22-?Beautiful Eyes?

2041 Words
_***_ Rasa syukur yang tak henti-hentinya aku rasakan ialah kala melihat semua orang yang aku sayangi tertawa dan bercengkerama hangat tanpa ada guratan kekhawatiran ataupun kesedihan. -? The Most Beautiful Eyes ?- _***_ Asholatuminannauu .... Seorang gadis bertubuh ramping tengah merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. Wajahnya masih terlihat bermuka bantal. Wajar saja, baru satu menit yang lalu gadis itu terbangun. "Listaaa .... " Panggilan nyaring terdengar dari balik pintu kamarnya. Gadis tadi segera cepat-cepat menyelesaikan beres-beresnya itu. "Iya, Umi, Lista udah bangun ini." "Nah bagus, cepet sholat dulu habis tu bantu Umi siapin sarapan," titah Uminya kemudian beranjak pergi dari depan kamar tidur anaknya itu. *** "Selamat pagi, Umi," sapaku begitu sampai di dapur dan tengah mendapati Umi yang sedang mengupas bawang merah. "Pagi, Sayangku," jawab Umi tersenyum menatapku yang telah terlihat fresh selepas mandi. "Wih rajinnya udah mandi sepagi ini," puji Umi yang menyadari diriku telah mandi. Aku terkekeh, "iya dong, Mi, biar sehat." Umi ikut terkekeh kecil. "Ya udah itu kamu petik bayamnya terus dicuci." Aku segera bergerak menuruti perintah Umi. Sepanjang memasak, aku dan Umi tak henti-hentinya bercerita. Kalau kamu sudah bercengkerama seperti ini, bahan obrolan seperti tak ada habisnya. Sampai sebuah suara gesekan kursi terdengar di indera pendengaran kami. Dan ternyata itu Kak Ken yang masih berusaha keras menahan kantuknya. "Astagfirullah, Kakak. Cepet sana wudhu, keburu habis waktunya," kata Umi yang heran dengan kebiasaan anak sulungnya itu. "Iya Kak Ken nih, cowok kan harusnya sholat di masjid." Kak Ken pun bangkit tanpa mengucap sepatah katapun dengan mata terpejam ia memasuki kamar mandi. Aku dan Umi yang menyaksikan tingkat Kak Ken yang sungguh aneh bin ajaib itu hanya menggelengkan kepala kemudian tergelak. *** " Selamat pagi bidadari-bidadari Abi." Sebuah suara memasuki indera pendengaranku dengan merdunya. Iyah itu adalah suara Abi. Entah mengapa setiap mendengar suara Abi rasanya sangatlah tenang dan damai. Apa mungkin abi memiliki sihir suara? Hihihi. Aku segera bergerak maju menyambut Abi yang tengah berjalan menuju tempat kami. "Selamat pagi juga, Abi." Aku mencium tangan Abi dan memeluknya sebentar. Disusul Umi juga yang melakukan hal yang sama, namun yang membedakan adalah tangan Abi yang tak lepas dari pinggang Umi. "Yah, Umi Abi, Lista kan masih di sini," celetukku merasa cemburu dengan kemesraan Abi dan Umi. Abi dan Umi yang mengerti pun hanya tertawa melihatku yang merajuk. Karena hal itulah yang semula aku cemberut, kemudia ikutan tertawa. Hal seperti ini sebenarnya hampir setiap hari terjadi. Keluargaku senantiasa menjaga keromantisan dan keharmonisan antara satu sama lain sehinggal tak heran jika kami saling terbuka satu sama lain. Untuk kesekian kalinya aku sangat bersyukur memiliki keluarga seperti ini. "Ada apa ni? Nggak diajak masa," ucap Kak Ken yang baru saja keluar dari kamarnya. "Ada deh, kepooo ...." sambarku membuat raut wajah Kak Ken memerah. Ia terlihat akan berlari kearahku. Dengan segera aku berlari mencari perlindungan kepada Abi dan Umi. "Huaaaa Abiiii Umiiii tolong Calistaaa hahaha .... aduhhhh Kak Kennn ampunn !!!" Aku terus berteriak meminta ampun kepada Kak Ken yang tak henti-hentinya menghujami gelitikan di pinggangku. Aku orangnya tidak tahan dengan gelitikan, jadi aku paling tidak bisa berkutik jika dengan gelitikan. "Ampunnnn Kak!! Ampuuunnn!!" "Huaaaa Umiii .... " Umi dan Abi yang menyaksikan tingkahku dan tingkah Kak Ken hanya bisa tergelak, sedangkan Kak Ken sudah tertawa penuh kemenangan. "Aduh udaaaahhh, Lista udah lemes aduhhh hahahaha ampuuunn," teriakku yang sudah terduduk diatas lantai tak kuat. Sedangkan Kak Ken tanpa ada rasa belas kasihan terus saja menggelitiku. "Udah, Kak, kasian tu adek kamu. Kalau nanti ngompol lagi gimana," kata Abi yang mencoba membelaku, namun tetap saja ada unsur kejahilan di dalamnya. Hal itu sontak membuat semua orang tertawa mengingat suatu kejadian yang membuatku tersipu malu. Kak Ken lah yang mengeluarkan tawa kerasnya, sedangkan aku hanya bisa menangkupkan kedua tanganku untuk menutupi wajahku yang pastinya sudah memerah. *** Assalamu'alaikum, Lista. Pulang sekolah nanti aku mau ke rumahmu, boleh? Ada sesuatu yang perlu aku jelaskan. Aku mengangkat sebelah alisku terheran. Dalam benakku terus bertanya apakah ada kejadian selama aku meninggalkan Wendya? Apakah hal serius? Aku dengan cepat mengetik beberapa kata dan mengiriminya balasan itu. Wa'alaikumussalam Bisa, Wen. Dateng aja. Setelah itu aku meletakkan kembali ponselku dan membuka layar laptopku. Di sana aku membuka halaman sebuah aplikasi baca yang kemarin sempat membuatku ingin pingsan. "Haduh kenapa pake kepencet segala," gusarku saat akan membuka aplikasi itu. Dengan memberanikan diri aku membuka sebuah cerita yang aku tulis. Entah mengapa jantungku berdebar kencang. Atau mungkin karena gugup? Aku tak tahu. Mataku terbelalak melihat ucapan Wendya yang ternyata benar adanya. Aku menahan napas saat melihat halaman ceritaku yang ternyata sudah terdapat dua komentar di sana. Dengan ragu aku membentangkan rincian itu. @ raravy Wah, sepertinya cerita ini menarik. Semangat thor. Aku tunggu kelanjutannya @ baiqtusya Next kak. Semangattttt Aku menutup mulutku yang mengaga tak percaya. Bagaimana bisa baru kemarin aku publish sekarang sudah ada 10 vote dengan 2 komentar. "Aishhh malunya dirikuuu!" seruku menutup kepalaku dengan bantal. Tok ... tok .... "Dek, Wendya udah dateng." Teriakan Kak Ken seketika membuatku teringat bahwa Wendya akan bertamu. Sontak aku segera bangkit dan memasang khimarku. Kalian tak perlu heran, sudah menjadi pembiasaan di keluargaku apabila ada tamu baik laki-laki atau perempuan, kami sebisa mungkin menutup seluruh aurat. Sebenarnya ada batasan aurat tersendiri yang boleh diperlihatkan dihadapan sesama jenis. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW, Rasulullah bersabda: "Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan seorang perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain. Seorang laki-laki tidak boleh bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian; dan seorang perempuan tidak boleh bercampur dengan perempuan lain dalam satu pakaian." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi). *** "Assalamu'alaikum, Wen. Sorry yah kalau kelamaan nunggu," sapaku begitu telah tiba di ruang tamu dan mendapati Wendya telah duduk menunggu. "Wa'alaikumussalam. Nggak papa santai aja. Yang penting kamu udah keluar," jawab Wendya tersenyum tulus. Aku kemudian ikut duduk di sofa samping Wendya. Tak lama kemudian datang umi dengan sebuah nampan berisi cup minuman dan camilan. Aku yang mengetahui umi membawa nampan pun bergerak mendekati umi dan mengambil alih nampan tersebut. "Makasih, umi cantik," pujiku. "Sama-sama