Yuta memarkirkan motor besarnya pada bahu jalan sembari mendecak samar karena sedari tadi ponselnya dalam saku celana berdering nyaring. Semalam pasti kepencet, makanya volumenya full begini.
"Apa?" Ketusnya sudah menempelkan benda pipih itu pada telinga membuat seseorang di seberang mengumpat kasar. "Sekolah? Emang udah mulai sekolah?" Tanyanya dengan kening mengkerut sembari menurunkan hapenya kembali, mengecek tanggal.
"Beneran udah hari senin dong anjir, yaudahlah gue nanti berangkat jam 9. Mau tidur dulu bentar," balasnya santai lalu mematikan sambungan tanpa mau mendengar lagi ocehan seseorang di seberang telepon.
Yuta kembali memasukan hapenya dalam saku dengan mendecak kasar, "kenapa? Nyokap lo telepon lagi?" Tanya pemuda di sebelahnya yang kini berdiri menyodorkannya minuman membuat Yuta meraihnya lembut. "Bukan, tadi Hendrik yang nelpon katanya suruh sekolah." Pemuda berahang kokoh bak pangeran itu mengangguk samar sembari tersenyum.
"Benar juga, udah sekolah. Sekarang kita pulang ke rumah gue aja, nanti sekalian mandi di sana." Ajak pemuda itu, Jake namanya.
"Ck, padahal gue masih ngantuk." Gerutu Yuta sudah menyalakan mesin motor, "kan bisa tidur di mobil pas ke sekolah." Sahut Jake sudah naik ke jok belakang sembari memakai helm.
"Dih, gue gak mungkin ninggalin motor gue, njir." Kesalnya membuat Jake terkekeh saja.
"Buruan jalan, udah mulai panas." Kata Jake sudah memukul pelan bahu Yuta membuat pemuda yang memakai jaket denim levis itu langsung menarik gas pergi meninggalkan arena balapan.
Jake dan Yuta dari semalam, lebih tepatnya jam 1 malam datang balapan di jalan yang dekat dengan alun-alun kota itu. Keduanya memang sudah janjian untuk menghabiskan malam bersama dan nongkrong di sana.
Sebenarnya Hendrik juga ikut, tapi tidak jadi karena orangtuanya memergoki pemuda itu yang hampir pergi diam-diam. Jadinya, cuma Jake dan Yuta yang ikut balapan dengan anak-anak lain.
**
Yuta sudah segar setelah mandi dan keramas di kamar mandi luas di kamar Jake.
Temannya yang satu itu memang the real sultan, satu kamar Jake saja seluas rumahnya Hendrik yang di lantai satu.
Tapi, Jake ya begitu anaknya. Sederhana saja, tidak terlalu menampakan diri kalau dia adalah anak tunggal kaya raya.
Cocok banget buat dijadiin suami.
Yuta menggerakan kepalanya saat melihat bayangan mendekat di belakangnya. Alisnya terangkat tinggi saat melihat Jake sudah masuk ke area dapur dan membuka lemari esnya yang sebesar lemari pakaian itu.
Yuta juga bisa masuk ke dalam kulkas sana dalam posisi berdiri tegak. Kekayaannya gak main-main.
"Lo mau sarapan apa? Tapi, yang ada cuma sandwich sih sama salad sayur." Ujar Jake masih menghadap lemari es yang terbuka, sudah siap dengan seragam sekolahnya yang rapi.
"Sandwich ajalah, atau gak ada nasi uduk apa nasi padang gitu? Emang kenyang makan salad doang sama sandwich?" Balas pemuda itu sudah mendekat dan duduk di meja bar dapur yang terbuat dari keramik itu.
Jake tersenyum saja sembari mendudukan diri dan memasukan sandwich ke dalam microwave lalu menarik salah satu kursi duduk di hadapan Yuta yang sudah meneggak segelas air putih.
"Haus banget ya lo?"
"Yoi, dehidrasi kali ya."
Jake mengernyitkan dahinya sembari membuka salad miliknya dan menuangkan mayonaise di atasnya.
Yuta menatap heran ke arah pemuda itu yang langsung memasukan potongan sayur dengan isian selada, mentimun, paprika, tomat dan juga campuran saus thousand island homemade ke dalam mulutnya.
"Emangnya kambing makan daun-daun begitu?" Cibirnya dengan mendelik samar, Jake mendecak saja sembari bangkit berdiri saat mendengar bunyi tanda sandwich milik Yuta sudah siap untuk disajikan.
"Buruan makan, kita udah telat." Kata Jake kembali melanjutkan makannya membuat Yuta menurut saja.
**
Jake mengedarkan pandangannya sembari berdiri di depan mading, mencari namanya di sana. Alisnya makin mengkerut karena tidak menemukan namanya di kelas manapun.
Pemuda itu menggaruk alisnya dengan telunjuk, mengeraskan rahang kokohnya yang makin menegaskan wajah tampannya.
"Kak Jake masuk kelas mana?"
Jake yang sedang melamun jadi menoleh pelan dan langsung tersenyum saat mendapati gerombolan cewek-cewek di sebelahnya yang mulai tebar pesona padanya.
"Belum tau, ini lagi nyari." Balasnya ramah sembari kembali memandangi mading di depannya.
"Semoga satu kelas sama aku ya kak, biar bisa ... ehm." Kata gadis itu tersenyum malu-malu sembari menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
Jake membalas dengan tersenyum saja, berusaha ramah. "Ck, sana lo ular!" Suara cempreng Hendrik yang sudah menyeruak di antara Jake dan gadis-gadis itu sontak mengalihkan perhatian. Pemuda yang kulit sedikit gelap itu langsung mendorong gadis-gadis genit itu dan menarik lengan Jake menjauh.
"Jangan keliaran sendiri, lo tau kan di sekolah kita banyak ularnya." Sindirnya ke arah gadis-gadis di sebelahnya yang langsung mengumpat ke arahnya.
"Hush, sana pergi! Jangan godain teman gue, belajar dandan yang baik dulu sana. Muka lo semua kayak kunci gitar," usirnya dengan mengibas-ngibaskan tangan.
"Kunci gitar?" Ulang Jake dengan alis terangkat tinggi tak paham. "Hm, minor. Make upnya minor," balasnya dengan muka tanpa dosanya.
"Menor, Hen, menor." Kata Jake lelah sendiri membuat Hendrik mendelik saja seakan tidak peduli.
"Lo udah tau kelas lo dimana?" Tanya Jake kembali menegakan tubuh jangkungnya. "Oh, jelas. Gue udah dapat kursi paling strategis malahan. Dekat jendela, biar bisa lihat adik kelas lewat." Jelasnya berbinar sembari menaik-turunkan alisnya. "Gue gak nemu kelas gue, makanya mau lapor dulu."
Jake yang hendak melangkah pergi pun langsung tertarik pasrah saat lengannya diseret Hendrik pergi dari sana.
Pemuda keturunan bandung-australia itu hanya pasrah saja, karena percuma saja kalau menolak. Hendrik akan tetap menariknya sampai ke tempat tujuan.
"Kemana sih, Hen? Gue mau nyari kelas gue dulu." Jake sudah melangkah malas dengan memperbaiki ranselnya di belakang punggung. "Ck, ini gue ngajak lo ke kelas juga." Sahut Hendrik ringan.
Jake memicingkan matanya bingung, walau kemudian tertarik untuk berbelok ke koridor ujung. "Kita mau ke gudang ya?" Tanyanya masih penasaran.
"Kan tadi gue udah jawab ke kelas, sayang." Balas Hendrik berusaha bersabar membuat Jake mendelik jijik sembari mendorong muka pemuda itu menjauh darinya.
Hendrik yang terdorong hampir terjengkang ke belakang kalau tidak segera menyeimbangkan diri.
"Woi, bambu!"
Keduanya sontak menolehkan kepala, memandangi Yuta yang masih sibuk merapikan rambut ala kandika kangen bandnya. Pemuda itu makin mendekat lalu menyeruak di antara Jake dan Hendrik yang sontak melengos saja.
"Katanya kita masuk kelas makanan khas papua tuh, apa ya?" Jake menghentikan langkahnya, memandang Yuta yang bertanya. "Papeda?" Balas Jake membuat Yuta merekah dan mengangguk-ngangguk membenarkan. "Kenapa jadi papeda, sih b**o!" Umpat Hendrik gemas sendiri.
"Berbeda, kelas berbeda." Jelas Hendrik dengan penuh penekanan.
"Lah, tadi gue dengarnya papeda pas anak-anak depan mading bilang. Gue kira ada sejenis kelas baru khusus tata boga begitu." Balas pemuda itu asal.
"Otak lo yang harusnya ditata," balas Hendrik kasar, melangkah masuk ke kelas lebih dulu. Jake mengekori dengan Yuta di belakang yang masih sempat-sempatnya mengaca di jendela.
Jake berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Alisnya makin bertautan melihat anak-anak kelasnya yang sudah sibuk sendiri. Ada yang dipojokan main gitar dengan dua orang sudah joget-joget ala jamet.
Di meja sudut ada yang tengah galau dengan earphone di telinga sembari memandang keluar jendela kelas. Ada juga yang sudah tiduran di belakang kelas dengan menjadikan ransel sebagai bantalan. Sisanya main game tidak jelas dengan berghibah ria menceritakan pertandingan motoGP semalam.
Dari semua anak kelas ada satu yang paling tenang, duduk rapi dengan melipat kedua tangan di atas meja. Tatapannya lurus ke depan papan tulis dengan bibir yang setia tersenyum.
Pelipisnya tampak terluka seperti memar karena dipukul, mungkin sebelum datang sekolah dia berkelahi.
"Ngapain bengong, ayo masuk!" Ajak Hendrik membuyarkan lamunan Jake yang langsung mengekor temannya itu.
Jake pun mencari tempat duduk yang tersisa, duduk di meja kedua dari belakang di sudut kanan. Sedangkan, Hendrik satu meja di depannya dan Yuta satu meja di depan Hendrik.
Jake menggerakan kepalanya ke samping kiri, ke meja sudut. Ia tersentak kecil saat tidak sengaja tatapannya bertubrukan dengan tatapan pemuda yang sudah melemparkan tatapan tidak bersahabat padanya.
"Jangan cari masalah, hindari tatapan dengan bapak Jaya." Kata pemuda di meja sebelahnya membuat Jake langsung mengalihkan pandangannya.
"Kenapa?" Bisiknya sembari agak mendekat pada pemuda di sebelahnya. "Lo gak lihat si Dwi, mukanya memar karena ditonjok sama Jaya." Bisik cowok itu lagi membuat Jake menganggukan kepalanya berusaha mengerti.
"Oh iya, nama lo siapa?" Tanyanya sudah sok akrab. "Jake Arkata, panggil aja Jake." Pemuda itu menganggukan kepalanya dengan tersenyum lebar.
"Gue Yogi Indrawan, panggil aja Yogi." Katanya dengan memukul pelan bahu Jake yang nampak kaget dengan perbuatannya.
Walaupun begitu, Jake tersenyum saja.
Suara bel masuk pun membuat mereka makin bising, bahkan dua orang sudah maju jadi badut di depan kelas. Ada yang nyanyi-nyanyi tidak jelas sampai yang salto bolak-balik lalu tergelak sendiri.
Seorang guru sudah berdiri di ambang pintu kelas, namun perhatian mereka sama sekali tidak teralihkan.
Guru laki-laki itu menegur pelan dengan memukul-mukul pintu di sampingnya, namun sama sekali tidak didengar oleh murid-murid di kelasnya.
"Anak-anak, tolong kembali ke mejanya masing-masing. Ada yang mau bapak sampaikan." Suara sang guru sudah tenggelam dalam gelak tawa anak muridnya, Jake sendiri hanya bisa pasrah tanpa mau ikut campur.
Gebrakan kasar di meja belakang sudut kiri membuat anak-anak kelas sontak terdiam. Tatapan mereka langsung tertuju pada sosok dingin itu yang duduk menyender pada kursinya.
"Duduk, ada guru." Kata Jaya penuh penekanan dengan sorot mata tajamnya membuat teman kelasnya langsung membubarkan diri dengan meneguk ludah berulang kali.
Hampir saja berurusan dengan Jaya, bisa-bisa hidup mereka menjadi mimpi buruk kalau harus ditandai sama mahluk menakutkan itu.
Guru di depan kelas jadi berdehem samar, tertegun melihat perbedaan reaksi anak muridnya. Harga dirinya sebagai guru kini harus dipertanyakan.
"Kalau begitu bapak mulai ya," ujarnya sudah berusaha mencairkan suasana, menyimpan absen di atas mejanya. "Untuk satu semester ke depan bapak akan menjadi wali kelas kalian, nama bapak Jaelani." Sambungnya dengan tersenyum samar.
"Kalau begitu bapak absen satu-satunya, hitung-hitung juga sebagai bentuk pengenalan diri. Nanti yang bapak sebut namanya, angkat tangannya sama berdiri biar kita semua bisa lihat." Jelasnya dengan tersenyum lagi.
"Eung ... Arseno?"
"Sa-ya, pak." Sahut pemuda berkulit putih itu sudah tersenyum manis seperti anak gadis. "Ini bapak panggilnya apa, Seno aja ya?" pemuda itu mengangguk saja mengiyakan.
"Panggil lakik aja pak, biar anaknya juga makin lakik. Soalnya Seno selalu main sama anak perempuan, pak. Saya takutnya dia belok." Ujar Hendrik sudah bersuara membuat Arseno mendecih ke arahnya. "Apasih lo, sirik aja." Balas Seno dengan merenggut.
"Apwasih lwo, swirik aja." Ulang Hendrik dengan mengikuti gaya bicara Arseno yang seperti anak gadis.
"Sudah, sudah ... sekarang bapak panggil lagi ya." Lerai Jaelani dengan berusaha bersabar, "Bastian Nichole?"
"Di sini, pak." Sahut pemuda tinggi itu dengan tersenyum manis pada sang guru. "Buset nama lo kebagusan, kenapa gak sekalian mie ama kol? Jadinya tumis kol." Celetuk Yuta sudah heboh dengan Hendrik di belakangnya.
"Bacot, anj––" u*****n Bastian terpotong saat mendapat pelototan tajam dari gurunya.
"Oke, selanjutnya ... Ben Tornado."
Pemuda mungil itu berdiri dengan melambai manis di mejanya, "panggil aja Bento, pak. Bukan barbeque, bukan pula teriyaki apalagi asam manis, ini bento murni tanpa rasa." Katanya dengan mengepalkan tangannya antusias.
"Cobain dong, bentonya?" Sahut pemuda berambut belah tengah di meja paling depan. Bento sontak mendelik ngeri membuat yang lain terkekeh pelan walau ada beberapa yang hanya diam saja. "Dwi Harun?"
"Saya, pak." Sahut cowok yang mengancing seragamnya sampai di atas leher itu. Yang barusan mengatakan ingin mencicipi Bento.
"Eric Arkana?"
"Yo, i'm here." Balas pemuda tampan itu sudah berdiri. "Lain kali nyahutnya yang agak sopan ya." Kata sang guru dengan memaksakan tersenyum membuat Eric merapatkan bibir. "Gilang Gemilang?"
"Hadir, pak. Gilang di sini, di hatimu."
"Najis, lo anju." Sahut pemuda di sebelahnya dengan delikan tajam. "Sirik aja lo heh!" Kesal Gilang sudah ingin berdiri dan memukul pemuda bersuara agak serak itu. "Sudah, tenang dulu ya ... bapak selesaiin dulu absennya." Kata Jaelani dengan memegang pangkal hidungnya sudah mulai penat. Padahal baru hari pertama.
"Giorgino Sabin?" Anak kelas pun sontak menolehkan kepala ke salah seorang anak tinggi yang duduk di meja paling depan di sudut kiri.
Cowok itu sudah berdiri dengan menganggukan kepalanya sopan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun lalu duduk kembali.
Jaelani jadi ikut diam kembali merunduk pada buku absennya, "Hanung Kai." Lanjutnya kembali mengabsen. "Saya di sini, pak." Sahut Hanung sudah berdiri dengan senyum cerianya.
"Saya mau ngomong bentar ya, pak. Boleh?"
"Ya, boleh."
Hanung tersenyum sesaat, "oke teman-teman, aku punya channel yutub namanya Hanung Hanungan tidak pakai spasi ya. Kalian bisa nonton semua video aku di sana, jangan lupa komen, like dan subscribe ya?"
Katanya masih dengan nada riang.
"Videonya panas gak nih? Rate berapa?" Sahut Hendrik tanpa dosa membuat Hanung menggelengkan kepalanya polos.
"Ada sih satu video panas," Hendrik dan anak-anak kelas sontak berbinar, menunggu penuh harap. "Pas gue collab sama adik kelas, judulnya ... cara bikin dalgona panas." Lanjutnya membuat Hendrik mengumpat kasar.
"Eung ... bapak lanjut absennya lain kali aja ya, bapak keluar dulu sebentar." Kata sang guru sudah melangkah keluar kelas dengan tatapan kosongnya.
Hari-harinya akan diisi dengan kebisingan dan kegaduhan anak kelas berbeda yang sudah mulai heboh sendiri. Padahal Jaelani belum betul-betul meninggalkan kelas.
Ini bukan kelas berbeda, tapi kelas neraka.