47-?Beautiful Eyes?

1517 Words
_***_ Perubahan dalam hidup itu hal biasa, namun perlu diwaspadai jangan sampai perubahan itu mengarah kepada hal negatif. _***_ Kicauan burung terdengar bersahutan. Dahan pohon pun mulai bergoyang-goyang tertiup angin sepoi. Matahari semakin meninggi memamerkan keelokan sinarnya yang menawan. Untuk itu kehangatan pun mulai terasa bagi kaum manusia yang memutuskan untuk keluar ke alam bebas. Di sebuah rumah yang memiliki halaman luas, terlihat seorang gadis berseragam dengan sebuah plester menempel di pipinya itu tengah gelisah. Ia berkali-kali mendongakkan kepalanya menatap ke dalam rumah. Tampaknya ia menunggu seseorang untuk keluar dari rumah itu. Ia melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. "Kakak, ayo berangkat!" teriak gadis itu menggelegar. Tak lama kemudian seorang pria dewasa keluar dari rumah dengan pakaian rapi. "Sabar lah, Dek. Ini kakak masih make dasi," balas pria dewasa itu sembari berjalan dengan seusah payah memasang dasinya. "Kakak sih kesiangan bangunnya," kata gadis itu mencembikkan bibirnya. Pria dewasa tadi kemudian memasuki mobil yang telah siap untuk digunakan. "Ayo naik. Kalau cuma ngoceh mulu bakalan telat beneran kamu, Dek." Gadis yang mencembikkan bibirnya tadi sontak menurut dan memasuki mobil itu. Tak lama kemudian mobil melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan rumah tersebut. *** Mobil silver yang dikendarai sesosok pria dewasa dan seorang gadis berseragam tadi berhenti di depan sebuah sekolah. Sekolah itu sudah nampak ramai para siswa yang berbondong-bondong memasuki sekolah. Gadis tadi bergegas turun dari mobil kemudian berlari kencang menyeberang jalan untuk memasuki gerbang. "Ya Allah, jangan lari-larian, Dek!!" seru pria dewasa yang mengendarai mobil tadi begitu melihat tingkah sang adik yang semberono. Gadis tadi tak mengindahkan seruan sang kakak, ia terus saja berlari memasuki sekolah tersebut. Langkahnya kencang bahkan ada beberapa siswa yang kebingungan melihat gadis tadi berlari. Iya itulah dia, Calista Bintang, seorang wanita pemberani yang tak berpikir panjang ketika sesuatu telah mendesaknya. *** Calista's POV "Alhamdulillah!" Aku bisa bernapas lega begitu langkahku sudah sampai di depan kelas. Hampir saja aku terlambat hari ini. Ini semua karena Kak Ken yang terlambat bangun. Tapi tak apalah sudah alhamdulillah ia mau mengantarku berangkat sekolah. "Hei, Lista!" Aku menoleh begitu mendengar ada seseorang yang memanggil namaku. "Eh hai, Helen! Ya ampun lama banget lo gak kelihatan. Kemana aja?" tanyaku kepada Helen. Kalau kalian ingat dia adalah salah satu teman kelas yang dekat denganku sebelum Wendya. Sudah lama aku tak melihatnya. Waktu itu aku mendengar kabar kalau dia pindah sekolah sewaktu aku tidak masuk sekolah. Tapi aku tak menyangka kini ia berangkat ke sekolah ini kembali. Helen kini tampak beda. Ia tampak lebih glamor, bahkan ia memakai riasan ke sekolah. Entah apa yang telah ia lewati beberapa waktu terakhir. Aku tak masalah jika penampilannya berubah drastis seperti ini. Aku hanya berharap ia masih menjadi Helen yang aku kenal. "Hehehe bukan pindah sih, Lis. Gue selama ini sekolah model. Lo bisa lihat kan penampilan gue sekarang. Gue bukan Helen kuno lagi," balas Helen membuatku sedikit terkejut. Aku menggaruk kepalaku canggung. "Ah iya lo makin cantik, Len," jawabku dengan ragu-ragu. "Thankyou, Lista. Oh iya gue ke kelas dulu ya, sepertinya gue perlu kenalan