Elisha baru akan memberikan pidato singkat untuk para calon jodoh yang sudah menunggu di lobi saat ponselnya berdering nyaring. Berdeham, Elisha kemudian meminta izin untuk mengangkat telepon dan menyerahkan sisa acaranya pada Vara. Elisha tak bisa mengabaikan telepon dari atasannya meski ini adalah hari Sabtu. Padahal, Elisha tahu benar jika pembicaraan mereka tak akan jauh-jauh dari bagaimana cara untuk menggaet Birendra Loka Gala, engineer muda yang sepak terjangnya sudah terkenal di kalangan investor dan programmer.
Gala mempunyai sebuah perusahaan rintisan yang baru berkembang, tetapi konsepnya sangat menjanjikan di masa depan. Banyak perusahaan investasi lain yang mengincar Gala, dan salah satunya adalah Bluebox, perusahaan investasi tempat Elisha bekerja. Elisha sendiri belum pernah bertemu dengan Gala, tapi kabarnya, Gala masih berusia dua puluh lima tahun.
Elisha bahkan belum sempat menyapa saat Pak Bram, supervisor di kantornya memberikan perintah. "El, Gala lagi ada di coffeshop di daerah Kemang. Kamu ke sana sekarang ya! Nanti saya kirim alamat lengkapnya ke kamu."
"Tapi saya lagi di luar Pak, enggak bawa berkas kontraknya," balas Elisha, mencoba untuk bersikap tenang, padahal dalam hati sudah kepingin nyemprot Pak Bram pakai desinfektan.
"Kontraknya bisa nyusul nanti. Yang penting kamu yakinin Gala dulu buat gabung sama kita. Atau kalau enggak, basa-basi dulu deh. Deketin dengan cara alus. Ini kesempatan langka loh El, enggak semua orang bisa tahu lokasi Gala kayak saya. Ini informasi eksklusif yang cuma saya kasih tahu ke kamu. Kamu--"
"Baik Pak, Saya ke sana sekarang juga," potong Elisha cepat, sebelum sempat Pak Bram mengoceh panjang lebar dan keluar jalur. "Kalau begitu saya tutup telponnya ya Pak. Saya berburu waktu nih, karena lokasinya jauh."
Elisha sengaja tidak menunggu balasan dan langsung mematikan sambungan. Dia mengibas-ngibaskan telapak tangannya untuk mencegah agar emosinya tidak meledak.
Sialan memang Pak Bram itu. Elisha hanya dapat libur dua kali dalam seminggu, namun tetap saja, dia harus bekerja di salah salah satu hari liburnya yang berharga. Jika bukan karena embel-embel naik jabatan, pasti Elisha sudah...
"Kenapa El? Ditelpon boss?" Tanya Vara tepat sasaran.
Vara pasti sudah terbiasa melihat Elisha yang seperti ini. Jika ekspresinya tampak kesal dan mengibas-ngibaskan tangannya berulang kali, maka itu bukan karena Elisha sedang bertengkar dengan pacarnya, melainkan karena ulah bossnya. Well, Elisha memang enggak punya pacar, sih. Dia punya prinsip buat enggak menetap di satu cowok.
Ibaratnya, kalau bisa tiga, kenapa harus satu?
"Hmmm." Elisha hanya bergumam sebagai balasan. Dia menaruh kembali ponselnya bersiap pergi. "Gue nggak ngerti lagi sama Pak Bram. Kenapa gue harus repot-repot ke kafe buat nyamperin klien kalau gue bisa dateng secara resmi ke kantornya?"
Vara menepuk-nepuk pundak Elisha merasa simpati. "Emang ini jalan hidup yang lo pilih, jadi nggak usah ngeluh." Vara berujar dengan nada sok bijak. "Freelance kayak gue mah enggak tahu beban macam apa yang lo tanggung selama ini."
Elisha menepis tangan Vara dari pundaknya. "Sayangnya, gue nggak bisa nggantungin hidup gue sama sesuatu yang enggak pasti kayak lo." Elisha berbalik dan bertemu tatap dengan sang sahabat. "Gue suka sesuatu yang stabil dan menjanjikan di masa depan."
Vara mendongakkan dagu. Tidak terima pekerjaannya dikatai. “Kenapa kerjaan gue enggak menjanjikan? Kalau lo punya dana pensiun, gue punya ratusan lot saham bluecip. Mau apa lo?”
“Iyain aja deh biar lo seneng.” Kali ini giliran Elisha yang menepuk pundak Vara sebelum meninggalkan kantor. Vara cuma bisa menatap kepergian sang sahabat dengan bibir mengerucut.
***
Elisha harus pulang ke rumah dulu untuk mengambil kontrak, kemudian langsung menyetir seperti orang kesetanan menuju kafe yang disebutkan Pak Bram. Sepanjang perjalanan, Elisha tak henti-hentinya mengumpat. Oh, hari Sabtu-nya yang berharga. Seharusnya hari ini Elisha bisa melihat calon-calon pasangan gemes yang lagi pdkt di kantornya. Tapi gara-gara Pak Bram sialan itu...
Elisha menghela napas.
Benar, Elisha harus bersikap profesional. Demi masa depannya. Demi gaji naik dan kebebasan finansial di depan mata. Tak lupa liburan ke luar negeri tanpa pusing mikirin duit.
Setelah memeriksa penampilannya kembali, Elisha turun dari mobilnya sambil menenteng map cokelat. Dia bergerak menuju kafe, berharap klien yang harus dia temui masih ada di sana. Pak Bram bilang, hari ini Gala pakai kaus dalam warna putih yang dipadukan dengan kemeja garis-garis biru, celana jins dan sepatu kets putih. Elisha tidak tahu Pak Bram dapat info se-detail itu dari mana. Bisa jadi dia menyewa mata-mata, mengingat betapa pentingnya project ini.
Denting bel berbunyi ketika Elisha membuka pintu. Nuansa kafe ini sangat nyaman, dengan dinding yang dilapisi stiker tiga dimensi bergambar serat kayu. Aroma kopi dan coklat yang getir langsung menyambut Elisha pertema kali, menyusul lembutnya vanila yang menyenangkan. Kafe ini cukup ramai, menjadi tempat nongkrong anak-anak muda sepulang sekolah.
Elisha mengedarkan pandangan, hingga kemudian, mata Elisha berlabuh pada sosok manusia yang tidak ingin dia temui di dunia ini. Membuatnya seketika terpaku.
Kejadian di kelab tiga hari lalu langsung terputar di kepala Elisha. Adegan di mana dia merobek kaus cowok itu di depan kelab, mengatainya b******k dan juga gay.
Elisha sungguh malu dan menyesal luar biasa. Semua itu terjadi di luar kendali. Elisha terlalu mabuk hingga tidak bisa berpikir jernih.
Elisha refleks menutupi wajah sampingnya dengan map, berusaha menghindar. Jantung Elisha berdegup liar, dihinggapi rasa cemas dan ketakutan. Elisha memang berhutang maaf, tetapi dia belum siap untuk bertemu cowok itu. Tidak di tempat ramai yang berpotensi membuat Elisha dipermalukan.
Hingga kemudian, sebuah pesan masuk ke ponsel Elisha, dari Pak Bram. Sebuah foto dengan caption, ‘Ini Pak Gala yang harus kamu bujuk buat tanda tangan kontrak’.
Jantung Elisha seakan mau keluar dari rongga dadanya. Kaki-kakinya tiba-tiba terasa lemas. Wajahnya berubah pucat pasi. Klien bernama Gala itu rupanya orang yang sama dengan cowok yang Elisha permalukan di depan klub.
Bayangan masa depan yang cerah seketika hancur lebur. Bagaimana bisa, kebetulan bisa sebercanda ini?
Jelas, Elisha tak bisa menemui Gala, setelah kejadian itu, apalagi sampai menawarkan kontrak. Elisha belum siap dimaki habis-habisan. Atau diusir tanpa belas kasihan.
Elisha tidak bisa menemui cowok itu di tempat ramai seperti ini, jika tidak mau dipermalukan balik. Perlahan, Elisha berbalik menuju pintu keluar, hendak kabur dari sana. Namun, keningnya menyentuh punggung seseorang, membuat Elisha mundur dua langkah.
Saat cowok itu berbalik dan menampilkan wajahnya yang rupawan, jantung Elisha seketika berhenti berdetak.
Sejak kapan, Gala bangkit dari kursinya dan berdiri di depan Elisha seperti sekarang? Bisakah Elisha meminjam kemampuan teleportasi? Sebab Elisha sungguh ingin menghilang sekarang juga!
Astaga. Astaga. Astaga.
Elisha refleks menunduk, membiarkan rambutnya yang tergerai menutupi wajah. Tenang, El. Kamu cuma perlu melewati cowok ini dan semua akan baik-baik saja. Semoga cowok itu tidak mengenali Elisha, semoga cowok itu cukup baik hati dengan membiarkan Elisha pergi.
Sayangnya, harapan Elisha tidak terkabul saat sebuah tangan memegangi lengannya, menahan kepergian Elisha. Hingga kemudian, suara berat itu terdengar, seperti sebuah titah yang datang dari neraka, "Kayaknya kita pernah ketemu sebelumnya."
"Nggak, mungkin Anda salah orang." Elisha berusaha melepaskan tangan cowok itu, tetapi cengkeramannya justru semakin kuat. Kepala Elisha kian tertunduk dalam. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat. "Permisi. Saya buru-buru."
"Coba lihat muka saya baik-baik." Suara berat itu terdengar lagi.
Elisha tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dia selalu berani dan percaya diri, bahkan bermuka tebal dan tidak tahu malu untuk mencapai tujuan. Menghadapi bcah seperti Gala seharusnya tidak ada apa-apanya. Benar. Elisha hanya perlu meminta maaf layaknya orang dewasa. Pembicaraan mengenai kontrak bisa Elisha lakukan lain kali dalam suasana yang lebih formal.
Elisha mengambil napas dalam-dalam, kemudian mengangkat kepalanya dengan percaya diri. Bibir Elisha setengah terbuka hendak berujar, tetapi Gala mendahuluinya,
"Ah, gue salah orang ternyata." Cowok itu mengulas senyum lebar yang tampak ramah dan menyenangkan. Dia segera melepaskan cekalan tangannya. "Lo mirip seseorang yang gue temui beberapa hari lalu. Tapi kalau dilihat-lihat lagi, kayaknya gue salah orang." Dia melambaikan tangan kemudian. "Kalau begitu, gue permisi dulu."
Elisha mengerjabkan mata beberapa kali, mendadak linglung. Tatapannya menyorot punggung tegap Gala yang perlahan-lahan mengecil.
Apa ini? Sebuah keajaiban di negeri dongeng?