Prolog
Azril melirik sebuah buket bunga segar yang berada tepat di sebelahnya, pria itu menarik napas berat. Dia ingin sekali menyuruh sopir pribadinya untuk putar balik tetapi semakin dia memikirkannya semakin ucapan itu tidak keluar juga dari bibirnya.
Hari ini, dia baru saja tiba dari London. Azril singgah di toko bunga langganannya lalu membeli bunga mawar merah sebelum bertemu dengan orang yang sangat di rindukannya. Walaupun sudah dua tahun tidak mengunjungi toko itu, pemiliknya masih hapal bunga yang dibeli oleh Azril.
Setengah jam berlalu dengan sangat cepat bahkan tanpa Azril sadari. Mobil sedan mewah yang dia tumpangi mulai berjalan lebih lambat ketika mereka memasuki kompleks pemakaman.
Jantung Althaf bertalu-talu ketika dia turun dari mobil dan melihat gapura tinggi yang merupakan pintu pemakaman. Di detik yang sama, Azril merasa pasokan udara di paru-parunya menipis. Di tambah lagi dengan matanya yang kabur karena cairan bening mulai menggenang di pelapuk matanya.
Azril menengadahkan kepalanya ke langit agar air matanya masuk kembali, tetapi cara itu tidak berhasil. Cairan bening itu sukses mengalir di kedua sisi pipinya, Azril menghapusnya dengan kasar. Rasa sesak menyerangnya ketika dia melangkah memasuki tempat itu.
Azril menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering. Dia masih ingat jelas kejadian tiga tahu lalu di tempat ini, dia menangis meraung-raung ketika melihat tubuh kekasihnya di masukkan ke dalam tanah. Hari itu menjadi hari yang sangat pilu untuknya.
Tempat itu masih sama seperti kali terakhir dia datang, Azril meletakkan buket bunga mawarnya di atas sebuah makam. Ya, itulah tempat yang di tuju di hari pertamanya kembali ke Indonesia. Tempat di mana kekasih, belahan jiwanya di makamkan.
Karin Anjana. Wafat 21 Agustus 2017
Azril langsung menumpahkan air matanya, dia mengelus pelan pusara Karin dan menangis dalam diam. Rasa sesak di dadanya membuat Azril kesusahan untuk bernapas, dia memegang dadanya yang terasa nyeri yang tidak tertahankan.
Rasa itu masih ada di sana, walaupun sudah tiga tahun berlalu tertanda perasaannya masih sama, Azril masih mencintai gadis yang seharusnya sekarang sudah menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya.
“Hai, Karin—”
Azril menghentikan kata-katanya ketika tenggorokannya tercekat. Air mata kembali mengalir di kedua sisi pipinya. Azril merupakan pria yang tidak pernah menangis, dia selalu tegar tetapi beda halnya jika dia berada di tempat ini.
Air mata yang sudah setiap hari dia tahan akhirnya tumpah, Azril tidak bisa lagi menahannya ketika dia berada di dekat Karin. Tangannya bergetar ketika memegang batu nisan nama orang yang sangat dia sayangi. Satu-satunya wanita yang paling mengerti dan mengetahui dirinya yang sebenarnya. Wanita yang rela dia beri apapun agar tetap berada di sisinya.
Tetapi, itu tidka bisa dia lakukan karena Tuhan lebih dahulu menjemput Karin.
“Aku datang lagi. Maaf karena aku baru datang sekarang.” Ucap Azril berusaha tersenyum.
Jujur, Azril tidak ingin menangis ketika datang ke tempat ini. Tetapi, dia tidak bisa menahan ribuan kenangan yang tiba-tiba berputar di kepalanya tentang saat-saat dia bersama dengan Karin. Itu yang membuatnya menangis, sedih karena sangat merindukannya.
“Seharusnya, kamu ngajak aku juga Rin. Seharusnya kamu nggak tinggalin aku sendiri.” ucap Azril mulai kembali mengucapkan kalimat putus asa. “…seharusnya aku yang berada di posisi kamu tapi karena aku, kamu harus pergi selama-lamanya.”
Azril kembali menaris napas panjang setelah matanya kembali berkaca-kaca. Azril membekap mulutnya, lagi-lagi dan lagi dia tidak bisa menahan tangisnya.
Sebagai seorang pria tentu saja menangis sangat memalukan untuknya tetapi Azril tidak peduli jika ada orang yang mengejeknya karena rasa kehilangan dan rasa rindunya melebihi apapun.
Azril mengusap air matanya, wajah memerah karena tangis. Dia menengadah ke langit yang mulai mendung, awan hitam mulai menyelimuti dan membuat sinar matahari tertutup dengan cepat. Azril melihat arloji yang melingkar di tangannya lalu bangkit berdiri.
Dia ingat betul siapa yang membelikan arloji mewah yang saat ini masih bertengger indah di tangan kirinya, itu hadiah pemberian Karin saat dia resmi bekerja di perusahaan dan itu menjadi hadiah terakhir Karin kepadanya.
“Sayang, aku pamit, ya. Aku janji lebih sering datang, maaf karena aku numpahin air mata di atas makan kamu.” ucap Azril lalu beranjak berdiri.
Sejenak, Azril menatap makam Karin lalu mulai melangkahkan kakinya pergi dari tempat itu. Dia merasa langkah kakinya sangat berat, sudah tiga tahun hatinya hampa, Azril belum bisa membuka hatinya kepada wanita lain. Penyemangat hidupnya telah pergi, dia hanya bisa bertahan dengan mengingat kenangan mereka bersama.
Azril hanya berharap dia cepat dijemput Tuhan agar bisa bersama dengan Karin.