anak umi paling comel," tanggap umi membuat Wendya ikut tersenyum. "Diminum dan dimakan ya, Wen. Ini kemarin aku loh yang buat biskuitnya," tawarku sembari memberikan satu cangkir minuman dihadapan Wendya. "Wihh hebat kamu, Lis. Iya nanti tak makan," jawab Wendya yang membuatku cekikikan. Umi pun menanggapi, "setau umi, kemarin kamu cuma kebagian ngaduk aja deh, dek." Aku yang mengetahui sindiran umi pun tertawa pecah. Memang benar cake ini adalah buatan sendiri. Tapi dedikasi terbesar yah tenaga Umi, hehe. Aku hanya sedikit membantu untuk membuat adonan dan mengoven saja. "Nggak papa dong, Mi, kan setidaknya masih ada campur tangan Lista," kataku bergurau. Tawa kami pun pecah dan Umi hanya bisa menggelangkan kepala melihat tingkahku. *** "Jadi gimana, Wen?" Setelah bercengkerama bersama umi tadi, kini hanya tersisa aku dan Wendya. "Aku ke sini mau jelasin sesuatu, Lis." Aku yang penasaran pun memajukkan tubuhku untuk mendengarkan secara saksama. "Jadi kemarin waktu kamu kena musibah, aku sempet dapet email dari salah satu penerbit yang meminang naskah cerita kamu," jelas Wendya yang sontak membuatku terbelalak. "Hah?! Wen, perasaan gue gak ngajuin naskah gue ke penerbit," ungkapku dengan penuh keterkejutan. Wajah Wendya seketika lesuh. Sepertinya ada yang ia lakukan selama aku sakit kemarin. "Maaf banget, Lis, dulu itu sempet ada pencarian naskah di w*****d dengan ngasih link cerita. Nah aku nyoba masukin ceritaku. Terus entah mengapa aku iseh juga masukin link cerita kamu, karena kebetulan syaratnya gak harus yang udah tamat. Jadi aku nekat masukin link cerita kamu. Eh tapi siapa sangka ternyata maskah ceritamu lolos, Lis. Sekali lagi aku minta maaf ya, Lis." Aku syok seketika. Bagaimana bisa naskah pertamaku bisa lolos penerbitan? "A-ah terus naskah lo gimana?" "Kalau yang punya gue belum lolos, Lis. Tapi tenang aja kok, Lis, aku udah bilang ke pihak penerbit kalau mau narik naskah kamu itu," ungkap Wendya dengan raut muka bersalah. Aku menghela napas panjang. "Iya udah gue maafin, Wen, tapi sayang banget gitu loh padahal naskah cerita lo jauh lebih baik dari punya gue. Gue masih gak habis pikir." Wendya tersenyum sumringah. "Aaaa tengkyu Calista yang cantikkkk. Sumpah seneng banget aku, kirain kamu bakalan marang banget sama aku, Lis. Huhu." "Iiih, gak kok. Tapi terus gimana dong kamu jadi gak lolos loh," tanyaku dengan nada sendu. Jujur aku merasa tak enak. Dia yang berniat mengajukan naskah malah ditolak, sedangkan ia yang memasukkan link ceritaku dengan iseng malah lolos. "Dih, udah gak papa lagian belum rezeki aku itu berarti. Tenang aja masih banyak jalan menuju Roma," tungkas Wendya dengan gembira. Aku terkekeh geli. "Jauh amat buk mau ke Roma, hahaha." "Iya dong! Impian itu harus yang jauh sist. Hahaha," tanggap Wendya melontarkan candaan. Saat aku dan Wendya sedang sibuk bercengkerama, sebuah suara membuat kami mengalihkan fokus. "UMI! ADA KECOA!!" Aku yang baru saja meminum teh buatan Umi, hampir sama menyembur. Iyap, itu tadi suara Kak Ken dari arah kamarnya. Aku tak habis pikir dengan kakaku yang sudah berumur itu. Tapakan kaki panjangnya dengan cepat menuruni anak tangga. Agaknya dia lari terbirit-b***t dari kamarnya tadi. Saat kakinya sudah menapak lantai dasar, gelak tawaku dan Wendya semakin kencang. Ia baru menyadari bahwa ada tamu di rumah. Dengan tak berdosanya aku terus menertawainya. Kali ini bukan karena ia takut kecoa, melainkan karena pakaian yang ia kenakan. Dia hanya mengenakan kaus oblong dan juga celana pendek selutut. "Kak Ken! Ini ada tamu loh, masa pakaiannya kek gitu," pekikku dengan diselingi tawa. Kak Ken yang menyadarinya malu bukan kepalang. Ia lari kembali memasuki dapur dengan berteriak kepadaku, "kasih tau kek, Dek, kalau ada tamu dibawah!" Mendengar ucapannya itu aku semakin tergelak dengan tingkah Kak Ken yang menurutku menghibur. Sedangkan Wendya yang ada di depanku hanya tertawa malu-malu. "Kamu ni, Lis, udah. Kasian kakakmu," ucap Wendya membela kakakku. "Cie-cieee belain abang gue ni, Wen," jawabku menggoda. Sepertinya akan seru jika mencomblangkan Wendya dengab kakaku, haha. "Apaan sih, Lis, kamu mah." Wendya terlihat salah tingkah. Dan itu sangatlah lucu. "Haha, Wen. Ngakak banget dah." "Ihh udah, Lis, aku pulang ni" ancamnya sudah tak tahan aku goda. "Iya-iya Wen, hahaha aduh. Jangan pulang dulu, kita main-main dulu lah sharing-sharing dulu gitu. Kan kita udah lama gak ngobrol bareng ni," bujukku kepada Wendya yang merajuk. "Jangan kayak gitu lagi tapi," pinta Wendya. Dengan masih teetawa kecil aku mengiyakan permintaannya. *** Waktu telah menunjukkan pukul 17.00. Sudah satu jam semenjak Wendy pulang, aku masih bertahan di ruang keluarga untuk menonton televisi. Entah kenapa aku sedang ingin menonton televisi hari ini. S aat aku sedang menonton acara tv dengan saksama, teguran Umi mengagetkanku. "Hayo sayang jangan deket-deket," tegur Umi yang ikut duduk di sofa. "Eh, Umi. Lista gak sadar, Mi, udah sedeket ini," kataku heran karena ternyata aku sudah berada di hadapan tv. Mungkin efek minus yang aku derita ditambah aku tidak mengenakan kacamata. "Pake kacamata dulu, Sayang. Kasian mata kamu kan baru sembuh." Ada benarnya apa kata Umi. Jika aku tak mengidahkan kesehatan mataku, bakalab fatal akibatnya. Apalagi kemarin aku sempat buta akibat kecelakaan tak terduga itu. "Iya, Umi." Aku pu bergegas ke kamarku untuk mengambil kacamata minusku. Aku tak mau kejadian kelam itu kembali menimpaku. Dan kini aku bersyukur masih diberi kesempatan lagi untuk mendapat nikmat pengelihatan. Itu artinya aku harus menjaganya dengan sebaik-baiknya. Saat aku melewati kamar Kak Ken, pintunya terbuka sedikit. Dengan iseng aku mengintip dan melihat Kak Ken sedang memegang gagang sapu panjang. Aku hanya bergeleng heran. Padahal kecoa cuna hewan sekecil itu, berbanding terbalik dengan Kak Ken yang bisa dibilang memiliki tubuh atletis dan tinggi semampai. "Astaghfirullah, Kak Ken. Sama kecoa aja takut," seruku bersandar santai di pinggir pintu kamarnya. "Heh, Dek, sini tangkep kecoanya," pinta Kak Ken yang sudah amat frustrasi. "Siomay sama cimol?" "Yaelah, Dek, perhitungan banget sih." "Siomay sama cimol atau tidak sama sekali." "Iya-iya, nanti Kakak beliin. Tapi ini kecoa bawa pergi dulu," ujar Kak Ken yang akhirnya menyetujui syaratku. Aku terkekeh geli kemudian mendekat kepada kecoa yang siap menyerang siapa saja yang mendekat. Karena aku orangnya tidak jijikan dengan seekor kecoa, akhirnya aku bisa dengan mudah menangkapnya. "Nah cepet bawa keluar!" pekik Kak Ken yang terus menjauh dariku. "Mau coba pegang gak, Kak?" tanyaku iseng. "HEH! DEK JANGAN MACEM-MACEM LOH DEK!!" Aku semakin terkekeh geli dan segera keluar dari kamar Kak Ken untuk membuang hewan malang ini. Aku heran kenapa orang-orang sangat membenci hewan ini, padahal kan sangat lucu bentuknya seperti coklat. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD