“Gimana, Pa? Papa nggak akan ijinin Alin, kan?” tanya Bu Dewi pada Suaminya yang sedang memeriksa beberapa laporan dilaptonya.
“Papa juga bingung, Ma. Selama ini Alin selalu ada dalam pengawasan kita. Papa juga nggak tega kalau harus biarin Alin hidup sendiri di kota orang, tapi kita juga nggak bisa selamanya mengekang Alin, Ma. Selama ini kita membatasi ruang gerak Alin. Papa rasa nggak ada salahnya memberikan Alin kesempatan untuk hidup mandiri,” jawab Pak Rudi. Beliau menyudahi aktivitasnya, dan bergabung bersama istrinya untuk duduk di ranjang.
“Jangan bercanda, Pa. Di sana kita nggak punya keluarga, siapa yang bakal jagain Alin. Mama nggak setuju.”
“Ma, usia Alin sebentar lagi 21 tahun, dia pasti bisa jaga diri. Biarkan dia belajar mandiri, Ma. Siapa tau dengan hidup sendiri Alin jadi lebih dewasa. Percaya sama Alin, selama ini dia bisa jaga kepercayaan kita, dia nggak pernah kecewain kita. Kali ini biarkan dia memilih jalannya sendiri, yang perlu kita lakukan hanya mendukung dan mendoakan dia. Jangan terlalu mengekangnya,” Pak Rudi berusaha memberikan pengertian kepada istrinya.
Sebenarnya Beliau pun tidak sampai hati melepas putri kesayangannya untuk hidup sendiri di kota orang. Tapi beliau tidak ingin putrinya merasa terkekang kemudian memberontak. Ibarat menggenggam pasir jika kita menggenggamnya terlalu erat, maka pasir itu akan lepas dari sela-sela jari kita.
“Tapi, Pa-“
“Ma, Alin juga perlu kebebasan, dia sudah dewasa. Biarkan dia melakuan apapun yang dia inginkan selama itu positif dan tidak melanggar aturan. Biarkan dia merasakan hidup sebagai karyawan biasa, itu bisa jadi pengalaman hidup untuk anak kita,” Pak Rudi berkata dengan lembut sambil menggenggam kedua tangan istrinya.
“Dek, selesai sarapan Papa mau bicara. Nggak ada rencana pergi 'kan hari ini?” tanya Pak Rudi saat mereka sedang menyantap sarapan.
“Nggak kemana-mana kok, Pa.”
Alin sangat cemas, dia takut orang tuanya tidak mengijinkannya untuk mengambil pekerjaan itu. Keinginan untuk bekerja di luar kota sangat besar. Selama ini, Alin selalu mendapatkan kemudahan secara finansial, tidak pernah kekurangan. Uang bulanan yang diperoleh dari orang tuanya lebih dari kata cukup. Saat mendapat kesempatan untuk bekerja dan menghasilkan uang sendiri, dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Setelah sarapan, mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Alin duduk di antara kedua orang tuanya, sedangkan Andre dan Sarah duduk di seberang Alin.
“Alin serius pengen kerja, disana,” Tanya Papanya.
“Serius, Pa,” Jawab Alin lirih. Dia sangat gugup.
“Papa sama Mama sudah membicarakan masalah ini. Kami mengijinkan Alin untuk kerja di sana.”
“SERIUS PAH?” Alin memekik girang dan langsung memeluk Papanya.
“Alin harus bisa jaga diri, jangan terjerumus dengan hal yang nggak baik, harus bisa jaga kepercayaan kami,” nasihat Papanya.
“Pasti, Pa. Alin janji,” ucapnya dengan suara bergetar.
Alin melepaskan pelukannya, kemudian beralih memeluk Mamanya.
“Ma, makasih sudah ngijinin Alin. Mama jangan khawatir, Alin pasti bisa jaga diri.”
Mamanya hanya terisak sambil membalas pelukan putri bungsunya. Berat rasanya membiarkan anak tersayangnya pergi. Sebenarnya dia tidak rela, tapi dia juga tidak mau melihat Alin sedih. Ibu dan anak itu masih terisak. Sarah yang melihat itu, juga tidak kuasa menahan air matanya.
“Nanti Papa sama Mama yang akan antar kamu ke sana. Kami harus lihat bagaimana lingkungan di sana,”
“Sekarang siap-siap, katanya mau tanda tangan kontrak,” ucap Mamanya.
