Tidak seperti Egha yang terlihat sangat menikmati perjalanan mereka ke kota Bandung, Rasya justru sebaliknya. Sepanjang perjalanan gadis itu hanya menunduk saja. Hanya sesekali dia mengangkat kepala menanggapi saudara kembarnya yang selalu aktif, atau melihat keluar jendela mobil ketika Egha atau Mama memberitahu ada sesuatu yang menarik. Selebihnya dia terus menundukkan kepala, fokus pada buku di atas pangkuannya.
"Sya, liat itu, deh!" Egha menunjuk pegunungan yang terlihat menghijau di sepanjang jalanan yang mereka lewati.
Daripada melewati jalur udara menggunakan pesawat, Papa lebih memilih menggunakan mobil lewat jalur darat. Memang memakan waktu lebih lama, tetapi mereka bisa menggunakan waktu sekaligus untuk bersantai dan menikmati perjalanan ke luar kota. Lagipula Papa sering sekali berhenti, disebabkan menyetir mobil sendiri. Dengan alasan capek dan sebagainya, Papa menghentikan mobil di sebuah restoran atau kafe. Bisa juga di warung es kelapa di pinggir jalan. Di mana pun tak masalah bagi Egha, selama itu bersama keluarganya dia akan tetap menikmatinya.
"Gunungnya cantik banget kayak gue." Egha tersenyum lebar setelah mengatakan itu. Jari telunjuknya menunjuk hidungnya sendiri.
Rasya hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan saudara kembarnya. Dengan berkata seperti itu, bukankah sama saja Egha dengan memujinya juga? Mereka kembar identik, sama persis, hanya kedua orang tua mereka saja yang dapat membedakan.
"Cantik kayak lo juga, ya, Sya. 'Kan, kita kembar, identik lagi." Egha meringis menyadari kekonyolannya.
"Makasih, Gha," sahut Rasya mengikik geli. "Kamu udah bilang aku cantik."
"Dihhh, gue tadi, 'kan, niatnya mau muji diri gue sendiri. Kok, lo ikutan ngerasa juga, sih?" Egha cemberut. Membuang muka menatap ke luar jendela. Raut wajahnya kembali ceria begitu matanya menangkap bayangan para penjual makanan di pinggir jalan berjejer rapi di sepanjang jalan tol. Egha memutar tubuh kembali menghadap saudara kembarnya. "Kasian mereka, ya, Sya!"
Egha menunjuk sepasang kakak beradik perempuan yang juga berjualan di antara para pedagang dewasa lainnya. Kakak adik itu berjualan buah dan makanan lainnya, duduk di bawah sebuah payung besar yang tampak sudah lusuh. Sungguh, Egha kasian melihat mereka. Di usia yang masih belia mereka rela berjualan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sungguh bahagia menjadi mereka yang serba berkecukupan.
"Papa, berhenti sebentar di sini, Pa!" pinta Egha menepuk bahu Papa pelan.
Bastian segera menepi, menghentikan mobil seperti permintaan Sang Putri. "Kenapa, Gha? Kok, minta Papa berhenti di sini?" tanya Bastian dengan kening berkerut. "Ntar kita semakin tertinggal, lho, sama mobil yang ngangkut barang-barang kita."
Egha tidak menjawab pertanyaan Papa. Dia justru menadahkan tangan meminta uang. "Bagi Egha duit, Pa. Duit Egha udah habis."
"Astaga, ni anak!" Rachel menggeleng pelan. "Kamu mau apa, sih, Sayang?" tanyanya.
Egha tersenyum lebar. "Mau beli buah anak itu, Ma!" Egha menoleh ke belakang, menunjuk kakak beradik penjual buah yang tadi dilihatnya. "Boleh, 'kan, Ma?" tanyanya. "Kasian, lho, mereka. Iya, 'kan, Sya?"
Rasya mengangguk menyetujui perkataan saudara kembarnya. Dia juga kasihan melihat mereka, juga ingin membantu. Namun, untuk meminta Papa berhenti seperti yang dilakukan Egha, dia tidak berani. Dia takut Papa akan marah.
Bastian berdecak, kepalanya menggeleng pelan. Namun, ia menuruti juga permintaan putrinya, mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya, mengambil dua lembar isinya, dan memberikannya kepada Egha.
"Kasih mereka semuanya, Gha," ucap Bastian memberikan uang kertas berwarna merah ke tangan Egha.
Gadis itu menatapnya dengan mata yang berbinar. Egha mengangguk, membuka pintu dan segera keluar dari mobil. Namun, dia segera kembali merasa ada sesuatu yang tertinggal.
"Ayo, Sya!" Egha menarik tangan Rasya, mengajaknya turun dan memberikan uang itu bersama.
Rasya mengangguk. Meletakkan bukunya dan segera turun dari mobil menyusul Egha yang menunggunya di jarak satu meter.
Dengan bergandengan tangan keduanya menghampiri kakak adik penjual buah yang dimaksud Egha. Mengambil beberapa buah dan memberikan uang pemberian Papa kepada mereka.
"Maaf, Kak, tapi nggak ada kembaliannya." Si kakak yang bersuara saat melihat uang berwarna merah yang diberikan Egha. Dia tidak berbohong, kakak kembar yang cantik itu adalah pembeli pertama mereka.
Egha tersenyum manis. "Nggak apa-apa, kok," ucapnya. "Kembaliannya buat kalian aja."
"Tapi, Kak, ini banyak banget." Si Kakak menolak halus. Dia takut menerima uang sebanyak itu, melihatnya juga baru pertama kali ini.
"Dihh,.dikasih tau nggak apa-apa juga." Egha berdecak, sedikit kesal dengan sikap si kakak yang menolak pemberiannya. Dia memahami dengan ketakutan di mata mereka, tapi dia ikhlas memberikannya. "Ini dikasih Papa buat kalian!" Egha menarik tangan si kakak,. meletakkan dua lembar uang berwarna merah di tangannya. "Itu dari Papa." Egha kembali tersenyum lebar.
"Kak, ini banyak banget!" Si kakak memandang kagum pada uang di tangannya. Sungguh, dia tidak menyangka kalau akan mendapatkan uang yang banyak hari ini dengan nominal sebanyak ini, dia dan adiknya bisa makan beberapa hari. Mereka tidak akan kelaparan lagi.
Egha melongo mendengar kata banyak yang diucapkan Si Kakak. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan uang lembar uang itu banyak? Sementara bagi dirinya itu masih kurang, tidak cukup untuk satu minggu. Dua lembar uang itu hanya cukup untuk dua hari.
"Makasih banyak, Kak," ucap si Kakak mengambil tangan Egha dan menciumnya. Dia juga melakukan hal yang sama pada Rasya.
Si Adik yang menurut penilaian Egha baru berusia kira-kira lima tahun, mengikuti kakaknya mencium tangannya dan tangan Rasya.
"Makasih, Kakak," ucap Si Adik dengan suara cadel khas balitanya.
Egha kembali menyunggingkan senyum lebar. Mencubit gemas pipi Si Adik yang cukup berisi. "Sama-sama," ucapnya sambil mengusap pipi yang tadi dicubitnya.
"Gha, kita pergi sekarang, yuk!" ajak Rasya. "Ntar makin telat, lho, kita sampainya."
Egha mengangguk. Kembali menoleh kepada kakak beradik di depan mereka. "Aku permisi dulu, ya," pamit Egha. "Sampai nanti!"
Egha melambai, berbalik dan segera kembali memasuki mobil menyusul Rasya yang sudah lebih dulu berada di dalam mobil. Egha membuka kaca jendela mobil, kembali melambai kepada kedua gadis penjual buah.
Rachel menatap Bastian dan tersenyum lembut. Egha lebih mirip dengan Sang Suami daripada dengannya yang lebih pendiam. Rasya yang menuruni sifatnya. Suka membaca dan lembut. Sementara Egha sangat menyukai petualangan, persis Bastian. Egha juga selalu menanggapi semuanya dengan santai dan penuh keceriaan.
"Seneng banget yang baru beli buah." Rachel menoleh ke belakang, menatap kedua putrinya bergantian. "Gimana tadi?" tanyanya.
"Masa mereka bilang duit dua ratus ribu banyak, Ma?" Egha balas bertanya. "Kan, itu jajan egha sama Rasya buat dua hari, ya?"
Rachel tersenyum penuh pengertian. Egha memang suka berpetualang dan mencoba hal-hal baru. Namun, Egha tidak pernah merasakan kekurangan. Tidak seperti kedua orang anak yang tadi berjualan buah.
"Kebutuhan orang itu beda-beda, Nak. Kita nggak tau apa yang mereka perlukan, apakah sama dengan kebutuhan kita atau tidak." Rachel menjelaskan. Kedua putrinya sudah SMA tapi masih kurang mengerti dengan semua itu. Heran. "Kayak yang kalian nggak pernah belajar aja di sekolah."
"Diajarin, kok, Ma, tapi Egha lupa." Egha yang menjawab dengan tangan mengusap tengkuk.
"Ya, lupa lah kalo kamu yang dipikirin cuman jalan doang sama teman-teman satu geng," sindir Bastian pedas. Tidak peduli di mana dan sedang bicara dengan siapa, ia selalu seperti ini. Selalu menyindir dan berbicara pedas. "Sekarang nggak jasa ketemu lagi, 'kan, jadinya?"
Egha mencibir, membuang muka menghindari tatapan Papa yang mengejeknya.
"Biarin!" sahut Egha lamat-lamat. "Ntar Egha juga bakalan dapat teman baru lagi, bisa bentuk geng baru lagi."
Bastian menggeleng pelan. Dugaannya benar, Egha pasti akan menjawab seperti itu. Itu adalah hal yang memudahkan mereka untuk dikenali. Meski kembar identik dan sama persis, tapi sifat si kembar begitu berbeda satu sama lain. Egha lebih suka aktivitas di luar ruangan dan lebih aktif, sementara Rasya lebih menyukai beraktivitas di dalam rumah. Rasya bisa berjam-jam berada di kamarnya tanpa menengok keadaan di luar. Dia sangat suka membaca. Rasya tidak akan bisa diganggu bila sudah bersama bukunya.
Perjalanan mereka terus diwarnai dengan celotehan Egha yang selalu bercerita segala macam hal yang ditemuinya di jalan. Kalau tidak bercerita Egha akan bertanya, entah kepada Mama atau kepada Papa. Yang pasti kepada siapa saja yang mau menjawab pertanyaannya.
Pukul sepuluh malam mereka tiba di kediaman baru mereka. Rachel membangunkan kedua putri kembarnya, sementara Bastian mengawasi para pegawai jasa pindah rumah yang mereka sewa, menurunkan barang-barang bawaan mereka. Tidak banyak, mereka hanya membawa barang-barang penting dan berharga saja. Mereka tidak membawa perabotan karena rumah ini sudah terisi lengkap. Sebelum pindah ke sini, Rachel dan Bastian sudah beberapa kali mengunjungi rumah ini dan membeli perabotan untuk mengisinya.
Egha yang bangun lebih dulu. Matanya langsung terbuka lebar mendengar apa yang dikatakan Mama kalau mereka sudah tiba di Bandung, tepatnya di rumah baru mereka. Rasa kantuknya seketika lenyap melihat rumah besar di depannya. Tanpa menunggu Rasya terbangun juga, Egha langsung turun dari mobil dan mendahului memasuki rumah. Menaiki tangga tergesa untuk memeriksa keadaan kamar mereka. Egha memekik tertahan, kamar ini begitu persis dengan kamarnya waktu mereka di Surabaya. Mulai dari hiasan dinding, wallpaper, sampai letak tempat tidur dan lemari. Egha terperangah kagum. Ini sangat hebat baginya. Cepat Egha keluar kamar, menuruni tangga untuk menemui Rasya yang ternyata tengah duduk di sofa di ruang tengah.
"Sya, lo harus liat ini?" Egha menarik tangan Rasya, memintanya untuk bangun dan mengikutinya menaiki tangga. "Kamar kita keren banget!"
Rachel dan Bastian hanya menggeleng pelan melihat kelakuan Egha. Putri keduanya itu terlalu aktif, begitu berbeda dengan kakak kembarnya yang lebih kalem.
"Egha mirip banget sama kamu, Pa." Rachel menggeleng pelan. "Terlalu bersemangat."
Bastian tidak menanggapi. Ia terlalu lelah, yang diinginkannya saat ini adalah berbaring dan beristirahat. Namun,.para pekerja yang masih belum selesai menurunkan barang membuatnya belum bisa melakukan itu. Ia harus menunggu beberapa saat lagi sampai semua barangnya selesai diturunkan baru bisa beristirahat.
Berbeda dengan si kembar yang begitu mengagumi dekorasi kamar mereka yang dinilai sangat sempurna. Sama seperti Egha, Rasya juga terpesona pada keadaan kamarnya yang sama persis dengan kamar mereka sewaktu masih di Surabaya.
