4-?Beautiful Eyes?

1618 Words
_***_ Jika kamu hidup dengan mengikuti komentar orang lain, itu tak akan ada habisnya dan justru kamu tak akan menemukan kebahagiaan. Hidup ini hidupmu, apa yang kamu putuskan akan kamu lalui sendiri. Biarlah mereka yang di luar sana menggunjingmu, karena mereka tak akan pernah mengerti perasaanmu. _***_ Calista's POV "Wen!!! Gimana nih!!! Ide gue mentok!" seruku kepada Wendya yang masih sibuk dengan buku tebal di tangannya. Sedangkan diriku sedari tadi harus berkutat dengan layar laptop dengan kepala yang mengepul akibat terlalu lama berpikir. Bahkan bila kalian tahu di screen hanya kertas putih tanpa ada satu huruf pun. Saat ini adalah waktu istirahat untuk para siswa. Setelah pembakaran otak dipagi hari oleh pembelajaran angka yang sering kali kehilangan temannya, kini aku harus dihadapkan kembali oleh berderet-deret imajinasi yang harus aku tuangkan ke dalam bentuk huruf seindah mungkin. Bayangkan saja, otakku masih mengepul kini diharuskan berpikir keras kembali. Ya Allah ampuni hamba yang memaksa otakku ini untuk kerja rodi. Tak kunjung ada balasan dari seseorang di depanku, aku langsung saja merebut n****+ tebal itu dengan kesal. Sedangkan sang empu juga terlihat kesal. "Yah ... Lis balikin ihhh, lagi seru tau," rengek Wendya tanpa rasa bersalah. Aku tak memedulikannya, bodo amatlah dia mau merengek seperti apa. Aku terlanjur kesal dibuatnya.. Ia tampak semakin memajukan bibirnya seiring raut mukanya yang semakin kusam. Ah, siapa suruh berani-beraninya mengabaikan seorang Calista. "Aish, Lis ... maaf deh tadi aku terlalu fokus sama novelnya. Lagian sih ceritanya seru," bujuk Wendya yang menyadari diriku sedang kesal. Namun aku tetap menyimpan novelnya itu di bawah laptop yang kini sedang aku gunakan untuk bermain game. Wendya terus merengek seperti bayi dan aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Cukup lama aku mendiamkan Wendya, aku sempat melirik kearahnya yang memandang kearahku dengan wajah yang memelas. Jika melihatnya seperti ini terus, bisa-bisa aku tak bisa menahan tawaku. Jujur saja sangat lucu wajah Wendya ketika merengek seperti ini. "Kalau mau ketawa tu ketawa aja, awas kentut," ujar Wendya yang membuatku sontak menjaga raut wajahku untuk datar kembali. "Apaan sih, gue masih mogok ngomong sama lo ya!" seruku kembali memfokuskan diri kepada layar laptop. "Idih ... itu udah ngomong oneng," ejek Wendya kepadaku diiringi tawaan terbahak. Aku yang diejek seperti itu pun semakin kesal saja. "Gue buang nih n****+ baru tau," ancamku yang seketika membuatnya kicep. Brak ... "Astagfirullah ... Ya Allah, kaget dodol!" umpatku terkejut dengan kedatangan seseorang di depanku. Hampir saja aku melempar n****+ milik Wendya kepadanya. "Woy lah Lista, kaget sih kaget tapi jangan sampai n****+ aku yang jadi korban juga," pekik Wendya begitu menyadari aku yang akan melemparkan n****+ kesayangannya itu. Aku tak menggubris ocehan Wendya, justru aku kembali terfokus kepada mahluk menyebalkan yang kini sedang berdiri cengengesan. "Radifff!!! Kenapa sih lo hobi banget ngejain gue? Rese banget sih!" kataku dengan sedang sangat kesal, kemudian bergegas menutup laptopku dan membereskan barang-barangku. "Eh Lis, mau kemana?" tanya Wendya yang kebingungan. "Males sama kalian," ujarku singkat lantas pergi meninggalkan mereka berdua. "Eh Listaaa ... " panggil Wendya namun tak aku hiraukan. Aku terlanjur kesal dengan mereka berdua. Ah, aku sedang memiliki mood yang buruk sejak pagi malah dibuat kesal. *** Radif's Pov "Dif, ketua kelas dipanggil Bu Reya." Aku hanya mengangguk malas begitu Dito memberitahukan bahwa aku harus menghadap Bu Reya alias guru BK yang terkenal killer. Bukannya beranjak untuk melaksanakan tugas, justru akan malah menenggelamkan wajahku. Aku sedang malas untuk mendapatkan wejangan daru Bu Reya. Disaat malas seperti ini, untung saja otakku masih bisa bekerja. Aku menengok dan melihat ke arah bangku di belakangku yang telah kosong. "Ah, kemana pula tu anak." Aku mengambil ponselku dan membuka aplikasi Wh*ats**P berniat mengiriminya pesan. Lima menit berlalu, pesan yang aku kirim tak kunjung dibaca. "Aish kemana sih dia? Biasanya juga ponselnya tak pernah sekalipun lepas dari genggamannya." Karena tak ingin menunggu waktu lama dan nanti urusan dengan Bu Reya semakin runyam, aku pun memutuskan untuk mencari Bintang. "Lo liat bintang nggak?" tanyaku kepada gerombolan siswi yang ada sedang asik ngerumpi di depan kelas. "Nggak tau, Dif," jawab mereka kompak. "Mesti lo mau nyuruh Calista buat menghadap Bu Reya kan? Wah parah sih lo ketua macem apa sih?" celetuk Roma, seorang laki-laki tapi memiliki mulut sepedas cabai. Seperti biasa pasti ada saja yang mengkritik posisiku sebagai ketua kelas. Lagian berulang kali dulu aku tegaskan kalau aku tak mau menjadi ketua, tapi tetap saja sewaktu pemilihan pengurus ketua kelas suara terbanyak membuatku terpilih. Jangan salahkan diriku, salahkan saja mereka yang memilihku. "Kalau iya kenapa? Hah!? Masalah buat lo? Dasar mulut mercon," celaku balik. Sebenarnya aku malas meladeni hal seperti ini, sudah lama aku biarkan mereka menjelek-jelekkanku seperti ini dan aku coba untuk tak menanggapi dan ternyata semakin lama bukannya semakin mereka lelah membicarakanku, justru mereka malah semakin gencar. Lagian aku juga tau berat memang menjadi seorang pemimpin, tapi bagaimana pun juga harus menunaikan tanggung-jawabku. Dari Ibnu Umar RA dari Nabi SAW sesunggguhnya bersabda: sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggungjawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggung jawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas pertanggungjawabannya (HR. Muslim). Aku bergegas pergi meninggalkan mereka yang terngaga melihatku baru pertama ini menanggapi celaan mereka. Sepertinya mereka tak percaya ketika melihatku sedang emosi. *** Dengan hati yang masih membara, aku terus mencari ke penjuru sekolah. Namun tak ada sedikit pun aku melihat batang hidung gadis itu. Saat aku melihat sepatuku yang tak terikat, seketika aku teringat dengan kejadian di mana aku menjahili Bintang. "Iya jelas, dia di taman. Kenapa baru kepikiran sih, Radif lo kenapa sih masa cuma gara-gara omongan Roma jadi kayak gini," omelku pada diri sendiri. "Argh ... " Heh? Aku menghentikan langkahku dan berbalik begitu mendengar rintihan seseorang. "Helen?" Ternyata aku tak sengaja menabrak Helen-Sahabat Bintang yang ternyata dari tadi berdiri di samping karidor. Aku mendadak heran, kenapa aku tak melihat ada orang tadi? Aish pasti ini karena aku terlalu fokus mencari keberadaan Bintang. "Aish, Dif kalau jalan liat-liat dong!" cerca Helen yang nampak kesal karena aku menabraknya tadi. "Ya ampun sorry, Len. Lagian punya badan kecil amat sih kan gue nggak liat," ujarku sedikit memberinya guyonan kemudian mendekat kearahnya yang nampak kesakitan. "Nyebelin banget sih lo," seru Helen. Aku hanya terkekeh geli melihatnya yang kesal. Oh iya, aku seketika teringat dengan Bintang. Biasanya kan Bintang selalu bersama Helen. "Len, Bintang ke mana?" "Calista? Mana gue tau, emangnya gue emaknya," jawab Helen kesal. "Bukan gitu juga, kan lo sahabatnya ya harusnya lo tau dong," balasku. "Sahabat apaan. Lagi sama sahabat barunya kali. Udah deh lo jangan tanya-tanya Calista ke gue," kata Helan terdengar marah kemudian beranjak pergi. Aku menatap kepergian Helen dengan heran. Tak biasanya ia seperti itu. "Apa gue tadi salah ngomong?" "Ah tau lah." *** Aku berlari menuju taman di belakang sekolah. Berhubung sebentar lagi bel tanda pelajaran akan berbunyi, sepanjang perjalananku menuju taman terasa sepi. Dari kejauhan aku melihat ada dua siswi yang saling duduk berhadapan. Mereka tampak sedang dalam situasi tegang. Melihat dari sini sih sepertinya Wendya baru saja membuat masalah kepada Bintang karena melihat tampang kecut dari Bintang dan raut memelas yang Wendya tunjukan. "Ah, kayaknya seru nih kalau gue kerjain," putusku yang mempunyai ide gila. Dengan perlahan aku mendekat kearah mereka yang terdengar sedang cek-cok. Melihat perdebatan mereka mambuatku semakin terpacu untuk menjahili Bintang. "Idih ... itu udah ngomong oneng," ejek Wendya dengan terbahak. Aku baru kali pertama ini melihat Wendya selepas itu. Biasanya ketika di kelas, ia sangat pendiam dan sangatlah tertutup. "Gue buang nih n****+ baru tau," ucap Bintang sembari mengangkat seakan ingin melempar sebuah buku tebal di tangannya. Dengan secepat kilat aku aku berlari dan berhenti tepat di depan Bintang yang masih terfokus kepada Wendya yang langsung terdiam begitu melihatku. Brak ... "Astagfirullah ... Ya Allah, kaget dodol!" umpatnya terkejut melihatku yang secara ajaib telah hadir di depannya. Jujur saja aku pun ikut terkejut mendengar gebrakannya tadi. Niat hati mau ngagetin, eh malah kaget sendiri. Senjata makan tuan. Melihat buku yang tadinya digunakan oleh Wendya telat terbang, Wendya pun seketika murka. Ia mengomel panjang kali lebar kepada Bintang yang masih terlihat syok akibat kejuta ku. Bukannya menanggapi pekikan Wendya, Bintang malah menatapku dengan sorot mata berapi-api. Aduh matilah aku, bentar lagi bakalan ada singa yang mengamuk. "Radifff!!! Kenapa sih lo hobi banget ngejain gue? Rese banget sih!" teriaknya dengan amarah yang mulai menguar. Wasalam bakalan kena timpuk. Tapi sepersekian detik kemudian di luar dugaan. Aku yang mengira ia akan memukuliku dengan buku yang ada di tanganya, justru ia langsung menutup laptopnya yang menyala tadi. Bahkan ia membereskan barang-barangnya juga. "Eh Lis, mau kemana?" tanya Wendya yang kebingungan. "Males sama kalian," sahutnya singkat lantas pergi meninggalkan aku dan Wendya. Rautnya tadi mendadak datar. Apa iya Bintang bener-bener marah sama gue? "Eh Listaaa ... " panggil Wendya namun tak dihiraukan oleh Bintang. Aku sendiri keheranan dengan tingkah Bintang yang di luar kebiasaan itu. Apa aku tadi bercandanya keterlaluan? "Bintang kenapa?" tanyaku kepada Wendya yang sedang memunguti barang-barangnya hendak pergi. "Gara-gara kamu, Dif!" sentak Wendya kemudian beranjak meninggalkan diriku yang semakin dibuat terheran-heran oleh tingkah para wanita hari ini. "Kenapa semua wanita yang gue temui menyemprotkan amarahnya sama gue sih? Apa salahku, Ya Allah? Apakah hari ini adalah Hari Nasional PMS untuk wanita?" gumamku. Aish, wanita itu memang makhluk yang susah untuk dimengerti. Kring .... Kring .... Bel tanda dimulainya pembelajaran terdengar nyaring. Saat itu juga aku teringat tujuanku ke mari. "Alamakkk! Gue bakalan kena marah lagi sama Bu Reya!" teriakku yang sontak lari terbirit-b***t menuju deretan kantor guru. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD