-pura?” Lagi, Sasha kembali terkejut dengan pernyataan Gala.
“Ya. Nikah pura-pura. Kita hanya perlu bersandiwara menjadi pasangan suami-istri hanya di depan orang-orang.”
Sasha masih terdiam, mendengarkan penjelasan Gala.
“Terutama kita hanya pura-pura di depan Mbak Nadia dan Karin. Mengerti?”
“Tante Nadia? Karin?” tanya Sasha bingung.
Gala kembali mengangguk. “Iya, semenjak hari itu, Mbak Nadia selalu neken aku buat cepet- cepet nikahin kamu meskipun aku udah berusaha jelasin kejadian sebenarnya. Kepalaku sakit banget dengerin ceramahnya yang itu-itu mulu. Pusing aku dibuatnya. Sementara Karin ….” Gala sempat berhenti sejenak dan menghela nafas panjang seolah sangat berat mengucapkannya. Lalu, ia kembali melanjutkan kalimatnya, “Aku harus secepatnya punya istri supaya dia berhenti menggangguku.”
Sasha tahu ada kegetiran dari kalimat terakhir Gala. Namun, Sasha lebih tertarik dengan menanyakan hal lain. “Lalu, untungnya buat aku apa?” tanya Sasha.
“Sabar, dong bocil! Aku belum selesai berbicara.”
Sasha seketika memasang muka jutek saat Gala memanggilnya bocil. “Enak aja aku dibilang bocil. Dasar Om-Om!” batinnya.
“Aku akan menjamin seluruh kebutuhan kamu dan Bapak kamu. Mulai dari rumah, kendaraan, dan uang bulanan kamu. Kamu gak perlu khawatirin semuanya. Aku cuma butuh kamu bersandiwara di depan orang-orang yang aku sebutkan tadi. Gimana?”
Sasha terdiam sejenak untuk berpikir. Tawaran yang disebutkan Gala memang sangat menggiurkan. Hanya saja, setitik kekhawatiran mulai muncul dalam benaknya. Ia bercita-cita menjadi seorang chef. Namun, apakah cita-cita itu bisa tergapai jika ia menikah sedini ini?
“Gimana?” tanya Gala lagi yang langsung membuyarkan pikiran Sasha.
“Kasih Sasha waktu buat mikir ya, Om?” pinta Sasha.
Meski kecewa karena tidak langsung mendapat jawaban dari Sasha. Namun, Gala mencoba mengerti. “Oke. Tapi jangan lama-lama. Waktu kita tidak banyak.”
Gala lantas mengambil dompet dari saku jasnya, mengambil beberapa lembar uang kemerahan dan di letakkan di atas meja. “Ini untuk ganti ongkos kamu,” ucapnya.
Mata Sasha kembali terbelalak karena jumlah uang yang diberikan Gala jelas melebihi dari ongkos perjalanan Sasha. “Gila! Segampang itu orang kaya ngeluarin duit?” batin Sasha.
“Kalau gitu, aku pergi dulu. Ingat, jangan lama-lama ngabarinnya. Aku butuh jawaban cepat.” Gala lantas berdiri dan pergi dari hadapan Sasha.
***
Setelah pembicaraannya bersama Gala di Café, Sasha jadi terus memikirkan tawaran Gala. Saat ini dia memang telah berada di rumah sakit dan duduk di samping ranjang Bapaknya. Namun, ucapan Gala tadi masih saja terngiang dalam kepalanya.
“Kata Om Gala, dia bakal ngejamin seluruh kebutuhan aku. Apa aku bisa beli semua hal yang aku inginkan?” Sejenak, Sasha terlena dengan tawaran Gala.
Namun, Sasha segera menggelengkan kepalanya. “Ah, gak mungkin! Pasti gak semudah yang aku bayangkan. Terus, kalau kontrak kita selesai, aku bakalan jadi janda, dong? Masa iya diusia muda aku udah jadi janda? Aduh! Jadi pusing, deh!”
Ketika Sasha masih bergelud dengan pikirannya, tiba-tiba suara alat medis yang terhubung dengan tubuh Hendra, berbunyi monoton. Hal itu seketika membuat Sasha langsung panik karena sadar jika monitor menangkap adanya tingkat kehidupan Hendra yang semakin menipis.
“Bapak!” teriaknya panik. Ia lantas berlari keluar ruangan dan mencari dokter untuk memeriksa keadaan Bapaknya.
“Tolong Bapak saya, Dokter!” teriaknya saat berada di ruang dokter.
Dokter dan beberapa petugas medis segera menuju ruangan Hendra. Sementara Sasha hanya bisa menangis sambil menunggu di luar ruangan ketika dokter memeriksanya.
Tak berselang lama, seorang perawat yang tadi ikut masuk ke ruang Hendra, tampak keluar dengan wajah cemas. Tanpa basa-basi perawat itu menghampiri Sasha. “Kamu walinya Pak Hendra, kan? Pak Hendra mengalami kebocoran jantung. Kita harus segera melakukan operasi.”
“Operasi?” Sasha sangat terkejut mendengarnya.
Dia tentu tidak memikili uang sebanyak itu untuk melakukan operasi. Lalu, dia harus minta tolong ke siapa lagi?
Sasha langsung terduduk lemas bahkan hampir terjatuh jika perawat itu tidak segera memeganginya. “Mbak? Kamu gak apa-apa?”
Sasha menggeleng lemas, tidak tahu harus berbuat apa. Bukan hanya masalah uang yang ia cemaskan. Namun, rasa takut akan ditinggal Hendra langsung memenuhi otaknya.
“Mbak, kami butuh jawaban cepat.”
Suara perawat itu baru menyadarkan Sasha. Lalu, tawaran Gala kembali terngiang dalam kepalanya. Sasha segera menghapus air matanya dan berkata tegas kepada perawat. “Tolong operasi Bapak saya. Lakukan yang terbaik agar Bapak saya bisa sembuh.”
Setelah mendapat persetujuan, perawat lantas mengarahkan Sasha ke ruang administrasi. Tentu saja, operasi tidak akan berjalan jika Sasha belum membayar biayanya. Dalam keadaan mendesak ini, Sasha tidak punya pilihan selain meminta bantuan Gala. Tentu saja itu artinya, ia bersedia menjadi istri pura-pura Gala demi biaya Hendra.
Tanpa membuang waktu, Sasha segera menghubungi Gala lewat telepon. Beruntungnya, panggilannya langsung diangkat dalam hitungan detik. “Halo, Om Gala?” Suara Sasha terdengar hampir tidak terkendali. “Om, tolong bantu Sasha. Bapak … dia harus operasi sekarang juga. Dan aku … enggak punya uang untuk biaya operasinya.”
Isakan Sasha terdengar keras dari telepon. Tentu saja menunjukkan jika keadaan sedang tidak baik di sana. “Oke, oke. Kamu tenangin diri dulu, Sha,” tanggap Gala. “Aku akan ke sana sekarang, oke? Aku akan baya biaya operasi Bapak kamu.”
Sasha seketika bernafas lega. “Terima kasih, Om. Terima kasih banyak.”
Namun, sebelum telepon berhasil dimatikan, Gala bertanya untuk memastikan. “Tunggu. Apa artinya, kamu menerima tawaranku?”
Meski terasa berat untuk menjawab iya. Namun, tidak ada pilihan lain. “Iya, Om. Sasha terima tawaran Om Gala.”
Senyum Gala spontan melengkung naik. Ia lega karena bisa tunjukkan kepada Karin jika dirinya bisa menikah lagi. “Oke, tunggu aku akan ke sana sekarang juga!”