Alin mendatangi kantor PT Bara Makmur untuk menadatangi kontrak kerja. Dia juga diberi penjelasan tentang peraturan yang berlaku di area pertambang dan seragam kerja. Bukan seragam kantor pada umumnya, dia mendapatkan satu set Alat Pelindung Diri, seperti helmet, rompi reflector, sepatu safety, dan kaca mata.
Besok Alin akan berangkat ke tanah rantau, berarti ini adalah hari terakhirnya berada di rumah. Dipandanginya setiap sudut rumah, rasanya masih tidak percaya jika dia akan pergi meninggalkan rumah ini untuk menggapai impiannya.
Alin sedang mengemasi pakaian yang akan ia bawa dibantu oleh Mamanya. Sejak tadi, Mamanya hanya diam, raut sedih terpancar dari wajah ayunya.
“Ma, jangan kayak gini, senyum dong,” ucap Alin sambil memeluk Mamanya dari samping.
“Gimana mau senyum kalau kamu akan pergi jauh dari Mama. Mama nggak pernah berjauhan sama kamu selama itu, Dek.”
“Nggak lama, Ma. Tiga bulan sekali Alin ‘kan cuti, jadi bisa pulang ke sini. Atau Mama yang main-main kesana, nanti kita bisa jalan-jalan ke pantai, Ma.”
“Tiga bulan itu lama, Dek.”
“Atau Mama mau tiap Alin libur kerja pulang ke sini. Sistem kerjanya ‘kan 14 hari kerja, 2 hari libur,” usul Alin.
“Nggak usah, nanti kamu kecapean. Biar Mama aja yang kesana.”
Alin masih memeluk Mamanya sambil memejamkan Mata, dia menghidu aroma khas sang Mama, aroma yang selalu membuatnya tenang ini akan dia rindukan.
“Dek …,” lirih Mama Alin.
“Iya, Ma.”
“Nanti di sana jangan macam-macam, ya. Jangan sampai telat makan. Sering-sering telepon Mama,” ucap Mamanya dengan suara tercekat.
“Pasti, Ma. Mama nggak usah khawatir, Alin pasti akan selalu ingat pesan-pesan Mama. Doain Alin, sukses ya.”
Alin ingin sekali menangis, tetapi dia tahan. Dia tidak ingin membuat Mamanya bertambah sedih. Malam ini Alin tidur bersama Mamanya. Dia Ingin tidur dalam dekapan hangat bidadarinya yang tidak akan dia rasakan selama tiga bulan kedepan.
“Kak, Alin pamit, ya. Kabarin kalau nanti baby-nya udah keluar,” pamit Alin pada Sarah.
“Baik-baik di sana ya, Dek,” ucap Sarah sambil memeluk Alin. Air mata Sarah menetes. Meskipun hanya saudara Ipar, tetapi Sarah sangat menyayangi Alin.
“Jangan nagis dong, Kak.” Alin mengusap pipi kakak iparnya.
“Hati-hati, Dek. Ingat semua pesan kami. Kalau ada apa-apa langsung ngabarin, jangan dipendam sendiri seperti biasanya,” pesan Andre, sambil memeluk erat adiknya. Diciumnya kedua pipi, dan pucuk kepala Alin.
“Aku pergi dulu, Kak.”
“Mama pergi dulu ya, Sayang. Nggak lama, Cuma tiga hari. Kamu hati-hati di rumah,” ucap Bu Dewi pada menantunya, Sarah hanya mengangguk dan tersenyum.
Alin melambaikan tangan pada kakak, dan kakak iparnya saat dia akan memasuki boarding room bersama kedua orang tuanya. Alin menarik nafas panjang, berusaha untuk mengurangi rasa sedihnya.
“Tuhan, berikan aku kekuatan saat aku jauh dari mereka, agar aku bisa membayar keiklasan mereka dalam melepaskanku dengan kesuksesan. Jika hari ini aku pergi diiringai dengan air mata kesedihan, maka ijinkan aku pulang dengan membawa senyum kebanggaan,” Alin memanjatkan doa sambil memandangi kota tercinta dari balik jendela pesawat.
Hari ini orang tua Alin akan kembali ke Balikpapan setelah selama tiga hari menemani Alin mencari tempat tinggal. Alin tidak bisa mengantar Orang tuanya ke bandara karena harus pergi bekerja.
“Mama sama Papa hari ini pulang. Kamu baik-baik di sini, kalau mau pergi pamit dulu sama Ibu kost. Ingat semua pesan Mama,” pesan Mamanya..
“Iya , Ma. Mama juga hati-hati. Kabari Alin kalau sudah sampai. Alin pergi kerja dulu,” pamit Alin mencium tangan orang tuanya.
Selama Alin belum memiliki kendaraan, orang tua Alin meminta tolong pada Danu, anak dari pemilik kost, untuk mengantar Alin ke terminal bus.
“Lin, kamu kenapa? Tanya Icha saat melihat Alin menangis di dalam bus.
“Nggak papa, Cha. Sedih aja, hari ini orang tua aku balik ke Balikpapan,” jawab Alin sambil menghapus air matanya.
“Ya ampun. Sudah jangan nangis, ada aku yang nemenin kamu,” ucap Icha sambil merangkul bagu Alin.
Alin dan Icha berada di divisi service, mereka juga memiliki job desc yang sama yaitu menangani administrasi manpower. Dulu hanya Icha yang menangani ini. Karena karyawan semakin banyak dia menjadi keteteran, jadi Alin di minta untuk membantu Icha.
Alin belajar dengan cepat, dia sudah hampir memahami seluruh cara kerja sistem perusahaan. Alin yang memiliki wajah ayu menjadi pusat perhatian para karyawan pria. Setiap hari ada saja yang mengajaknya berkenalan. Hal ini benar-benar membuat Icha geram, tak jarang dia mengusir pria-pria yang mengganggu Alin.
“Mbak Alin, minta tolong liatkan jadwal cutiku,” pinta salah satu mekanik yang menghampiri Alin.
“Alasan kamu aja itu, Bang.” Bukan Alin, tetapi Icha yang menyahuti pria itu. “Jadwal cuti sudah di share via email,” lanjutnya.
“Hp ku rusak, Cha,” kilahnya.
“Pinter banget bohongnya. Kusumpahin HP-nya rusak beneran.”
“Astaga, Cha. Jahat banget sih. Bilang aja kamu iri.”
“Sori-sori maaf ya, Bang. Aku nggak iri, tapi kalian ini mengganggu kerjaan Alin. Kasian dia harus relain jam istirahatnya untuk ngerjain ini,” jelas Icha, sambil menunjuk tumpukan kertas yang ada di meja Alin.
“Iy deh, aku pergi.” Pria itupun pergi dari hadapan Alin.
“Lin, jangan terlalu diladeni. Nggak ada habisnya kalau kamu ngeladeni mereka,”
“Galak bener kamu, Cha,” gumam Alin lirih,
“Aku denger, Lin.”
Alin hanya tertawa dan melanjutkan pekerjaannya. Tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang meletakan dua kotak brownis di meja mereka. Alin dan Icha kompak menoleh.
“Tumben pulang cuti bawa oleh-oleh,” sindir Icha pada orang yang memberikan brownis.
“Dibawain salah, nggak dibawain tambah salah. Nggak ada benernya kalau berurusan sama kamu,” jawab orang itu.
“Eh, Mas, kenalin admin baru. Dia partner kerja aku.”
Randi mengulurkan tangan untuk berkenalan. “Randi Wijaya.”
“Alina Salsabila,” ucap Alin menjabat tangan Randi.
Randi belum melepaskan tangannya dari tangan Alin, dia menatap Alin sampai tidak berkedip. "Cantik," gumanya,
Alin yang merasa risih, berusaha menarik tangannya dari genggaman Randi.
Melihat itu, Icha langsung berseru, "Kedip! Woi! Kedip! Lepasin tangan anak orang,"
Randi buru-buru melepaskan genggaman tangannya, daun telinganya berubah merah, pertanda dia sedang malu. Sedangkan Alin hanya terdiam dan kembali menghadap layar komputernya,
“Lin, jangan sampai kamu jatuh cinta sama playboy cap kaleng minyak ini,” kata Icha memperingatkan Alin.
“Ck,” Randi berdecak. “Sejak kapan aku jadi playboy?”
“Ya Ampun, Mas Randi amnesia? Mau aku sebutin nama-nama mantan pacar Mas Randi yang banyaknya sama seperti jumlah staf perempuan di divisi kita?”
“Jangan ngaco, kamu.” Randi melempar Icha dengan gumpalan tisu.
“Rani, staf di divisi engineering, Rosa dari divisi logistic, terus Fara anak magang dari uni-“ ucapan Icha terhenti karena mulutnya dibekap oleh Randi.
“Jangan dipercaya, dia bohong.”
Icha melepaskan bekapan tangan Randi dari mulutnya. “Mau bukti?” tantang Icha.
Icha dan Randi terus berdebat. Alin tertawa melihat tingkah dua orang yang ada di hadapannya. Sejenak dia bisa melupakan kesedihan karena orang tuanya sudah kembali ke Balikpapan.