49-?Beautiful Eyes?

1724 Words
_***_ Selalu aku tanamkan dalam diriku bahwa tak ada yang namanya mantan orang tua, mantan saudara dan mantan sahabat. _***_ calista's POV Esok hari telah tiba, aku jamin hari ini tidak akan terlambat lagi. Kak Ken hari ini ada jadwal pagi, oleh karena itu aku diantar olehnya pagi-pagi. "Kak Ken, ini masih jam setengah enam loh. Sekolah Lista mana udah buka," gerutuku yang sudah terduduk siap di mobil. Kak Ken yang baru saja masuk pun terkekeh. "Kamu ni kemarin telat ngomel, sekarang berangkat pagi juga ngomel." "Huuuh yah jangan pagi-pagi gini juga tau, Kak," sahutku mencemberutkan bibirku. Kak Ken kembali terkekeh. "Hahaha, udah lah terima nasib aja. Lagian seharusnya seneng dong dianter kakaknya," balas Kak Ken membuatku terdiam dalam kekesalan. Waktu pun berlalu, kini mobil Kak Ken berhenti di sebuah tempat yang familiar. Iya, di mana lagi kalau bukan di sekolahku. Aku kemudian bergegas menggendong tasku dan akan beranjak turun. Namun sebelum itu aku memberikan perkataan singkat kepada Kak Ken. "Kak, jangan lupa bawa oleh-oleh yang banyak loh." Iya alasan Kak Ken berangkat pagi karena akan pergi keluar kota. Makanya aku tak akan lupa untuk meminta dibelikan oleh-oleh. Namun jika aku kelupaan bilang, Kak Ken sudah tau dan pasti membelikanku. Karena dulu pernah sewaktu kedua kalinya Kak Ken ke luar kota, ia lupa membelikan oleh-oleh dan berakhir dengan diriku yang memusuhinya dua hari. "Siap, Bos. Udah sana berangkat, yang bener sekolahnya. Di rumah jangan nyusahin Umi sama Abi loh," kata Kak Ken memberiku nasihat. Aku tersenyum cerah. Kak Ken memang bawel dan selalu perhatian kepadaku. Dia memang kakak idaman. "Siap, Captain. Kak Ken juga hati-hati loh dan jangan lupa pulang." "Iya-iya. Udah gih, kakak harus cepet berangkat sebelum kesiangan." "Iya-iya kalau gitu, Assalamu'alaikum," pamitku sembari mencium tangannya. "Wa'alaikumussalam. Babay," balas Kak Ken dengan melambaikan tangan. Aku kemudian turun dari mobil dan membalas lambaian tangan Kak Ken. "Fii amanillah, Kak!" seruku sebelum jendela mobil tertutup. Setelah memastikan mobil Kak Ken pergi dengan aman, aku kemudian melanjutkan langkahku mendekati gerbang yang masih di tutup. "Masa iya sih masih dikunci?" tanyaku kepada diriku sendiri menyadari gerbang masih di tutup. Aku melihat gembok yang terpasang itu dan ternyata gembok tidak terpasang. Aku lantas membuka gerbang itu dan memasukinya. "Kayaknya gue juara pertama berangkat sekolah hari ini nih," gumamku merasa bangga. Klaimku bukan tanpa dasar. Sekolah memang tidak ada seorang pun di sini. Masih sangat sepi, memang sudah ada penjaga sekolah dan security, namun untuk golongan siswa da guru beoum ada siapapun yang berangkat. Aku berjalan santai memasuki sekolah yang teramat sepi. Namun saat aku sedang menikmati segarnya pagi ini, pikiranku kembari teringat soal Helen dan Wendya. Aku tak tahu nanti harus bersikap kepada mereka bagaimana. Yang sudah pasti adalah mereka akan bertingkah berbeda kepadaku. "Huh ... semoga tidak berkepanjangan." *** Hari sudah semakin siang, aku yang tadi duduk sendiri di kelas kini sudah banyak yang teman yang juga terduduk sepertiku. Namun yang menjadi heran adalah Wendya yang belum datang. Ini sudah jam enam lewat empat puluh lima menit, namun sampai kini belum ada kabar keberangkatannya. "Setidaknya gue bukan musiman ya!" Sebuah suara terdengar keras. Aku melirik dan ternyata itu berasal dari sosok Helen yang tengah berbincang dengan teman-teman sekelasku lainnya. Kembali aku hanya bisa terdiam menunduk menyadari kesalahpahaman yang semakin menjadi. Sepertinya yang harus aku lakukan sekarang adalah menjadi kuat. Kedepannya kemungkinan akan ada lebih lagi ucapan keras nan menusuk yang harus aku terima. Aku menoleh begitu seorang siswi yang baru saja masuk. "Wendya," panggilku. Ia nampak terkejut namun kemudian menunduk kan kepalanya. Ia nampak gelisah di sana. Aku semakin bingung dengan tingkah Wendya. Apa yang sebenarnya ia hadapi? Dan mengapa iabterlihat ketakutan. Saat Wendya sudah duduk di kursinya yang berada di sampingku, ia nampak terdiam menatap novelnya. Apa ia sedang mengabaikanku sekarang? Mendadak perasaanku menjadi ciut. Rasanya aku ingin menangis, orang terdekatku semakin lama semakin menjauh. E ntah kesalahan apa yang sudah aku lakukan terhadap mereka, aku merasa semua adalah salahku. Kring .... Bel pertanda pembelajaran dimulai sudah terdengar, kami kembali duduk masih di tempat masing-masing. Hari ini adalah hari kamis, biasanya aku antusias di hari ini karena mata pelajaran yang ringan. Namun karena permasalahan itu membuatku tak bersemangat lagi. Sepertinya hari beratku akan segera dimulai. *** "Wendya, lo mau ke mana?" Aku kini sedang menyantap bekalku. Iya, semenjak aku kecelakaan waktu itu, Umi selalu memberiku bekal. Aku tak masalah toh uang sakuku bisa ditabung saja. Wendya nampak berdiri daro kursinya seperti akan pergi. Begitu aku mengucapkan pertanyaa itu, gerakannya terhenti. "Aku mau ke toilet bentar, Lis," jawab Wendya dengan tersenyum manis. Aku kemudian beroh ria dan mempersilakan untuknya pergi. Aku jelas sekali sadar Wendya sedang menyembunyikan sesuatu. Ia nampak selalu gelisah, tentu saja aku menangkap gelagat anehnya itu. "Hei-hei gue liat-liat lo sendirian terus. Sohib lo kabur ya? Kasian banget gak punya temen," ucap Fira yang kini mendatangiku bersama gerombolannya. Aku mendongak dan melihat selain ada Fira, Gea dan Shila, di sana ada juga sosok Helen. Ia menatapku dengan senyuman remeh. Biar aku jelaskan sebentar. Fira, Gea dan juga Shila merupakan teman sekolahku yang terkenal dengan kecentilannya. Mereka selalu bersama layaknya sahabat, dan hobi mereka sama, yaitu suka mengganggu orang lain. Dan kini aku tak menyangka Helen malah tergabung bersama mereka. "Lo pasti kaget kan Helen gabung sama kita?" sindir Shila tertawa meremehkanku. Aku tak menjawab, aku hanya menatap mereka dengan tatapan datar. Untuk menanggapi mereka, aku terlalu malas dan sejatinya perkataan Shila benar, aku terkejut dan tak menyangka Helen bergabung dengan mereka. Aku semakin merasa bersalah jika ia bergabung dengan mereka karena ia yang menganggap aku telah mencampakkannya. "Cewek musiman kayak lo emang gak pantes punya temen," sahut Gea yang mengucapkan perkataan pedasnya tanpa pikir panjang. "Hey kalian bisa diem gak sih! Ganggu orang tidur aja deh!" Aku memejamkan mataku mencoba mengendalikan hatiku yang kian sakit. Sejujurnya hatiku tak kuat mendengar kata-k********r yang demikian, namun aku tidak boleh terlihat lemah di depan mereka. Aku tak ingin mereka memandangku lemah dan bisa semakin seenaknya mengejekku. "Apa sih lo, Dif, ikut campur aja deh lo!" seru Fira menanggapi seruan Radif yabg terganggu oleh suara mereka yang memang terdengar sangat keras. Bunyi gebrakan meja seketika terdengar. Aku hampir saja terlonjak kaget. Seseorang yang ada di belakangkulah pelakunya. "Lo kalau mau baku hantam mending di lapangan sono! Biar semua orang di sekolah tau kalau kalian jagoan!" bentak Radif yang kini tengah emosi. Entah bagaimana bisa Radif menjadi sekasar ini. Yang pasti aku harus berterimakasih kepadanya karena menyelamatkanku. Mereka pergi dari hadapanku dengan raut wajah menahan amarah. Aku menatap kepergian Helen yang sedaei tadi diam saja. Aku tidak tau apa yany kamu rasakan. Tapi aku harap segeralah kembali, Len. Setelah mereka pergi keluar kelas, aku membalikkan tubuhku menghadap Radif yang sepertinya sudah tertidur kembali. "Te—" Baru saja aku akan mengucap terima kasih, tiba-tiba suara Radif memotong. "Gak usah berterimakasih. Gue ngelakuin itu bukan karena lo," ucap Radif yang masih dalam posisi menenggelamkan wajahnya dilipatan tangannya. Aku lantas tersenyum. Radif sekarang memang seperti itu. Entah ia berniat atau tidak untuk membantuku, aku sudah sepatutnya berterimakasih. "Sebagai bentu terimakasih dari gue. Gue janji bakal traktir lo brownies," ucapku kepada Radif yang tak ia tanggapi lagi. Jika ia terdiam, itu artinya ia setuju. Aku sudah hapal betul dengan bahasanya. Setidaknya sekarang aku masih memiliki teman mengobrol seperti Radif walaupun terkesar kasar bahasanya. "Nanti pulang sekolah gue bakalan tagih cerita lo," balas Radif dengan suara lirih. *** "Lo kenapa diem aja?" "Ya lo sih gak ngomong-ngomong jadi gue pikir belum siap," ucapku sembari mencembikkan bibirku. Kini aku seperti biasa sedang berada di rooftop bersama Radif. Yah, sepertinya kalian sudah hapal jika di sini pasti akan membicarakan sesuatu banyak hal. "Ya udah mulai," intrupsi Radif. Aku kemudian memulai bercerita mengenai kejadian kemarin di mana aku terlibat kecelakaan dengan Kak Kevin. Iya, yang dimaksud menagih cerita itu yah tentang ini. Radif sudah curiga dari awal saat Kak Ken menelponnya. "Iya begitulah. Untung saja gue dan Kak Kevin gak kenapa-kenapa. Gue bakalan ngerasa bersalah banget sih kalau sampe ada apa-apa sama Kak Kevin, secara dia udah ngorbanin motor kesayangannya juga sampe ringsek," ucapki mengakhiri cerita. "Tapi bener juga tindakan temen kakak lo itu, kalau motor lo dibiarin gitu aja mungkin bakalan merenggut korban lain," tanggap Radif. "Iya sih, ah pokoknya gue sekarang bersyukur banget masih dikasih hidup sampai sekarang." Radif tak menanggapi lagi perkataanku dan aku pun juga terdiam menikmati semilie angin yang menerpa wajahku. Suasana sunyi menambah relaks pikiranku yang sedari tadi terasa pening. Oh iya tadi ada sebuah kejadian yang membuatku hanya bisa bersabar. Aku dan Helen bertemu di toilet sekolah. Waktu itu aku mencoba menyapanya untuk mencoba berbicara dengannya namin tetap saja ia mengabaikanku. Aku tidak bisa memaksa untuk terus berbicara. Aku tak ingin jika ia semakin membenciku karena keegoisanku. "Lo kok diem aja?" Aku menoleh kepada Radif. "Lah ceeitanya kan udah abis." "Bukan itu maksud gue. Tentang di kelas tadi, lo gak biasanya pasrah gitu aja," ucap Radif. Aku paham apa yang sedang Radif bicarakan. Ia bertanya kepadaku mengenai kejadian geng Fira yang mencoba merendahkanku. "Yah gue harus ngapain coba," jawabku tertertawa ringan. "Karena Helen?" Aku sejenak terdiam. Ucapan Radif benar, tadi itu sangatlah tidak menunjukkan sosokku. Aku paling tidak suka dirundung dan diremehkan, biasanya aku akan melawan siapa saja yang berusaha merendahkanku. "Huhh apa sih yang gak lo tau, Dif," dengusku sebal. Entah mengapa ia selalu saja tau spa yang sebenarnya sedang terjadi kepadaku. Sangat sulit menutupi rahasiaku dihadapan Radif. "Kalau gue jadi lo sih bakalan gue lawan sekalipun lawan gue mantan sahabat gue sendiri," tanggap Radif membuatku menatap datar ke arahnya. "Sorry banget ya, gue bukan lo. Dan di kamus bahasa gue tu gak ada yang namanya mantan sahabat," ucapku menyombongkan diri. "Idih, dasar lo sok kuat. Padahal lo tadi mau nangis kan?" ejek Radif yang sontak membuatku bagai terhujam pedang. "Gue emang kuat sih. Buktinya gue bisa bertahan sejauh ini," ucapku menanggapi ejekan Radif. Terdengar suara tawa dari sebelahku. "Hahaha dasar lo ya gak pernah berubah sekalipun dihianatin sahabat lo sendiri." "Hey, gue ingetin sekali lagi ya, Helen bukan menghianati gue. Dia itu cuma sedang tersesat untuk pulang," belaku menyangkal ucapan Radif. Lagi-lagi ia terkeleh. "Lo emang beda sih, Tang." Aku menatap langit biru yang bersih dari awan. Mencoba berdamai dengan hati dan menerima semuanya dengan lapang d**a. Aku sekarang memang masih lemah, tapi aku akan terus belajar menjadi kuat untuk terus bertahan dan meelangkah maju menghalau semua rintangan. Aku percaya, bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD