54-?Beautiful Eyes?

2141 Words
Tak ada yang namanya mantan sahabat. Bagi mereka yang memutuskan tali persahabatan, sejatinya memang tidak terikat persahabatan sejak awal. _***_ Wendya's POV Waktu telah menunjukkan pukul 14.45, itu artinya sebentar lagi kegiatan belajar mengajar akan usai. Perasaanku semakin merasa tidak tenang. Permintaan Lista tadi menggangguku hingga aku kehilangan fokus seharian ini. Memang sebenarnya apa yang dilakukan Lista itu benar, aku sudah seharusnya menjelaskan maksudku menjauhinya. Sebenarnya aku juga tidak tega untuk terus menghidarinya, namun itu semua demi kebaikannya. Aku takut apabila langkah yang aku ambil justru merugikan Lista nantinya. Sebuah kertas tiba-tiba tergeser di atas bukuku yang sedari tadi aku coret-coret tidak jelas. Iya dari siapa lagi kalau bukan dari teman sebangkuku, Lista. Gue tunggu ditepi lapangan basket. Membaca tulisan itu membuatku langsung paham. Nanti pulang sekolah aku dan Lista akan berbincang di tepi lapangan basket. Aku lantas mengangguk memberi kode kesediaan. Aku tak bisa terus menghindari masalah ini. Yang sudah pasti cukup menyakitkan untuk hati Lista dan juga hatiku. Setidaknya aku harus berkata jujur, urusan respon Lista nantinya dipikirkan nanti. Iyap! Aku harus siap dengan segala konsekuensinya. Dan aku hanya bisa berharap tak ada yang mengetahui keberadaan kami nantinya. *** Sudah puluhan kali aku membalikkan kertas berwarna krem yang ada di atas mejaku. Seketika aku mendongak dan ternyata sudah kosong. Aku merupakan orang terakhir yang belum keluar dari kelas. Aku harus memastikan terlebih dahulu semuanya pulang. Karena menurutku akan terlalu beresiko menemui Lista secara terang-terangan. Setelah aku melihat sekeliling yang sepertinya aman, aku pun memasukkan novelku ke tas dan berkemas untuk meninggalkan kelas. Aku harus bergegas menuju tempat janjianku bersama Lista. Takut-takut Lista sudah pulang karena terlalu lama menungguku, aku langsung berlari keluar kelas dan menuju lapangan basket. Tak begitu jauh, aku berhenti dan melihat sesosok siswa yang masih duduk memandangi pepohonan di sana. Aku menghela napasku lega. Untung saja ia belum pulang. kemudian dengan cepat aku berjalan mendekatinya. Saat jarakku sudah dekat, sepertinya ia baru menyadari keberadaanku. "Hai, Wen? Kirain lo udah pulang," sambutnya begitu aku telah sampai di dekatnya "Maaf tadi ada urusan bentar," balasku dengan tersenyum tipis. "It's okay. Yang penting lo udah sampai sini lah," balas Lista dengan nada ceria. Aku kembali tersenyum. Sikapnya tak berubah sedikit pun kepadaku, padahal aku selalu mengabaikan dan menghindarinya. Huh aku menjadi semakin merasa bersalah. Lista menepuk tempat duduk di sebelahnya mengodeku untuk duduk di sana. Tanpa ragu aku pun mengikuti duduk di sebelahnya. Aku janji akan memperbaiki permasalahan ini dan jika aku bisa berharap, aku ingin kembali menjalin persahabatan dengan Lista walaupun kemungkinannya kecil. Keadaan mendadak hening dan rasa canggung menyelimuti. Aku bingung ingin memulai dari mana. "Jadi—" "Gini—" Kami mengucap sebuah kata secara bersamaan. Tentu itu mengisyaratkan juga bahwa sebenarnya Lista juga merasakan kecanggungan yang sama. "Ah kamu duluan aja, Lis," ujarku mempersilakannya ia berbicara dahulu. "Enggak dong. Lo duluan, pasti banyak yang mau lo ceritain kan sama gue," tolak Lista kemudian tersenyum lebar. Aku yang sangat mengenal sosok Lista pun ikut tersenyum lebar. Dalam hati aku hanya bisa mengucap syukur tak terkira karena Allah menghadirkan sosok seperti Lista menjadi sahabatnya. "Emmm sebelumnya aku mau minta maaf ke kamu, Lis. Maafin aku yang akhir-akhir ini selalu mengabaikanmu, berlagak tidak peduli dan selalu menghindarimu. Sungguh sikapku sepertinya menunjukkan sudah kehilangan arti persahabatan selama ini. Aku hanya bisa berharap kamu bisa memaafkanku. Aku akan sangat beruntung jika kamu mau menerimaku sebagai sahabatmu lagi," ucapku memulai pembicaraan yang kian serius. Lista nampak terdiam mendengarkan dengan saksama tiap kata yang aku katakan. Aku sungguh menghargai itu. "Jika kamu berpikir akhir-akhir ini aku berubah menjadi sosok lain dan berusaha menjaga jarak denganmu, itu benar. Aku memang memiliki niatan untuk menjaga jarak denganmu, namun itu bukan berarti aku telah memghilangkan rasa peduliku kepadamu. Jujur saja di lubuk hatiku, aku merasa telah berubah menjadi orang jahat yang tega-teganya mengabaikan sosok sahabat yang sangat peduli dan sangatlah baik sepertimu, Lis. Ingin rasanya mengulang waktu dan mengubah cara pandangku agar tidak terjadi seperti ini, namun tak akan mungkin." Aku berhenti sejenak menyetabilkan napasku yang mulai tak beraturan. "Oke biar gak banyak basa-basi lagi, aku mau memberikan penjelasan akan sikapku yang berubah itu, Lis. Kamu tahu gak kisah Elsa yang menjauh dari Anna di film frozen?" lanjutku memberikan teka-teki. Lista mengerutkan keningnya kemudian mengangguk pertanda mengerti. "Elsa memutuskan untuk pergi jauh karena mengira kekuatannya akan menyakiti Anna. Dikasus ini, aku tahu pemikiranku sangatlah kekanak-kanakan. Semenjak kembalinya Helen ke sekolah ini, aku merasa seolah merebutmu darinya. Entah bagaimana pemikiran itu muncul, yang pasti aku melihat sosok Helen yang hanya bisa menatapmu dari kejauhan. Ia menyiratkan ingin berada di dekatmu lagi. Aku menyadari bahwa sepertinya aku menjadi penghalangnya untuk Helen kembali berada di dekatmu lagi. Aku tak ingin ada seseorang yang tersakiti di sini, jadi aku memutuskan untuk sementara menjaga jarak darimu dan membiarkan Helen untuk leluasa ada di dekatmu," lanjutku. Lista nampak memasang wajah terkejutnya itu. Mungkin ia tak menyangka pemikiranku sesempit ini. Aku lantas tertunduk lesuh menyadari tindakan bodohku yang ternyata membuat banyak pihak tersakiti. "Maafkan aku, Lis, yang tidak memperhatikan bagaimana perasaanmu. Aku tak menyangka malah menjadi serunyam ini. Aku terkejut sewaktu kamu bertengkar hebat dengan Helen di kelas itu. Aku ingin menolong, namun ada hal yang membuatku harus menahan dalam-dalam perasaan itu. Aku—" "Apa sesuatu yang membuat lo harus menahan diri?" tanya Lista memotong ucapanku. Aku kembali tertunduk. Aku tak ingin semakin mengacau. Mungkin cukup untuk kali ini. "Aku hanya bisa memberikan keterangan itu, Lis. Maafkan aku. Tapi dengan ini aku akan jujur kepada hatiku, aku tidak akan lari dari masalah dan meninggalkanmu. Karena tingkahku selama ini mungkin kamu sudah tidak pantas menyebutku sebagai sahabatmu, Lis," ucapku mengakhiri penjelasanku kemudian menatap Lista yang masih terdiam. Cukup lama Lista terdiam. Sepertinya ia masih mencerna keseluruhan penjelasanku. Aku berharap-harap cemas dengan tanggapan Lista nanti. Namun apapun itu aku akan menerimanya. "Kenapa lo sampe bisa berpikiran kayak gitu, Wen?" tanggap Lista melontarkan pertanyaan. Aku mendongak menatap Lista yang menampilkan wajah datarnya. Awalnya aku terkejut, apakah Lista benar-benar sedang marah sekarang? "Maaf, Lis, aku takut kalau teman baikmu malah menjauh," balasku tertunduk kembali. "Bukannya itu sama berlakunya sama lo? Karena lo mikir kayak gitu, justru lo yang sebenernya ngejauh dari gue, Wen." Mendengar jawaban dari Lista membuatku tertegun. Ucapannya benar adanya. Aku mencoba tidak membiarkan teman terbaik Lista untuk pergi, namun tanpa sadar justru aku yang pergi. Aku yang sudah dianggapnya sahabat justru memilih pergi. Tentu itu tidak ada bedanya. "Sejujurnya gue emang gak pengen semua sahabat gue pergi, Wen. Helen dan juga lo itu merupakan sahabat gue. Lo dan Helen sama berartinya buat gue. Jangan pernah mikir posisi lo lebih rendah dibanding Helen jadi lo berkorban buat dia," lanjut Lista. Lista terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. Aku di sana hanya bisa tertunduk malu dan juga menyesal. Aku tidak berpikir sejauh itu. "Sekarang gue kehilangan semua sahabat gue, Wen. Hiks ... " Aku mendongak menatap Lista yang ternyata sudah menangis. Aku hanya bisa menatap dan terhanyut turut menangis. "Gue gak mau lo pergi, Wen, please kembali ... hiks .... " Tangisku semakin pecah. Aku kemudian merengkuh tubuh Lista yang bergetar hebat. Isakan demi isakan terdengar dari mulut Lista. Kenyataan menyakitkan yang aku dengar dari Lista membuatku merasa bodoh. "Maafin aku, Lis, maaf." Aku terus saja mengucapkan kata maaf sembari memeluk erat Lista. Ternyata rasa sakit yang Lista derita lebih menyakitkan dibanding denganku. Sungguh aku merasa gagal menjadi sahabatnya yang seharusnya berada di sampingnya di saat terpuruk dan bersedia menemaninya bagaimanapun keadaannya. "Aku nyesel ngelakuin hal itu, Lis. Sungguh aku tidak ada niatan menyakitimu. Aku memang tidak pantas menjadi sahabatmu, Lis," ucapku lirih dengan suara parau. Tangan Lista menyentak bahuku menjauh. Aku terkejut mendapati reaksinya seperti itu. Ia menatapku tajam. Tentu aku merasa takut dan tak mengerti mengapa ia malah terkesan marah. "Lo bisa berhenti ngerendahin diri lo gak sih!" Mataku membulat mendengar bentakan dari Lista. "Mau gimana pun lo tetep sahabat gue. Please gue mohon lo jangan ngejauh dari gue. Cukup Helen yang sekarang. Jujur aku pengen semua sahabat gue kembali," lanjut Lista dengan suara pelan. Aku kembali menatap Lista. "Lista, aku bersyukur banget punya sahabat kayak kamu. Maafin aku yang bertindak tanpa berpikir dulu ya," jawabku dengan tersenyum tulus. Lista lantas kembali tersenyum ceria. "Makasih banyak, Wen, lo mau kembali. Gue juga bersyukur punya sahabat kayak lo." Kami pun akhirnya saling berpelukan. Akhirnya persahabatan kami kembali. Aku harap hal seperti ini tak akan terjadi lagi. Dan aku berjanji akan menjaga persahabatan ini sampai kapan pun. Kami kemudian berhadapan dan tertawa konyol bersama. "Hahaha lo jelek tau kalau nangis," seru Lista meledekku. Aku kemudian ikut tertawa. "Kamu juga, Lis. Apalagi waktu kamu ngebentak, lucu tau. Hahaha." "Yeee tapi lo kelihatan ketakutan gitu tadi. Bohong lo ya?? Ngaku aja lo takut dibentak sama gue," ujar Lista membela dirinya. Aku lantas tertawa kembali. Jika boleh jujur sebenarnya marahnya Lista tadi mengerikan. Apalagi nadanya ketika membentak itu sangatlah keras. "Iya sih kamu keliatan galak banget tadi kayak Bu Pika. Hahaha." "Eh sembarangan aja lo yah. Awas aja kalau ketemu Bu Pika gue aduin." "Eh jangan dong, kan becanda ihh Lista mah," ucapku dengan cemberut. Suara tawa renyah terdengar kembali dari sosok Lista. "Ngakak banget sih ah. Yang ada gue juga kena marah kaliiii." "Iya juga yah. Hahaha udah ah berati ini kita udah baikan kan?" kataku mengakhiri pembicaraan ini. "Iya dong!! Lo jangan ngehindar lagi loh besok, awas aja gue tempeleng kepala lo," ancam Lista yang langsung aku sambut dengan gelak tawa. Kami lantas kembali bercengkerama hangat. Saling bercerita keseharian kami selama menjaga jarak. Sebenarnya lebih banyak cerita dari Lista sih dari pada cerita dariku. Tapi yang penting sekarang kami sudah bersatu kembali. Kembali menjalani hari-hari layaknya seorang sahabat. Meskipun nantinya akan banyak cobaan di persahabatan kami, semoga akan terus seperti ini. Saling suport dan menolong satu sama lain. Aku percaya kunci persahabatan adalah saling percaya dan saling terbuka satu sama lain. Meski pun sebenarnya aku masih menyimpan rahasia, namun sepertinya memang sebaiknya aku simpan saja agar tidak timbul prasangka nantinya. *** Author's POV Di sisi lain, di saat sepasang sahabat kembali merajut ikatan kembali, ada seorang siswi yang memandang dari kejauhan dengan tatapa kebencian. Tangannya mengepal begitu melihat kedua siswi itu saling bercengkerama. Siswa itu terus mengucapkan kalimat sumpah serapah kepada dua siswi itu. Tentu terlihat jelas jika siswi berambut panjang itu tidak menyukai keduanya. "Sial! Wendya memang brengsek." Ia memukul tembok yang ia jadikan tempat sembunyi itu dengan keras. Ia melampiskan kekesalannya itu dengan beberapa kali memukul tembok tersebut. Wajahnya terlihat memerah. Sepertinya ia sudah tak tahan melihat pemandangan di depannya itu. Ia melangkah maju untuk menemui kedua siswi itu, namun langkahnya berhenti dan justru berjalan mundur. Ternyata ada seseorang yang menyeret tangannya dan membekap mulutnya. Ia di bawa menjauhi tempat itu oleh seseorang. Walaupun ia berusaha meronta, tenaganya kalah jauh dan ia tak mampu melepaskan tangan itu. "Woy lepasin!!!" teriaknya sebelum mulutnya benar-benar dibekap oleh seseorang itu. Tubuh siswi itu terus berusaha memberontak, hingga ia dan si penyeret berhenti di belakang sebuah bangunan yang sudah lumayan kotor. Tempatnya lumayan jauh dari posisi awal siswi itu bersembunyi tadi. Setelah si penyeret melepaskan bekapannya, siswi itu sontak hendak memukul orang yang menyeretnya tadi. Ketika pukulannya hendak mendarat di wajah sang pelaku, tangannya sudah ditahan terlebih dahulu di udara. "Cukup, Len, lo jangan jadi orang jahat!" bentak seseorang yang hendak dipukul tadi. Siswi itu terkejut dan memundurkan langkahnya. "Ra—radif?" pekik siswi itu dengan menutup mulutnya tak percaya. "Gue ingetin sekali lagi ya, Len, gue tau Lista itu sahabat lo. Tapi Lista juga berhak buat temenan sama siapa aja." "Asal lo tau aja ya, Dif, karena Lista udah dapet sahabat baru, dia sekarang ngebuang gue! Bahkan dia sekarang gak peduli sama sekali sama gue," sahut Helen meninggikan suaranya. "Lo salah, Len, gue kenal Lista udah lama. Kenal lo juga gue udah lama. Lista gak ada niatan buat ngebuang lo. Lo yang dulu tiba-tiba ngilang dan sekarang dateng tiba-tiba rusuh sama pertemanan Lista. Lo belum bisa ngerti kondisi Lista selama ini, Len. Gue yakin Lista ingin lo juga ada di dekatnya." "Halah omong kosong! Lagian gue pergi juga karena suatu alasan. Gue mau jelasin semuanya tapi Lista gak kasih gue kesempatan. Apa bedanya sama ngebuang gue, hah?!" "Bukan Lista yang ngebuang lo, Len. Tapi lo yang tiba-tiba berubah dan membuat jarak lalu pergi gitu aja. Lo gak mikirin perasaan Lista apa?" "Apa sih lo, Dif, kenapa lo selalu belain Lista? Lo suka sama dia?" balas Helen yang tidak terima dengan ucapan Radif. "Ini gak ada hubungannya sama perasaan gue ya! Gue ngelakuin ini karena gue gak mau lo jadi orang jahat! Lo udah salah bergaul sama Era. Dia itu gadis licik, Len, Lista pasti kecewa berat kalau tau lo jadi kayak gini." "Sekarang lo pura-pura peduli sama gue? Mau lo apa sih? Lo gak perlu ikut campur masalah gue ya! Lo gak tau apa-apa, Dif!" ucap Helen mencoba memojokkan Radif agar tidak ikut campur ke dalam kehidupannya. "Gue tau lo yang ngancem Wendya buat jauhin Lista!" Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD