Painkiller

1272 Words
Sean memijit pelipisnya pelan, bayangan gadis tempo hari masih terekam jelas didalam benaknya. Meskipun sudah lima tahun tak bertemu, Sean masih ingat betul wujud gadis kesayangannya. Sean termenung sambil menikmati secangkir kopi hangatnya, menatap matahari yang sebentar lagi tenggelam. Bayangan cantik Sharena seakan mengalahkan indahnya senja. Kerutan dimata Sean sudah semakin terlihat, lihatlah, Sean laki-laki matang yang sangat mapan. Namun, penyakit hatinya sangat sulit disembuhkan, seakan ada gembok yang tertanam di lubuk hatinya. Tak jarang, banyak media yang memberitakan gosip miring tentang dirinya, mengatakan ia penyuka sesama jenis dan sebagainya. Ia tak mau ambil pusing dengan kabar tak berbobot semacam itu. Louisa calling..... Sean mendengus melihat sebuah nama yang tertera dilayar ponselnya. Louisa, atau wanita yang kerap disapa Lou itu beberapa waktu lalu secara terang-terangan mengungkapkan rasa tertariknya pada Sean, hal itu juga sempat membuat heboh beberapa media. Lou tidak jelek, bahkan sangat cantik untuk kategori wanita Indonesia, mata biru nya yang sangat cerah tak jarang membuat beberapa pria jatuh hati saat menatap nya. Sean menggeser ke tombol hijau pertanda membalas telpon wanita itu. Hallo Sean, kamu lagi dimana? Kantor, kenapa? Aku kesana ya? Terserah Sambungan telepon diputuskan secara sepihak oleh Lou, jujur, semenjak pengakuan Lou kepadanya membuat Sean sedikit terganggu akan hal itu. Ia sudah menganggap Lou teman dekatnya, ia sering menceritakan masalahnya kepada Lou, begitupula sebaliknya. Sebenarnya, pertemuan Lou dan Sean tidak sengaja, saat itu Lou sedang dihadang oleh tiga preman yang ingin melecehkan Lou. Entak bagaimana, Sean datang dan membabi buta memukuli ketiga preman tersebut, alhasil, wajah tampannya menjadi babak belur. Layaknya cerita klise didalam n****+, Lou mengajak Sean kerumahnya, dan mengobati Sean disana. Awalnya mereka teman yang akrab, Lou juga baru beberapa pekan putus dari kekasihnya saat pertama mengenal Sean. Teman-teman yang seumuran dengannya rata-rata sudah memiliki malaikat kecil digendongnya. Tapi Sean? Membuka hati untuk perempuan saja sangat sulit. Untunglah pekerjaan kantor yang sangat banyak mampu mengalihkan sedikit perkiraannya pada masa lalu tersebut. Terdengar suara pintu terbuka, Sean menoleh, Lou berlari kecil kearahnya. Mengalungkan tangannya dengan manja pada leher Sean. Ia melepas perlahan, karena risih dengan tingkah manja Lou. "Kapan kamu mau buka hati buat aku Sean?" Lou sedikit mengeraskan suara, sengaja agar dapat didengar Sean. Hembusan nafas pasrah mengikuti kalimatnya. Sean menoleh kearah Lou sesaat, kemudian mengalihkan pandangannya. "Saya sudah sering bercerita, saya belum bisa melupakan almarhum mantan saya sepenuhnya." Lou terdiam. "Dia dulu masih SMA, gak ada bagusnya Sean." Gerutu Lou tak terima. Tangan Sean terkepal penuh amarah mendengar ucapan Lou. "Setidaknya dia tidak lebih jalang dari kamu." Ucap Sean menohok, baru kali ini ia mengucapkan kalimat kasar pada Lou. Sean membanting pintu meninggalkan Lou yang mematung diruang kerjanya. Ia mencengkram erat kemudi dan membelokkan kearah tempat pemakaman Sharena. Ia masih tak percaya, Tuhan mengambil Sharena secepat itu. Tapi mengingat cobaan hidup Sharena yang begitu banyak, membuktikan bahwa Tuhan tak ingin melihat Sharena tersakiti lebih lama. Seperti biasa, ia tak pernah lupa membawa mawar putih dan diletakkan didepan nisan Sharena. Sharena sendiri sangat tidak menyukai sesuatu yang berbau sad ending, tapi cerita hidupnya jauh lebih sad ending dari n****+-n****+ sad ending yang pernah ia baca. Sean menarik nafas panjang, hendak berdiri dari makam Sharena. "Saya pulang dulu," Ia berjalan kearah dimana mobilnya diparkiran. Mengendarai mobil dengan segala perasaan. Sean sengaja melewati warung soto dimana ia terakhir kali makan bersama Sharena. Sean terlalu naif untuk pria dewasa seusianya. Jika perasaannya sedang tak baik, ia sempatkan mengunjungi tempat-tempat yang pernah ia datangi bersama Sharena, dan yeah hal itu membut hati Sean sedikit membaik. Bahkan, buku diary milik Sharena masih setia menemaninya lima tahun terakhir ini. Karena terlalu banyak melamun, tanpa sadar ada seorang gadis yang hendak menyeberang, alhasil ia membanting kemudi ke segala arah. "Damn it! f**k you!" Tanpa sadar ia mengeluarkan makian yang lumayan kencang, padahal ia sendiri yang salah. Ia keluar dari mobil, berniat mengecek apakah gadis itu baik-baik saja. Saat Sean baru saja menutup pintu mobilnya, gadis itu terlihat menyembunyikan wajahnya dibalik kedua lutut yang ia lipat. Sean menghembuskan nafas, perasaan sedikit bersalah muncul secara tiba-tiba. Ia berjongkok menyamakan gadis itu, "Saya benar-benar tidak sengaja, maafkan saya. Kamu tidak kenapa-kenapa?" Gadis itu menggeleng, kemudian mengangkat kepalanya perlahan-lahan. Sean terdiam, bola matanya hampir keluar saat melihat siapa gadis yang baru saja ia tabrak, ia memegangi jantungnya yang berdetak ribuan kali lebih cepat dari biasanya. "Om?" Gadis itu menggerakkan tangannya beberapa kali tepat didepan muka Sean. Astaga, panggilan itu! Tanpa pikir panjang, Sean membawa tubuh kecil itu kedalam pelukannya. Terlalu erat bagi orang yang pertama kali bertemu, gadis itu berusaha melepaskan rengkuhan Sean, tapi apa daya, tenaganya tidak ada apa-apanya dengan tenaga yang dimiliki Sean. Saat ia menyadari gadis itu hampir kehabisan nafas karena pelukannya, ia melepaskan gadis itu dan memberikan ruang untuk bernafas. Untung saja jalanan ini sangat sepi, karena jarang dilalui pengendara. Plak! Satu tamparan melayang mulus dipipi kanannya, meskipun tidak sakit, tapi mampu membuat Sean sedikit terkejut karena gerakannya yang tiba-tiba. "Ini beneran kamu? Lima tahun saya nunggu kamu Sharena, ini bukan kamu kan? Waktu itu saya ikut menguburkan jenazah kamu Sharena, tolong bilang jika penglihatan saya salah, Sharena." Sean mengungkapkan seluruh isi hatinya saat melihat replika wajah Sharena dihadapannya, Sean yakin, itu adalah gadis tempo hari yang ia temui di cafe. "Tamparan saya kekencengan ya om? Om masih sehat kan?" Tanya gadis itu lugu. Sean belum merespon, ia terdiam, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa penglihatannya tidak nyata. "Om?" "Kamu kemana saja lima tahun ini?" "Ha?" "Kamu sehat? Rambut kamu udah tidak berwarna merah muda lagi? Padahal saya mulai terbiasa melihat warna rambut mencolok kamu itu." Gadis itu semakin bingung saat Sean menghadiahi pertanyaan yang sama sekali tak ia pahami. "Sharena? Kamu masih cinta kan sama saya?" Gadis itu berfikir, jika om-om itu sedang mabuk dan memaksakan untuk mengemudikan mobil. Baiklah, ia tak mau berurusan lebih panjang dengan pria tua dihadapannya. Mengetahui gadis itu berdiri hendak meninggalkannya, Sean menarik lengan gadis itu, alhasil, ia terduduk kembali dihadapan pria tua aneh didepannya. "Om, saya Ailane. Bukan Sharena mantan pacar atau pacar om itu." "Kamu Sharena!" Bantah Sean tegas. Ailene memutar bola matanya jengah, "Gini ya om, didepan ada minimarket, om bisa beli s**u buat ngeredahin mabuk." "Saya tidak mabuk, dan saya tidak pernah salah. Kamu Sharena," Sean mengeluarkan ponsel disaku kemejanya, memperlihatkan sesuatu pada Ailane. Ia memperlihatkan sebuah foto dimana ia sedang merengkuh bahu Sharena mesra. Ailene terkejut saat mengetahui Sharena sangat mirip dengannya. "Saya tidak sedang mabuk," ucap Sean kembali. Saat akal sehat telah menguasai dirinya kembali, ia sadar perbuatannya salah. "Dia mantan tunangan saya, dia meninggal lima tahun yang lalu. Maaf saya tadi bersikap tidak sopan saat melihat kamu." Ailene mengangguk, sedikit menetralkan rasa terkejutnya. "Umur kamu berapa?" "21 tahun," Umur yang sama persis dengan Sharena! Sean memejamkan matanya, menarik nafas panjang kemudian membuka kedua matanya. "Saya Sean. Sean Diwangka lebih tepatnya," ia mengulurkan tangannya ramah. Gadis itu tersenyum ramah, "Shailene Avalee Moner," "Sekali lagi saya minta maaf," "Gapapa om, saya juga ngerti kok gimana rasanya." Hening kembali menyelimuti mereka berdua. "Kamu tinggal disini?" Ailene menunjuk sebuah warung sederhana diseberang jalan, "Itu warung ibu saya om, saya tinggal di gang kecil belakang warung." Sean harus mampir lain hari. Sean menyerahkan kartu nama pada Ailane, "Jika kamu butuh sesuatu, hubungi saya. Saya pergi dulu, maaf telah mengganggu kamu." Ia mengangguk, dari penampilannya saja, Ailane sudah bisa menyimpulkan bahwa Sean adalah pria kaya raya. Tapi tenang, ia bukan perempuan matre yang memanfaatkan kekayaan Sean dengan bermodalkan wajah yang mirip mantan kekasihnya. Ailene tak ambil pusing, ia kembali ke warungnya saat melihat banyak orang berdatangan kesana. Bagi Sean, Ailane layaknya painkiller yang sengaja diturunkan Tuhan untuk mengobati rasa sakitnya akan kepergian Sharena. Haruskah Sean percaya teori reinkarnasi untuk jaman yang penuh dengan teknologi seperti saat ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD