Nampaknya realita menyeret Ailane secara paksa kedalam jalan hidup yang sesungguhnya. Bukan lagi gadis kecil yang sedang dikejar oleh pria dewasa yang sangat mapan. Ia sekarang hanyalah seseorang yang bekerja ditempat penitipan anak.
Langit sudah mulai gelap, semua anak yang dititipkan oleh orang tua mereka satu persatu sudah meninggalkan tempat itu.
Ia menunggu Sean untuk datang menjemputnya, ia tak tahu kenapa Sean semakin gencar mendekatinya. Sean ingin menjemputnya setiap ia pulang kerja, setiap hari. Ailane suka, karena bisa menghemat ongkos pulangnya. Tapi ia juga merasa tak enak hati jika harus terus-menerus merepotkan Sean dengan menjemputnya sepulang kerja. Ailane sudah menolak keras tawaran Sean, namun kalian tahu sendiri seorang Sean Diwangka seperti apa. Sean akan melakukan segala cara untuk menuruti keinginannya sendiri, termasuk dengan mendapatkan Ailane.
Ia melamun, sudah sepuluh menit berlalu Sean masih belum datang. Ailane menopang dagu, tiba-tiba teringat akan cinta pertamanya saat SMA yang meninggal Ailane secara tiba-tiba tanpa kejelasan. Tapi tidak dapat mengalahkan laki-laki itu juga, mereka berdua saja tak memiliki hubungan. Ada hak apa Ailane melarang laki-laki itu untuk tinggal? Sedangkan status mereka hanya teman biasa.
Ailane menyesal saat ia belum sempat menyatakan perasaannya, laki-laki itu sudah meninggalkan Ailane terlebih dahulu. Banyak dari temannya yang menyarankan Ailane untuk mengungkapkan perasaannya agar laki-laki itu tau apa yang dirasakan Ailane. Alhasil, sampai sekarang laki-laki itu juga belum mengetahui perasaannya. Ia tak tahu jika bertemu laki-laki itu kembali jantungnya masih berdetak kencang seperti dulu atau tidak.
Ailane menutupi muka dengan tangannya saat merasakan terangnya cahaya dari mobil didepannya. Sepertinya sang pemilik memang sengaja mengangetkan Ailane. Ailane berdiri mengetuk kaca mobil secara kasar.
"Om! Cepet buka sebelum Ailane bunuh Om Sean sekarang juga!" Ancam Ailane kesal.
Terdengar tawa Sean dari dalam mobil. Bukannya langsung membuka kunci pintu mobil, Sean masih saja berdiam diri didalamnya.
"Om Sean!"
"Fine Ailane," ucap Sean dengan tawa disela kata-katanya. Pintu mobil sudah bisa dibuka Ailane.
Ailane masuk dan menutup pintu mobil kencang.
"Lama banget si om? Gak liat penampilan Ailane udah kayak gembel sekarang?"
"Maaf Ailane, tadi ada pekerjaan yang sama sekali tidak bisa saya tinggalkan." Jujur Sean, tangannya sudah gatal daritadi untuk mencubit pipi Ailane.
"Hampir setengah jam lebih Ailane nunggu disana. Kalo Ailane diculik gimana?" Ucap Ailane yang masih kesal.
Tidak tahu diri sekali Ailane. Masih untung Sean mau menjemputnya. Hanya karena telat menjemput, bukannya Ailane berterimakasih malah ia memaki Sean tidak tahu malu.
"Kamu sudah makan?"
"Belom om,"
"Mau makan dulu?" Tawar Sean yang langsung disetujui oleh Ailane.
"Boleh om."
Sean membelokkan mobilnya disebuah warung soto pinggir jalan yang nampak ramai.
Pada saat turun dari mobil, Ailane tidak melihat batu yang lumayan cukup besar didepannya, alhasil Ailane jatuh tersungkur. Sean yang terkejut saat melihat Ailane jatuh lantas menghampiri gadis itu.
"Om Sean kok gak nolongin Ailane sih?"
"Maaf Ailane, saya masih membayar parkir disana." Sean menunjuk sebuah tukang parkir diujung jalan seraya membantu Ailane berdiri.
Sean berjongkok, menepuk pundaknya sendiri. "Ayo naik, Ailane."
"Gak mau om, malu." Tolak Ailane. Jika ia mau digendong dengan cara seperti itu, sama saja seperti seorang ayah yang tengah menggendong anaknya. Tapi kakinya juga sepertinya tidak kuat jika ia gunakan berjalan.
"Naik, Ailane." Ulang Sean.
Ailane melingkarkan tangannya ragu pada leher Sean. Sean sepertinya tidak kesulitan menggendong tubuh kecil Ailane. Benar saja, saat mereka berdua memasuki warung, para pengunjung warung langsung melempar tatapan kepada Sean dan Ailane. Karena Ailane malu ditatap seperti itu oleh banyak orang, ia menyembunyikan kepalanya dibelakang leher Sean dan semakin memeluknya erat. Sean hanya tersenyum merasakan hal itu.
"Eh liat deh, bapaknya ganteng banget tapi anaknya udah gede."
"Bukan anaknya kali jeng,"
"Tapi jeng, kalau bukan anaknya kenapa digendong kayak gitu?"
"Mungkin pacarnya kali kalau engga istrinya."
"Malah gak mungkin jeng, itu ceweknya masih seumuran anak saya kayanya masih SMA gitu. Tapi cowoknya kayak udah mapan,"
Ujar segerombolan ibu-ibu yang sepertinya sedang menggelar acara arisan. Setua itukah Sean? Hingga disebut seperti orang tua Ailane? Atau wajah Ailane lah yang masih terlihat seperti anak kecil?
Ailane tertawa mendengar celotehan ibu-ibu yang berada tak jauh dari tempat duduknya. Sean hanya memandangi wajah imut Ailane saat tertawa.
"Denger kan om? Emang Om Sean lebih pantes jadi ayah Ailane-- hahaha." Tawa Ailane belum juga berhenti rupanya.
"Teruskan saja." Ucap Sean sedikit dingin.
Karena ia sudah capek untuk terus menertawakan hal sepele tersebut, Ailane berhenti berbarengan dengan pelayan yang mengantarkan pesanan mereka.
Mata Ailane berbinar melihat semangkuk soto yang tampak sangat lezat. Ia memang sangat menyukai soto sedari dulu, jadi saat Sean membawanya ke warung soto ia sama sekali tidak keberatan.
Ailane bersandar pada sebuah kursi, ia sangat kenyang sekarang.
"Mau nambah?" Tawar Sean.
Ailane melotot, tidak bisakah Sean melihat ia sangat kekenyangan sekarang?
"Ailane kenyang banget om. Kalo Ailane kebanyakan makan terus jadi gendut gimana? Terus kalo gak ada cowok yang suka Ailane gimana? Om mau tanggung jawab?" Cerocos Ailane membalas tawaran singkat dari Sean.
"Tidak masalah, jadi hanya saya yang menyukai kamu." Jawab Sean enteng.
"Emang kalo Ailane gendut, om masih mau gitu sama Ailane?"
"Tentu Ailane. Saya menyukai kamu bukan dari seberapa banyak angka ditimbangan kamu."
Karena kamu mirip dengan Sharena.
Ailane serasa ingin terbang kebulan saat mendengar jawaban Ailane. Sepertinya, Ailane sedikit niat awalnya untuk menghibur Sean. Ia malah jatuh sendiri dengan pesona yang dimiliki oleh Sean.
"Om Sean umur berapa sekarang?"
Sean menarik nafas panjang, haruskah Ailane menanyakan usianya? Seperti Sharena dulu yang juga menanyakan berapa usianya. Ia takut jika Ailane sama seperti Sharena yang kerap kali mempermasalahkan jarak usia diantara keduanya.
"35 tahun,"
"Astaga! Om Sean lebih tua dari bayangan Ailane."
"Bentar, kalo sekarang Ailane umur 21 tahun. Berati kita beda 14 tahun dong om?" Lanjut Ailane.
"Memangnya kenapa?"
"Ya gak kenapa-napa juga si om kita kan juga gak ada hubungan."
Sean tersenyum miring, Ailane mengerti arti senyuman itu, ia rasa ia juga tidak salah berbicara.
"Kamu mengode saya agar segera meresmikan kamu Ailane?"
Ailane mencubit lengan Sean pelan, heran akan laki-laki didepannya itu yang selalu berbicara tanpa ia pikirkan terlebih dahulu.
"Bukan gitu maksud Ailane."
"Lalu seperti apa?"
Ailane seperti kehilangan kata-kata tak tahu akan membalas ucapan Sean seperti apa.
"Gak gitu om pokoknya!"
"Ailane, jika kamu meminta saya untuk meresmikan kamu tadi pagi, mungkin saya bisa. Tapi ini sudah malam, saya yakin KUA saja tidak ada yang masih buka."
Ailane kesal atas jawaban Sean, tapi disisi lain ia juga seneng atas jawaban itu. Benarkah Sean akan melakukan hal itu kepadanya suatu saat nanti?
"Bodoamat deh om, sebahagia om aja."
"Saya juga belum membelikan cincin untuk kamu." Sean ternyata masih ingin melanjutkan topik tersebut.
Ailane memutar bola matanya jengah,
Ia bertingkah seolah menolak Sean, padahal didalam hatinya ia juga sangat menginginkan Sean. Dasar remaja labil!
"Om Sean ihh!"
"Ailane," panggil Sean lembut.
"Apa?!" Ketus Ailane.
"Orang tua kamu sedang berada di rumah?"
"Iya, kenapa?"
"Saya ingin meminta sesuatu kepada mereka, ingin menjadikan anak perempuan mereka menjadi pendamping hidup saya untuk seterusnya."