Prolog
Sesosok pria dewasa berdiri di depan sebuah rumah yang besar. Tangannya mengetuk pintu beberapa kali, tetapi benda itu tidak kunjung terbuka juga.
"Cari siapa, Mas?" tanya seseorang dari arah belakang pria muda tersebut.
Di dekat pagar rumah tampak dua orang perempuan yang mengenakan jilbab, mereka jalan mendekati pria tersebut yang masih berdiri di depan pintu.
"Oh, iya. Saya cari kosan, Mbak. Masih ada yang kosong nggak di sini?" balas pria muda itu dengan bertanya balik.
"Masih ada, Mas. Ada tiga kamar yang kosong. Sebentar, ya. Saya ambil kuncinya dulu," ujar perempuan dewasa yang mengenakan jilbab hitam tersebut.
Dia membuka kunci pintu indekos dan melangkah masuk ke bagian dalam rumah. Perempuan muda satu lagi juga ikut masuk sambil mempersilakan sang pria untuk menunggu di dalam.
Perempuan berjilbab hitam tadi kembali dengan membawa beberapa buah kunci di tangannya. "Sini, Mas," panggilnya pada pria yang segera mendekat ke pintu kamar kedua di bagian kanan rumah. "Yang ini, sama yang dua di ujung itu kosong," ujar perempuan itu sambil menunjuk ke arah dua kamar di bagian kiri rumah.
"Yang ini harga sewanya berapa?" tanya sang pria yang bertubuh tinggi tersebut.
Perempuan berwajah manis itu menyebutkan sebuah angka. Kemudian, menjelaskan berbagai fasilitas di rumah indekos tersebut.
"Ayo, kita lihat kamar yang di seberang," ajak perempuan itu pada sang pria yang segera mengikuti di belakangnya.
"Dua kamar ini fasilitas dan harganya sama dengan yang tadi. Silakan dilihat-lihat dulu, Mas," tutur perempuan itu seraya tersenyum.
Pria tersebut jalan memasuki kamar yang terletak di pintu kedua dari ujung lorong. Tatapannya berhenti pada sebuah kursi kayu di bagian dapur kecil.
Sesosok perempuan muda yang mengenakan pakaian pengantin, balas memandangi pria itu dengan raut wajah dingin. Sejenak mereka saling beradu pandang, sebelum akhirnya sang pria membalikkan tubuh dan jalan ke luar kamar.
"Saya ambil kamar yang itu aja, Mbak," cetus sang pria pada perempuan berjilbab. "Dan ini, buat uang mukanya. Saya lunasi minggu depan, sekalian langsung pindah," sambung pria itu sambil memberikan beberapa lembar uang merah.
"Boleh. Tunggu sebentar, ya. Saya siapin kuitansinya," sahut perempuan itu sembari jalan menjauh.
Sang pria menoleh kembali ke kamar di belakangnya, terdiam sejenak sebelum akhirnya menutup pintu dan mengayunkan kaki menyeberangi taman kecil di bagian tengah rumah.
Sementara itu dari bagian dalam kamar, sosok perempuan muda tadi ternyata sudah berdiri di depan jendela. Memperhatikan kedua orang yang sedang mengobrol di seberang kamar. Setelah pria itu pergi, sosok perempuan muda itu melayang menembus dinding. Ikut masuk ke dalam mobil yang dikemudikan pria bertubuh tinggi tersebut.
"Hai," sapa perempuan muda itu pada sang pria yang hanya diam memperhatikannya.
"Ngapain ke sini?" tanya pria bernama lengkap Zainal Ervansyah itu dengan sedikit kesal.
"Ikut sama kamu," jawab perempuan yang bernama Rima Fitriani itu dengan tersenyum lebar.
"Nggak usah ngikutin. Udah, balik lagi sana," tukas Zein, panggilan akrab dari Zainal.
"Ogah! Pokoknya aku mau ikut!" sungut Rima.
Zein mengusap wajah dengan tangan. Berdiam diri sejenak untuk berpikir keras.
Kemampuannya dalam mengolah napas dan mata batin, membuat dirinya mampu melihat dan berkomunikasi dengan makhluk tak kasatmata. Bahkan, sudah beberapa kali dia diikuti oleh makhluk-makhluk astral itu, di mana pun dia berada.
Seperti saat itu, sesosok perempuan muda bergaun cempaka (putih gading) tetap ngotot untuk mengikuti dirinya. Hingga akhirnya Zein mengalah dan membiarkan perempuan itu mengikutinya.
***
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Setelah tinggal selama satu tahun di Bandung, hari itu Zein berangkat untuk pindah ke Jakarta.
Beberapa teman dekatnya beserta perempuan cantik yang bernama Triska, yang merupakan calon istri Zein juga ikut mengantar kepindahannya dari kota kembang menuju Ibu kota. Perjalanan yang mereka tempuh melalui jalur tol, sempat berhenti di sebuah tempat peristirahatan.
"Bang," panggil Triska pada Zein yang baru saja duduk di kursi sebelahnya.
"Anterin ke toilet dong," pinta perempuan berparas cantik itu dengan sedikit manja.
"Sama Tia aja atuh," sahut Zein.
"Aku juga takut ke toilet kalau cuma berdua sama Triska, Bang," sela Tia yang duduk di kursi seberang Zein.
"Ya udah. Ayo," ajak Zein sambil berdiri.
Mereka bertiga jalan beriringan ke toilet. Saat kedua perempuan itu masuk, Zein menunggu di teras depan. Pria berwajah tampan itu mengambil ponsel dari saku celana, dan mengecek beberapa pesan yang masuk ke aplikasi hijau miliknya.
"Bang," panggil suara perempuan yang sangat dikenalnya.
Zein menoleh ke kanan dan langsung membeliakkan mata melihat sosok Rima yang tengah tersenyum lebar ke arahnya.
"Jangan muncul dulu, atuh. Nanti Triska sama Tia jadi tambah takut!" desis Zein.
"Ish! Kenapa harus takut sama aku? Aku kan cantik begini," tukas Rima sambil mengedipkan sebelah mata dengan genit.
Zein yang tadinya hendak marah akhirnya berubah menjadi tersenyum. Gaya centil Rima menjadi hiburan tersendiri baginya.
Satu tahun mereka bersahabat, membuat keduanya cukup memahami perilaku masing-masing.
Zein sangat paham bahwa sosok Rima ini adalah hantu yang manja sekaligus centil. Sebaliknya, Rima juga paham bila sosok Zein yang tampak kalem di luar itu, hanya menutupi sifat jahil dan konyol di dalam dirinya.
"Abang, ngomong sama siapa?" tanya Triska yang ternyata sudah berdiri di belakang Zein.
"Sama Rima," jawab Zein pelan.
"Di mana dia?" tanya Triska sambil mendekat dan menggelayut di lengan kanan pria kekasihnya tersebut.
"Di sebelah kamu," bisik Zein yang sontak membuat Triska terdiam.
Perempuan itu perlahan menoleh ke kanan. Sedikit terkejut saat pandangannya bersirobok dengan sepasang mata bulat milik Rima. Kedua perempuan berbeda alam itu saling tersenyum. Kemudian Rima perlahan menghilang saat Tia jalan mendekat.
Ketiga orang tersebut jalan ke tempat parkir. Langsung masuk ke mobil yang dikemudikan oleh Adi, sahabat baik Zein sejak dulu, saat mereka masih kuliah di Bandung. Tia masuk ke bagian penumpang di sebelah pengemudi. Sedangkan Zein dan Triska masuk ke pintu tengah.
"Udah lengkap semuanya?" tanya Adi sambil menoleh ke belakang. Sedikit terkejut saat melihat sosok Rima yang sedang duduk di kursi sebelah kanan Zein.
Hantu centil itu melambaikan tangan pada Adi yang membalasnya dengan tersenyum. Kemudian, pria bertubuh tinggi besar itu mulai menjalankan mobil keluar dari tempat parkir.
Bersahabat selama beberapa tahun dengan Zein, membuat Adi juga mampu merasakan dan melihat sosok makhluk astral. Bahkan, Adi dan Firman, sahabat Zein yang satu lagi, sering menemani Zein dalam berbagai petualangan mencari tempat-tempat asal cerita seram, atau daerah legenda dan mitos tertentu.
Mobil kedua yang dikemudikan oleh Rama, teman di kontrakan mengikuti dari belakang. Terkadang kedua mobil itu tampak saling susul menyusul. Adi baru berhenti mengebut bila Triska dan Tia mencubit lengannya dengan gemas. Sebagai protes karena Adi telah menyetir dengan kencang.