"Nggak nyangka kamarnya mirip banget sama kamar kita di Surabaya!" Rasya memekik kagum. "Kalo kayak gini aku pasti betah di kamar."
Egha melongo mendengar perkataan Rasya. Betah di kamar? Apa-apaan itu?.Bukankah seharusnya Rasya berkata betah di Bandung? Ada-ada saja, dasar Rasya kurang pergaulan. Egha selalu berkata seperi itu mengenai saudara kembarnya. Bukan karena dia ingin membully Rasya, tetapi dia hanya ingin kakaknya lebih bergaul dan mengenal dunia luar yang jauh lebih indah dari kamar mereka.
"Betah, sih, di kamar." Egha bersungut, melangkah menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan kaki. Dia tidak terbiasa tidur dengan wajah kotor.
Rasya menyusul Egha ke kamar mandi, dia juga ingin mencuci muka. Sebagai anak kembar mereka memiliki beberapa kebiasaan yang sama. Seperti mencuci muka sebelum tidur, juga mencuci kaki. Satu lagi, mereka juga selalu mengenakan piyama yang sama saat pergi tidur, tidak ada yang membedakan kecuali warna.
"Kasurnya juga sama empuknya." Rasya menepuk-nepuk tempat tidurnya sebelum berbaring. Memeluk boneka kesayangan dan memejamkan mata. Namun, suara Egha membuat matanya kembali terbuka. Padahal dia berniat akan melanjutkan tidur. "Apaan, sih, Gha? Aku mau tidur lagi, masih ngantuk." Rasya menguap.
Egha berdecak. "Jangan tidur dulu, dong, Sya!" pintanya dengan bibir mengerucut. "Kita baru sampe di sini masa lo mau langsung tidur aja. Nggak seru banget, sih!"
"Emang kamu mau apa?" tanya Rasya sambil lalu. Matanya setengah terpejam. "Nggak besok aja, ya?"
"Astaga, Rasya! Asli lo nggak keren banget!" Egha berdecak. "Kalo besok mah lain lagi acaranya."
Mata Rasya yang setengah terpejam sekarang sudah terpejam tapi tidak rapat. Dia juga masih bisa mendengar suara Egha walau tidak jelas. Suara itu berdengung seperti suara sekumpulan lebah.
"Kita liat-liat rumah dulu, Sya, baru lo tidur!" Kesal, Egha melemparkan satu bantalnya ke arah Rasya, dan tepat mengenai wajah kakak kembarnya itu. Egha tergelak, apalagi melihat Rasya yang tergagap. Gadis itu bangun dengan cepat karena mengira ada sesuatu. "Rasain!" sungut Egha masih tertawa walau tak sekeras tadi. "Siapa suruh ninggalin gue tidur duluan!" Egha menjulurkan lidah mengejek saudara kembarnya.
Rasya memutar bola mata kesal. Sungguh, malam ini Egha sukses besar mengganggunya. Rasya berdecak, dia heran. Apakah Egha tidak merasakan lelah? Padahal mereka sudah dua belas jam lebih di perjalanan tapi Egha tetap bersemangat. Adik kembarnya seperti sebuah robot yang tidak pernah habis tenaganya, selalu memiliki cadangan.
"Aku capek, Gha, mau tidur." Rasya mengerang kesal. "Emang kamu nggak capek apa?" tanyanya.
Egha memiringkan kepala, dahinya berkerut, mengetuk-ngetuk pelipis menggunakan jari telunjuk. Dia tengah berpikir.
Rasya mengembuskan napas lelah melalui mulut. Kembali berbaring dengan kasar.
"Nggak, tuh, Sya!" jawab Egha menggeleng pelan.
Rasya memukul dahinya pelan. Mengerang tertahan dalam hati. Bukan karena sakit tetapi karena mendengar jawaban Egha. Astaga! Bagaimana mungkin Egha tidak merasa lelah? Dia saja sangat merasa kelelahan, seluruh tubuhnya sakit seperti habis dipukuli orang sekampung.
"Aku nggak capek, cuman ngantuk doang."
Egha menguap, berbaring setelahnya, dan memejamkan mata. Beberapa detik kemudian terdengar dengkuran halus dari mulutnya. Egha sudah tertidur, meninggalkan Rasya yang kini memeluk boneka Hello Kitty-nya dengan dongkol. Dia mengantuk, tapi tidak bisa tidur lagi. Rasya menangis dalam hati.