sama temen-temen lagi," ujar Helen kemudian berjalan mendahuluiku untuk memasuki kelas. Sepertinya apa yang aku pikirkan sebentar lagi akan terjadi. Aku berharap tidak terlalu buruk situasinya. Aku menghela napasku pelan kemudian mengikuti Helen memasuki kelas. Begitu aku memasuki kelas, aku melihat teman-temanku sedang terperangah. Mata mereka menyorot pada satu titik. Iyap, Helen. "Lo Helen?" tanya Dimas yang merupakan teman sekelasku. Aku memperhatikan interaksi mereka kepada Helen. Nampaknya mereka terkejut juga kagum dengan munculnya sosok Helen yang sekarang. Tentu saja ia sekarang model, pastilah terlihat menawan. "Yes, gue Helen," ujar Helen dengan mengibaskan rambut panjangnya yang terlihat indah. Aku menghela napas kembali. Entah bagaimana yang jelas Helen sekarang sudah berubah. Sepertinya ia kini setelah penampilannya berubah ia akan memiliki standar pertemanan berbeda. Eh, astaghfirullah! Aku sontak menepuk kepalaku pelan menyadari pikiran kotorku tentangnya. Tak seharusnya aku berpikir Helen demikian. Dahulu kami berteman baik, aku tahu Helen tak akan seperti itu. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Aku mendongak dan melihat Radif yang malah berjalan entah ingin ke mana. "Haii, Dif, lama tak berjumpa," sapa Helen kepada Radif begitu ia melewati Helen. Radif terlihat tak mengidahkan sapaan Helen. Ia justru melengang begitu saja. Aih, kebiasaan Radif kembali lagi. Entah mengapa Radif sedari dulu juga tak terlalu menyukai Helen. "Mau ke mana?" tanyaku kepada Radif yang melewatiku. Sepertinya ia hendak menuju ke pintu kelas. Radif berhenti sejenak begitu aku tanyai. "Manggil guru," jawabnya singkat. Ah, iya juga sekarang sudah bel seharusnya guru sudah datang sekarang. "Ah gitu. Ya udah sana keburu dimarahin Pak Sapto," balasku mempersilakannya untuk pergi memanggil Pak Sapto, guru mata pelajaran bahasa inggris. Aku hendak melangkah menuju mejaku, namun ia menahanku dengan pertanyaan. "Pipi lo kenapa?" Aku lantas sedikit terkekeh. "Hehe ada insiden kecil kemarin." Radif nampak memandangku malas. "Pasti ada hubungannya Kak Ken telpon gue kemarin," gumam Radif dengan nada datar. Aku mengernyit heran, aku tak menyangka sebenarnya kemarin Kak Ken juga menghubungi Radif. Sepertinya ia kemarin mengkhawatirkan kondisiku. "Oh Kak Ken kemarin telepon lo? Hehe sorry, Dif, kakak gue ganggu banget pasti." Radif nampak terdiam. "Lo sekarang hobi cari masalah ya, Tang," sindir Radif membuatku tertawa. "Serah lo mau nganggep apa dah. Sana cari guru dulu," perintahku kepada Radif. Radif menatapku datar. "Gak perlu lo suruh kali. Emang gue babu lo." Usai mengucap kalimat tadi, Radif melanjutkan langkahnya keluar kelas untuk memanggil Pak Sapto Aku kemudian tertawa lagi melihat wajah datar Radif. Entah mengapa jika melihat Radif memasang wajah datar itu membuatku tertawa. Ekapresinya tak cocok tentu saja menurutku lucu. Aku kemudian melangkah kembali ke bangkuku. Namun aku tadi tak sengaja melihat ekspresi Helen yang menyaksikan pembicaraanku dengan Radif. Ia nampak menatapku aneh dan terlihat menahan kesal. Entah karena apa, di saat aku turut menatapnya ia malah membuang muka dan menuju ke kursi kosong dibelakang kelas. Aku tak tau apa yang ia pikirkan, namun aku harap itu bukan sesuatu yang buruk. *** Bel pertanda istirahat pun berbunyi, kini aku mengeluarkan bekal yang dibuatkan oleh umi. "Cieee bawa bekal," ucap Wendya yang sepertinya berniat menggodaku. Aku menoleh kemudian tertawa. "Lo mau? Ini gue dibuatin sama umi jadi mau gak mau harus gue bawa. Semenjak kemarin semua orang di rumah jadi overprotective deh," ucapku sembari menawarkannya jika ia mau makan bekalku Wendya menggeser buku yang membatasi meja kami. "Pasti berhubungan sama pipi lo itu kan?" tanya Wendya penasaran. Aku mengangguk sembari membuka bekalku. Ternyata umi memberikan bekal ayam goreng dan juga sup tomat. "Iya bener, tadi aja gue berangkat sekolah harus dianter Kak Ken. Umi khawatir kalau ada apa-apa lagi di jalan." "Apa ada kejadian setelah dari rumahku?" Mendengar pertanyaan Wendya membuatku melebarkan mata. Aku lupa tak seharusnya aku bilang seperti itu. Sebenarnya aku tak berniat untuk memberi tahunya karena aku takut jika nanti Wendya malah merasa bersalah. Jika sudah seeprti itu akan sulit untukku menenangkannya. "Ah itu biasa lah, Wen, kejadian yang sering aku alami kalau jalan licin," balasku tak sepenuhnya berbohong bukan (?) "Ya Allah jadi bener, Lis?" tanya Wendya dengan tatapan bersalah. Aku yang melihatnya gelagapan sendiri. Bagaimana jika nantinya ia malah sungkan untuk meminta bantuanku lagi. Namun baru aku akan menjawab, sosok Helen hadir ditengah kami. "Hei, Lis." "Eh Hai, Len," balasku menyapanya. "Lo? Wendya?" tanya Helen kepada Wendya. Wendya yang ditanya pun mengangguk sembari tersenyum manis. "Hai, Helen ya." "Kelihatannya selama gue pergi, lo yah yang jadi temen deket Lista," sahut Helen. Wendya tak menjawab, ia hanya tersenyum canggung. Aku yang ada disituasi seperi itu pun bingung harus berbuat apa. Aku tak menyangka suasana akan secanggung ini. Entah mengapa padahal dahulu aku dan Helen sama dekatnya seperti Wendya, namun sekarang entah mengapa berbeda. Kami menjadi tak sedekat dulu. Aku masih belum memahami apa yang ia mau sekarang. Sepertinya akibat kami sudah lama tidak bertemu dan bermain bersama. "Eh lo gak ke kantin kah?" tanyaku kepada Helen yang nampak terdiam. "Ini baru mau ke kantin, Lis. Lo mau ke kantin bareng gue? Udah lama banget kita gak nongkrong di kantin, Lis," kata Helen dengan memohon. Aku terkejut dengan permohonannya itu. "Aduh maaf, Len, gue kayaknya hari ini gak ke kantin dulu deh," balasku tersenyum canggunh Jujur saja aku merasa tak enak sendiri dengannya. Namun mau bagaimana lagi aku sudah membawa bekal. Tak mungkin jika aku tak menghabiskannya. "Oh gitu, iya gue ngerti. Ya udah gue pergi ya. Semoga pertemanan kalian langgeng," kata Helen dengan nada datar kemudian ia pergi meninggalkan kami. Wajahnya nampak menyiratkan kekecewaan. Sepertinya ia kecewa karena penolakanku. Dan ada satu hal lagi yang menurutku aneh. Perkataannya di kalimat terakhir tadi nampak ada emosi tak enak. Apalagi kata-katanya seolah sedang menyindir. Ah, sepertinya aku belum bisa memahami jalan pikir Helen yanh sekarang. Ntah mengapa feelingku hari ini buruk mengenai hal ini. Aku menoleh ke arah Wendya yang terlihat terbengong. "Hey, Wen, jangan bengong lo!" tegurku melihat Wendya yang sedari Helen pergi terus terdiam. "I-iya, Lis, hehe," jawab Wendya dengan nada gelagapan yang tentu terdengar aneh. Entah sebenarnya ada apa hari ini. Aku merasa orang-orang terdekatku bertingkah berbeda. Aku sendiri hari ini merasa seperti apa yang aku lakukan hari ini salah. "Huh, kenapa dah hari ini tu. Aneh banget semuanya," gumamku pelan kemudian menyendok nasi bekalku dan memasukannya ke dalam mulutku dengan malas. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD