32-?Beautiful Eyes?

1627 Words
_***_ Ternyata karma itu ada. Aku baru sadar kesalahan sekecil apapun di masa lalu, akan berdampak di masa depan. _***_ Calista's POV Mata Era memerah menatapku. Guratan kecewa dan kesedihan jelas tercetak di sana. Aku sebenarnya iba dengannya, ia selalu ditolak dan diabaikan Radif. Aku yang baru beberapa kali diabaikan oleh Radif saja rasanya sudah sebal sekali. Tetapi Era ... dia harus mengalaminya selama bertahun-tahun. Aku tak habis pikir mengapa Radif begitu tak menyukainya. Tapi apalah dayaku, itu semua hak Radif. Mungkin aku hanya bisa memberinya masukan saja untuk perubahan sikapnya terhadap Era yah itu tergantung keputusan Radif. Era kemudian membalikkan tubuhnya dan pergi dari tempat. Jujur ada rasa bersalah melihat kesedihan yang Era pancarkan kepadaku. "Semangat, Era," bisikku bergumam. Aku kemudian berkemas untuk bergegas menyusul Radif ke atap. Aku tak tahu bagaimana nanti perasaan Radif, aku harap dia dalam kondisi baik. Dan sepertinya aku harus lebih memahami perubahan sikapnya yang tiba-tiba. *** Begitu aku telah menapaki lantai rooftop, mataku menyapu keseluruh tempat itu dan pansanganku berhenti pada sosok yang terduduk membelakangiku. Aku menghela napas sejenak sebelum menghampirinya. Kemudian aku berjalan mendekat. "Era gak ngomong macem-macem sama lo kan?" tanya Radif menyadariku berdiri di belakangnya. "Enggak, emangnya kenapa? Apa ada masalah?" tanyaku menghadap Radif yang mrnatap lurus ke halaman sekolah. "Lo tau kan soal gue yang dijodohin sama Era?" Sebuah pertanyaan yang Radif lontarkan membuatku terkejut. Aku tak mengerti mengapa aku yang mendengarnya mendadak sakit. Aku yang baru mendengar berita itu sekarang pun menjawabnya dengan gelengan. "Oke kalau gitu gue akan cerita semuanya dari awal ya," kata Radif yang akan memulai bercerita. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan semua yang terjadi, namun sepertinya aku sekarang hatus mrnjaga hatiku supaya tidak lepas kendali atas kabar yang baru saja aku dengar itu. "Lo bisa mulai sekarang, Dif." Radif terlihat menghela napas terlebih dahulu sebelum memulai bercerita. Sepertinya ia memang perlu mempersiapkan diri dengan matang sebelum menceritakannya kepadaku. Aku harap aku tidak mrmbuatnya tertekan. "Oh iya sebelum gue mulai, gue juga minta ya ceritain apa yang sebenarnya lo laluin selama lo bolos sekolah. Lo bisa kan?" ujar Radif. Aku sejenak berpikir mengenai permintaan Radif itu. Sebenarnya rasanya masih tidak nyaman untuk menceritakan kejadian yang menimpaku beberapa waktu lalu, namun melihat tatapan memohon yang Radif tunjukkan, mau tak mau aku harus siap untuk berbagi. Toh di sini aku juga harusnya tau, bagi Radif pasti sulit menceritakan hal ini. "Oke." Setelah aku menyetujui permintaan Radif, ia terlihat lebih lega. "Oke kalau gitu gue mulai." Aku duduk manis sembari menunggu Radif untuk bercerita. Sepertinya ini akan menjadi momen pertama kalinya aku melihat Radif bercerita dengan serius. "Lo masih inget kan kejadian waktu gue, lo, papa sama Era di UKS?" tanya Radif memulai bercerita. Aku mengangguk cepat. Tentu saja aku tidak akan lupa kejadian itu, karena di sana aku benar-benar terkejut dengan sosok Radif. "Nah setelah kejadian itu, akhirnya gue memutuskan buat pindah sekolah. Gue bilang ke papa tapi papa menolak dan mengancam akan memberitahukan identitas gue kalau gue anaknya dengan Era yang dijadikan alat. Gue yang kepala batu, gue gak peduli dan tetep bertekat buat pindah sekolah. Selama dua hari gue bolos sekolah, hingga gue dapet kabar lo menghilang. Gue kira lo cuma bolos sehari aja, tapi ternyata sampai berhati-hari. Jujur saat itu gue ngerasa bersalah, gue takut lo menghilang karena masih marah sama gue. Karena itu gue gak jadi buat pindah sekolah. Gue coba buat beetahan dan cari informasi mengenau keberadaan lo. Seminggu gue cari tahu tapi ternyata belum dapat juga, sampai gue denger Wendya dapet telepon dari seseorang yang bilang kalau lo kecelakaan. Gue syok banget waktu itu dan gue mau tanya lebih detail ke Wendya tapi waktunya belum tepat. Sampai tepat dua minggu sejak lo menghilang dari sekolah. Entah bagaimana waktu itu gue berangkat pagi hari dan di sana ternyata ada papa. Waktu itu suasana sekolah masih sepi dan papa yang ada di lobi sekolah tiba-tiba aja manggil gue. Waktu itu karena gue ngerasa situasi sekolah aman dari anak-anak lain, gue pun memutuskan untuk mendekat. Papa bilang mau bicara sama gue dan gue mengiyakan dengan syarat kita ngobrolnya di kantor kepala sekolah supaya jika memang anak-anak udah datang, jadi gak curiga. Setelah gue parkir sepeda, gue langsung ke kantor papa. Di sana papa gue merasa menang karena dia kira ancamannya waktu itu yang membuat gue memutuskan membatalkan kepindahan. Gue pingin rasanya ngungkapin semua perasaan gue layaknya anak dan orang tua, namun seperti yang gue duga, papa malah salah mengartikan. Gue coba buat sabar dan akhirnya gue udah gak tahan buat keluar dari ruangan itu. Sehari setelah kejadian itu, kejadian dimana terbongkarnya identitas gue terjadi. Pagi hari gue sama Dito lagi di kelas, sekolah ternyata lagi heboh akibat laman portal sekolah. Ada seseorang yang meng-upload berita tentang gue yang bisa unggul karena ada koneksi antara gue sama papa gue sebagai kepala sekolah. Artikel itu di dukung dengan sebuah video pembicaraan antara papa dan Era. Lo bisa menyimpulkan sendiri dari pembicaraan merekalah yang menyebabkan terbongkar identitas gue," jelas Radif menceritakan kejadian sebenarnya. Sedari tadi aku hanya bisa terperangah. Aku tak menyangka ternyata serumit itu kejadiannya dan aku tak habis pikir dengan seseorang yang dengan tega menyebarkan berita itu melalui portal sekolah. "Terus lo gimana waktu itu? Terus siapa yang tega nyebarin berita gak bener tentang lo itu?" tanyaku sembari menahan geram cerita dari Radif. "Gue sempet drop dan bolos sekolah lagi. Tapi karena ada sesuatu yang membuat gue bangkit, akhirnya gue kembali sekolah untuk membuktikan apa yang mereka kira itu salah. Gue jadi seperti ini karena kemampuan gue, bukan karena papa. Dan untuk pelakunya, jujur sampai sekarang gue gak tau siapa tapi biarlah gue gak peduli. Lagian gue kalau ketemu pelakunya pun gak tau apa yang mau gue lakuin. So, ya udah lah yang penting situasinya sudah kembali. Dan lo sekarang juga udah kembali." "Gue salut sih sama lo. Dan sorry kemarin gue gak memperlakukan lo dengan baik," tanggapku mencoba ikut prihatin akan kejadian yanh dialami Radif. "Apaan deh lo, Tang, lagian lo udah lihat sendiri gue baik-baik aja. Dan lo juga udah liat kan hubungan gue sama papa menjadi lebih baik lewat kejadian yang gue alami ini." Aku lantas tersenyum mendapati sosok Radif yang bijak. Tak salah jika Radif menjadi seorang pemimpin. Ia sebenarnya bijak, namun tak semua orang bisa menyaksikan kebijakan Radif karena humor yang selalu ia tampakkan. "Gue ikut seneng lo sama papa lo bisa baikan, Dif, tapi maaf banget tadi gue ngerusak suasana banget. Gue gak tau ada lo sama papa lo di sana. Maaf banget ya, Dif, dari tadi gue ngerasa bersalah banget sama lo," ujarku jujur merasa tak enak dengan Radif. Radif malah tertawa. Yang benar saja rasa bersalahku malah ia tertawakan. "Lucu banget deh lo, Tang. Aduh ..." Radif semakin terpingkal-pingkal melihat wajahku yang semakin masam dan tersipu. Pipiku terasa panas, jangan sampai ia memerah seperti peristiwa di bus itu. "Harusnya gue yang malu tau, Tang. Lo yang notabenenya orang yang selalu gue jailin, malah ngelihat gue nangis waktu itu. Lo sebenernya ngerasa bersalah atau lagi ngejek gue," kata Radif sembari bercanda. Aku kemudian mendengus. "Yeee lo mah emang susah serius ihhh dasar." Radif kemudian tertawa kembali karena berhasil menjahiliku setelah sekian lama. Aku yak habis pikir ia kini mampu untuk menjadi dirinya kembali. Padahal tadi moodnya pasti berantakan setelah bertemu Era. Sungguh ia seperti bunglon yang mampu berubah-ubah sifatnya. "Lo tu kayak bunglon tau," celetukku menghentikan tawanya. "Kenapa? Gue manusia malah disamain kayak Bunglon." Aku terkekeh mendengar jawaban Radif yang out of the box. "Lo tu gampang berubah-ubah. Gue sampe bingung ngadepin lo tau." "Sepertinya kedepannya lo harus terbiasa deh. Gue di depan lo sama di depan anak-anak bakalan beda sih kedepannya," balas Radif. Aku menghela napas, aku tahu mungkin masih sulit untul Radif berbaur seperti biasanya. Namun aku berharap ia bisa kembali seperti dahulu. "Tapi awas aja kalau lo sampe nyuekin gue lagi," ancamku dengan menunjuk wajahnya. "Gak lagi deh serem kalau maklampir ini marah, hahaha." Radif mulai memulai tingkah menyebalkan. Menyebalkan yang aku suka yang aku rindu dan yang aku harapkan ia lakukan kepadaku. "AWAS LO YAH GUE CULIK LO NANTI. GUE TAROH DI BENUA ATLANTIK!" teriakku kepada Radif yang sudah mulai berlari menjauh. Akhirnya kami bermain kejar-kejaran di sana. Mencoba saling mengerti kondisi masing-masing walaupun aku belum sempat bercerita kepadanya mengenai apa yang aku alami. Aku harap kebahagiaan kami tak ada yang berubah lagi. *** Era's POV Semenjak kejadian terbongkarnya identitas Fauzan, kini hubunganku dan Fauzan semakin jauh. Berulang kali aku harus menahan rasa sakitku ketika berusaha mengajak Radif berbicara. Jika ditanya lelah atau tidak ditolak mentah-mentah oleh Fauzan, maka akan aku jawab lelah sekali. Tapi karena rasa sayangku kepada Fauzan lebih besar, aku tak merasakan apa itu sakit dan lelahnya ditolak mentah-mentah keberadaanku oleh Fauzan. Sepertinya kalian tahu apa yang baru saja terjadi. Iya, aku tadi menyampaikan kepada Fauzan untuk menjauhi Calista. Rasanya sakit melihat Fauzan yang dekat dengan Calista yang merupakam orang baru di hidupnya. Aku yang merupakan teman kecilnya saja tak bisa sedekat ini dengannya. Aku selalu iri dengan perlakuan Fauzan terhadap Calista yang berbeda. Anggap saja aku cemburu melihat kedekatan mereka, namun entah mengapa rasa cemburu yang aku miliki terasa percuma. Aku sadar jika Fauzan membenciku dan aku sadar jika ia selalu menolak kehadiranku. Dan aku tahu ini semua terjadi karena kesalahanku sendiri. Lain kali akan aku ceritakan kisahku dan Fauzan atau Radif. Aku kini sedang memandang pemansangan yang sejatinya tak ingin aku lihat. Di atas sana ada seorang siswa dan siswi yang sedang bercengkerama. Mereka tampak santai dan saling melempar tawa. Pemandangan yang sebenarnya menyayat hatiku namun tetap aku paksakan untuk melihat hanya demi melihat tawa seseorang yang sangat aku rindukan. "Ya Allah, kenapa aku harus menikmati keindahan senyumnya dengan cara seperti ini? Apa Engkau sedang menghukumku atas kesalahanku di masa lalu?" Radif nampak bahagia, apakah aku harus ikhlas untuk melepaskannya dan berbahagia dengan yang lain? TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD