12-?Beautiful Eyes?

1362 Words
_***_ Kehidupan ini adalah milik Allah. Hanya Dia-lah yang mampu merancang takdir. Maka tak perlu heran jika dunia ini penuh dengan kejutan luar biasa. _***_ Calista's POV Sesampainya aku di rumah, aku segera membuka ponselku dan membalas pesan Kak Ken yang tadi belum sempat aku balas. Untuk Kak Ken : Udah ini kak barusan nyampe rumah. Tadi Lista ngobrol sama temen Lista dulu jadi lama sampenya. Send. Selepas aku mengirim balasan chat Kak Ken, aku segera masuk ke halaman rumah. Rumah nampak sepi, sepertinya tak ada orang di rumah. Aku memutar knop pintu, namun terkunci. "Lah umi ke mana pula," ujarku kemudian merogoh tasku untuk mengambil kunci cadangan yang aku punya. Di keluargaku semua memegang kunci rumah masing-masing. Hal itu dilakukan karena mengantisipasi jika semua penghuni rumah pergi dengan pintu terkunci. Karena dulu aku pernah mengalami sebuah insiden di mana saat aku pulang sekolah, pintu rumah terkunci dan alhasil aku tak bisa masuk rumah. Aku harus menunggu selama berjam-jam untuk bisa masuk rumah. "Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin." Aku mengucapkan salam terlebih dahulu sebelum memasuki rumahku. Walaupun tidak ada penghuni rumah, kita tetap di anjurkan untuk mengucap salam terlebih dahulu. Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al Adzkar berkata, “Disunnahkan bila seseorang memasuki rumah sendiri untuk mengucapkan salam meskipun tidak ada penghuninya. Yaitu ucapkanlah “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin”. Begitu pula ketika memasuki masjid, rumah orang lain yang kosong, disunnahkan pula mengucapkan salam yang salam “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibadillahish sholihiin. Assalamu ‘alaikum ahlal bait wa rahmatullah wa barakatuh”. (Al Adzkar, hal. 468-469). Maksud kalimat “Assalamu ‘alainaa” menunjukkan seharusnya do’a dimulai untuk diri sendiri dulu baru orang lain. Sedangkan kalimat “wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin”, yaitu salam pada hamba yang sholeh, maksud sholeh adalah orang yang menjalani kewajiban, hak Allah dan juga hak hamba. (Syarh Shahih Al Adabil Mufrod, 3: 186). Aku langsung bergerak menuju dapur karena aku sudah merasa sangat haus. Saat aku hendak membuka kulkas, aku menemukan catatan di pintu itu. Untuk Ken atau Lista, Umi harus pergi menemani Abi untuk perjalanan bisnis dan pulang besok siang. Jaga diri baik-baik kesayangan umi. Umi sayang kalian. Tertanda, Umi "Eh tumben sekali Umi nemenin Abi. Tapi nggak papa deh mungkin mau mengulang masa muda," kataku terkikik sendiri membayangkan Umi dan Abi berpacaran. *** Setelah aku mandi dan melaksanakan shalat wajib, aku segera menuju ruang tamu untuk berjaga-jaga jika Wendya sampai. Sambil menunggu, aku menyalakan televisi untuk membunuh suasana yang sangat sepi. Aku merebahkan tubuhku di sofa depan televisi sembari mencoba menikmati acara televisi yang sedang aku tonton. Namun bukannya fokus, pikiranku malah tertuju kepada cerita Radif. Sungguh aku menyangka perjuangan seorang Radif sampai sekarang yang begitu berat dan begitu menyakitkan. Aku tak menyangka Radif bisa sekuat itu. Apalagi sikap konyol Radif, itu jelas sangatlah berbanding terbalik dengan kondisi kehidupannya. "Gue beneran nggak habis pikir deh sama apa yang terjadi sama Radif. Tapi yah namanya juga hidup, pasti penuh kejutan," gumamku ketika teringat peristiwa dan penjelasan dari Radif tadi. Tapi aku penasaran deh dengan apa yang akan Radif katakan besok. Kata-katanya jelas ambigu. Dan entah mengapa aku khawatir dengan keputusannya yang akan ia ambil. Aku cuma bisa mendoakan semoga semuanya bisa baik-baik saja. Waktu telah berlalu sepuluh menit yang lalu. Aku yang sedang menonton televisi, dikejutkan oleh suara bel. Aku sudah menduga pasti itu adalah Wendya. Aku segera beranjak untuk membukakan pintu Wendya. "Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam, sebentar," teriakku saat suara Wendya terdengar. Aku membuka kunci pintu itu terlebih dahulu. Kemudian baru bisa aku membukanya. Begitu aku membuka pintu, Wendya telah ada di depan pintu. Ia tersenyum sambil menyengir. "Pasti nyasar nih," tebakku. Pasalnya ia lama sekali sampai di sini jadi wajar jika aku mengira bahwa ia sempat tersesat. "Iya tadi sempet kebablasan ya udah deh muter dulu hihihi," jawabnya masih dengan cengirannya. "Lagian tumben lo pake motor sendiri, biasanya kan dianter," ucapku begitu melihat motor Scoopy yang terparkir di depan garasi. "Tadinya mau dianterin tapi tiba-tiba kakakku ada urusan mendadak jadi yah pake motor sendiri deh," jawabnya membuatku mengangguk-angguk tanda mengerti. Seiring kami berbincang, aku pun tak lupa membawa Wendya masuk ke rumah dengan menarik tangannya yang sedikit basah. "Owalah gitu. Tapi untung sih lo nyampe. Lagian kenapa pula main ke sini sampe ujan-ujan segala," tanyaku heran. "Duduk dulu gih, gue mau ambilin minum dulu yah," lanjutku ketika sudah sampai di kursi tamu. Wendya duduk ditempatku menonton televisi tadi setelah aku persilakan. Karena ia sepertinya juga sudah kedinginan. Aku yang memang peka pun segera membuatkannya teh hangat. Tak lama aku membuat teh hangat, aku segera menyajikan teh hangat tadi di nampan. Aku pun membawanya kepada Wendya yang sedang menonton televisi. "Nih minum dulu biar anget." "Oke, makasih yah." Wendya kemudian meraih secangkir teh hangat itu kemudian menyeruputnya perlahan. Selagi menunggu Wendya meminum teh yang aku buat, aku meraih remot televisi dan mengganti chanel mencari acara yang menarik. "Ngomong-ngomong kamu lagi di rumah sendiri kah?" tanya Wendya yang mungkin heran melihat suasana rumah yang sepi. Aku mematikan televisi sebelum melanjutkan perbincangan dengan Wendya. "Iya tadi kayaknya belum lama deh pada perginya sih jadi yah sepi cuma gue yang di rumah." "Owalah gitu pantes lah. Kenapa nggak ikut main ke mana gitu, Lis?" tanya Wendya lagi sembari meletakkan tehnya kembali. "Enggak, gue tadi baru aja pulang soalnya," jawabku santai. "Owalah gitu. Oh iya sebenernya ada hal penting yang harus aku bicarain sana kamu, Lis," ujar Wendya yang kini sudah menatapku dengan wajah serius. Aku yang mendapatinya ingin menyampaikan kabar yang serius pun turut terbawa suasana. Wendya nampak masih terdiam mempertahankan wajah seriusnya. Matanya menatapku, begitupun aku. "Apa?" bisikku kepadanya yang tak kunjung berbicara. Matanya menyipit menatapku dengan tatapan tak dapat kujelaskan. "Ada hubungan apa antara kamu sama Radif?" Aku yang mendengar jawabannya itu seketika melongo tak percaya. Aku yang sedari tadi menunggunya berbicara serius, kini malah berbicara tentang masalah tak bermutu. "Ya Allah, Wen. Lo cuma mau bilang kayak gitu?" balasku dengan tertawa geli. Sedangkan ekspresi Wendya masih bertahan dalam keseriusan. "Kenapa emangnya ada yang lucu? Aku kan penasaran," ungkap Wendya dengan berganti cemberut. Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi sebal milik Wendya. "Hahaha, aduh sakit perut, hahaha .... " Aku terus saja tertawa tanpa memedulikan Wendya yang semakin memajukan bibirnya. "Aduh Ya Allah, Wen aduh nggak ada pertanyaan lain apa. Huaa pengen nangis Wendya tanya kayak gitu," ucapku kembali sembari menyeka air mata yang menetes akibat terlalu lucu tadi. Sebuah pemikiran seketika terlintas di benakku. "Atau jangan-jangan lo cemburu?" tanyaku penuh selidik. Wendya seketika terlihat gugup. Lirikan matanya berlarian ke sana ke mari. "Ya kali, Lis. Enggak lah," elakknya dengan nada suara kesal. "Iya bener juga sih lagian masa iya lo bisa suka sama cowok kayak Radif," pikirku kemudian. "N-nah bener kan," balas Wendya dengan tergagap. Ada apa dengan Wendya? "Nih dengerin yah, Wen. Setitik pun gue nggak ada nyimpen rasa sama Radif. Justru gue banyak jengkelnya sama dia," jawabku terus terang. Wendya hanya mengangguk kepalanya saja. "Terus waktu itu kalian lagi ada masalah gitu?" tanyanya kembali. Aku kembali membayangkan peristiwa di UKS itu. Aku sempat berpikir apakah aku menceritakannya saja yang sebenarnya atau tidak. Namun ucapan Radif tadi seketika teringat dan jika aku menceritakannya itu berarti aku membuka aibnya bukan? "Oy, Lista!" Aku tersentak mendengar panggilan dari Wendya. Ah sepertinya aku dari tadi melamun. "A-ah itu, Wen. Itu kemarin tu em-- ada insiden keci tentang cewek yang waktu itu tu. Ternyata dia temennya Radif," jelasku dengan apa adanya. "Owalah yang kata kamu cewek manja itu kah?" tebak Wendya yang sepertinya mengingat Era. Aku mengangguk mengiyakan ucapan Wendya. "Iya masih berhubungan sama dia. Sebenernya yang bikin ribet tu dianya sendiri tu." "Owalah iya iya aku paham." Aku sebisa mungkin terlihat tak menyimpan rahasia, aku takut jika raut wajahku yang sedang menyimpan sesuatu terbaca oleh Wendya. Tapi untung saja susana itu cepat terkendali karena Wendya mengajukan pertanyaan lain. "Oh iya, Lis. Sebenernya tujuan aku ke sini tu buat nawarin sesuatu, hehe," ujar Wendya. "Kan bener pasti ada sesuatu yang lebih penting lo mah. Lagian nggak mungkin banget lo tanya kayak gitu, pasti cuma mau basa basi," tanggapku dengan tergelak. Wendya pun sama, ia terkikik menyadari kepolosannya. "Aku mau nawarin kamu buat publish tulisan kamu di platform digital," kata Wendya yang langsung membuatku terperanjat. "Heh?" Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD