Vara sengaja membuat ekspresi seolah-olah dia akan muntah setelah membaca surat yang ditulis Rahma untuk calon suami masa depannya. Mereka bertiga sedang berada di taman belakang rumah Rahma yang luas dengan kolam renang di bagian tengahnya. Ada sebuah gazebo besar dengan nuansa sejuk karena bersebelahan dengan pohon taebuya yang bunga-bunga warna merah mudanya mulai mekar sempurna.
"Tapi calon suami gue emang yang paling mendekati Dear Future Husband yang kita buat. Iya kan?" Rahma mengambil surat di tangan Vara dengan paksa. Bibirnya setengah mengerucut karena kesal. Rahma kemudian menatap kedua sahabatnya bergantian. "Jadi, apa keputusan kalian? Gue yang bakal nikah lebih dulu kan?"
Vara, Rahma dan Elisha adalah sahabat yang sudah bersama sejak kelas satu SMA. Usia mereka kini menginjak dua puluh delapan tahun. Dulu ketika mereka kelas dua SMA, mereka membuat sebuah surat yang ditujukan untuk calon suami masa depan mereka. Alasan mereka berkumpul karena Vara dan Rahma tidak sengaja memilih tanggal dan bulan yang sama untuk pesta pernikahan mereka, yaitu tanggal 28 April, tepat tiga bulan dari sekarang. Mau tak mau, ada satu orang yang harus mengalah dan mengundur tanggal pernikahan agar mereka bisa saling menghadiri pesta pernikahan satu sama lain. Mereka memiliki kepercayaan jika mereka hanya akan menikah satu kali seumur hidup. Elisha tidak mungkin membelah diri untuk bisa menghadiri pernikahan keduanya.
Untuk menentukan siapa yang akan menikah lebih dulu, Vara dan Rahma membuka surat mereka dari masa lalu. Siapa yang calon suaminya memiliki kriteria yang sama persis dengan isi surat, maka dia yang akan menang. Calon suami Rahma, Dana, memiliki semua hal yang terdapat dalam surat. Dia kaya, tampan, terlihat ramah, dan membiarkan Rahma mengambil alih persiapan pesta pernikahan mereka. Dana bahkan tidak keberatan naik kereta kuda ke gedung tempat mereka mengadakan pesta pernikahan. Impian Rahma adalah memiliki resepsi ala-ala putri Disney.
"Tapi gue udah pesen garden di Mulia Hotel untuk tanggal dua delapan. Udah bayar DP juga. Gue juga udah nemu WO-nya dan udah deal." Vara masih tidak terima. Memang benar bahwa calon suami Rahma lebih mendekati dengan kriteria, namun, Vara juga sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat matang.
Sebelum Vara dan Rahma saling adu bacok, Elisha menengahi mereka berdua. Dia menatap Vara dengan sorot memperingati. "Ra, lo harus ngalah dan nunda nikahan lo seenggaknya sebulan setelah Rahma. Biar kalian bisa hadir di pernikahan satu sama lain."
Vara membuang muka, begitu pula dengan Rahma. Elisha memang yang paling dipusingkan dengan tingkah mereka berdua. Selalu saja seperti itu. Mentang-mentang usia Elisha lebih tua lima bulan dibandingkan dengan mereka berdua.
"Kalau Vara masih nggak terima, biar Rahma yang ganti biaya kerugian Vara." Elisha melanjutkan kalimatnya dengan nada tenang. Dia menatap kedua sahabatnya yang masih saling diam. Elisha menghela napas panjang. "Guys, kalian berdua udah gede. Kalau enggak ada yang mau ngalah, gue nggak akan datang ke pesta pernikahan kalian."
Ancaman Elisha membuat Vara memasang wajah merajuk. Dia segera bergeser untuk mendekati Elisha. "Oke. Gue bakal ngalah dan bujuk Ganesh buat nunda pernikahan." Bola mata Vara memandang Rahma dengan sorot tajam. Kekesalan itu masih tersimpan di wajahnya. "Lo sanggup nggak bayar biaya ganti rugi?"
Senyum Rahma langsung terlukis cerah. Dia mengangguk, kemudian memeluk Vara dengan cara paling kekanakan. "Gue bakal ganti berapa pun yang lo mau, tenang aja." Rahma menggoyang-goyangkan lengan Vara. Dia bahkan menciumi pipi Vara beberapa kali untuk mengutarakan kegembiraannya. "Makasih, bestie-ku yang cantik dan memesona. Aku bangga kepadamu Nak."
"Dih, jijik." Vara menjauhkan wajah Rahma dari jangkauannya. "Jangan deket-deket."
"Loh, kalian lagi ada acara kumpul-kumpul?" Dana tiba-tiba muncul. Dia masih mengenakan kemeja putih dan celana bahan, sementara dasi dan jasnya sudah dilepas. Lengan kemeja cowok itu sudah digulung sampai siku. Senyum Dana terlukis menawan, dengan lekuk kecil di kedua bibirnya. Dana punya fisik yang sempurna sebagai laki-laki, tinggi dan berotot di tempat yang pas, seperti keluar dari sebuah buku dongeng.
Rahma benar bahwa semua keinginannya di masa lalu telah terwujud, berbentuk laki-laki yang menawan seperti Dana.
"Nggak apa-apa, gabung aja." Rahma segera bangkit dan bergelayut manja di lengan Dana. Mereka berdua tampak seperti sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta. Pantas Rahma ngotot sekali ingin menikah lebih dulu. "Ada kamu malah makin seru."
Dana melepaskan tangan Rahma dari lengannya perlahan. Dia mengulas senyum tipis. "Enggak apa-apa, kalian lanjutin aja apa yang sedang kalian bahas. Biar aku ngobrol sama Mama di dapur." Dana mengangguk sopan pada Vara dan Elisha. "Nggak usah buru-buru. Aku di sini sampai nanti malam kok."
Dana memang sudah mengenal Vara dan Elisha dengan baik, tetapi masih merasa canggung untuk bergabung tanpa rencana sebelumnya. Karena itu, Dana lebih baik menunggu lebih lama untuk bicara pada Rahma dari pada mengganggu ketiga sahabat yang saling melepas rindu.
Vara menatap punggung tegap Dana yang perlahan menjauh tanpa berkedip. Meski Vara sudah memiliki Ganesh, namun tetap saja. Paras rupawan Dana mubazir untuk tidak dinikmati selagi ada kesempatan.
"Awas ngiler," Rahma mendorong kening Vara hingga terjatuh ke belakang. "Gue tahu kalau Ganesh emang nggak seganteng Dana. Tapi lo nggak boleh mupeng gitu liatin Dana. Dosa!"
Vara memutar bola matanya kesal. Dia segera menjauhi Rahma dan mepet pada Elisha. Namun, Elisha berdiri dan membuat Vara nyaris terjatuh lagi ke samping.
"Kayaknya kita udah clear ya. Tanggal dua delapan April jatahnya Rahma." Elisha menatap Vara yang memasang muka jengkel. Elisha tidak tahan untuk tidak mengetuk jidat Vara yang lebar. "Mukanya dibenerin."
"Nggak apa-apa kalian langsung pulang?" Sorot mata Rahma justru berbinar cerah, berbalik dengan ucapannya yang seolah tak ingin kedua sahabatnya lekas pergi.
"Gue masih ada urusan di kantor." Elisha melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Dia menatap Vara kemudian. "Gue harus balik sekarang, tapi kalau Vara tetap mau di sini ya silahkan."
"Gue masih cukup tahu diri buat nggak gangguin kencan orang lain." Vara masih memasang muka jutek. Dia kemudian mengambil tasnya yang tergeletak di lantai dan bersiap pergi. Dengan ceria, Vara menggandeng lengan Elisha. "Ayo El, kita pergi kencan berdua."
Elisha hanya memutar bola mata sebagai balasan.
****
Makan malam hari ini entah kenapa terasa sangat sempurna. Rahma duduk di sebelah Dana, sementara Ayah dan Mama juga duduk bersisian di depan mereka. Semua hidangan sudah tertata rapi di atas meja, beraneka ragam, mulai dari kalkun panggang hingga steak daging dengan kualitas terbaik.
Kisah cinta Rahma sangat klise, seperti kebanyakan orang kaya lainnya. Tepat enam bulan lalu adalah pertemuan pertama Rahma dengan Dana atas perintah Mama. Mereka berdua dijodohkan, dengan alasan bahwa kedua orangtua mereka sangat dekat. Ajaibnya, baik Rahma maupun Dana saling tertarik, dan pada akhirnya sepakat untuk menjalin sebuah hubungan. Memang, hubungan mereka terjadi dengan begitu mudahnya. Dana adalah sosok pangeran dari negeri dongeng yang selalu Rahma impikan sejak kecil. Dia memancarkan aura seorang pangeran yang mengendarai kuda putih.
Karena itulah, pada akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk menyegarkan pernikahan. Sikap Dana begitu ramah dan sopan, dia juga jarang marah dan memperlakukan Rahma seperti seorang putri. Kehidupan seperti di negeri dongeng, Rahma akan mendapatkannya segera setelah dia menyandang status sebagai istri sah Dana. Hanya dengan memikirkannya saja, sudah membuat jantung Rahma berdebar dengan penuh antusias. Apa lagi, Dana mengizinkan Rahma untuk mengatur akad dan resepsi pernikahan seperti yang selama ini Rahma idam-didamkan.
Surat yang dia tulis ketika usianya masih berusia tujuh belas tahun, terwujud dengan begitu mudahnya. Tuhan memang baik hati karena membuat Rahma terlahir sebagai anak orang kaya. Hidupnya dipenuhi dengan gemerlap harta dan kemewahan tanpa dia bersusah payah.
"Sayang, kamu harus makan yang banyak. Jangan takut jadi berisi saat pernikahan kita nanti." Rahma tersenyum manis. Dia mengambilkan iridsan daging kalkun panggang ke piring Dana.
"Tapi aku pengin kelihatan gagah di pernikahan kita, biar kamu nggak malu punya suami aku." Dana terkekeh kecil. Dia mengelus puncak kepala Rahma dengan penuh kasih sayang. "Bukannya kamu pingin dansa dan diangkat seperti tuan putri?"
Rahma menyenggol lengan Dana main-main. Dia menunduk untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. "Aku tahu kalau kamu bisa menjaga diri kamu sendiri dengan baik. Nanti aku temenin ke gym."
"Stop dulu acara mesra-mesraannya, kita makan." Mama tersenyum jail. "Nanti diterusin lagi kalau udah berduaan aja."
"Mama apaan sih." Rahma menyembunyikan wajahnya di lengan Dana malu-malu.
"Nggak usah malu di depan Mama. Mama juga pernah ngerasain masa jatuh cinta yang berbunga-bunga kayak kamu dulu. Nikmati aja prosesnya." Mama tersenyum manis. Sorot matanya menunjukkan kasih sayang yang teramat besar. "Nanti kalau udah nikah dan tahu keburukan masing-masing, bakal beda lagi rasanya."
Rahma hanya mengerucutkan bibir sebagai balasan. Dia menatap Dana yang sibuk mengunyah makanan. "Sayang, kamu nggak akan berubah kalau kita udah nikah nanti kan?"
Dana menggeleng dengan wajah polos. "Aku janji nggak akan berubah."
Rahma terkekeh riang dan memeluk lengan Dana dengan sayang. Kehidupan yang sempurna ini, bukankah menyimpan sesuatu yang mengerikan? Sesuatu yang diam-diam sedang mengumpulkan pasukan, kemudian meledak dalam waktu yang tidak terduga. Bisa jadi ledakannya akan menghancurkan, tetapi bisa juga menyalakan hasrat baru yang membuat jantung berdebar-debar.