SMA Cakrawala adalah salah satu sekolah menengah favorit di Bandung. Bukan hanya karena para siswanya memiliki otak yang cerdas, tetapi juga kebanyakan dari kalangan orang berada. Beberapa dari mereka ada anak pejabat pula, ditambah sekolah ini sering memenangkan lomba cerdas cermat se-Jawa Barat. Merupakan sebuah kebanggan tersendiri bagi pelajar sekolah bisa menjadi salah satu siswa di sekolah itu.
Egha melangkahkan kaki dengan semangat. Dia bangun lebih pagi dari biasanya, langsung mandi, dan merapikan tempat tidur. Untuk memastikan penampilannya tidak mengecewakan, sekali lagi dia mematut dirinya di depan cermin. Senyum manisnya kembali merekah setelah yakin penampilannya sudah sempurna. Tak ada yang aneh jika soal dandanan, dia bukan seseorang yang suka berdandan berlebihan. Sapuan bedak bayi tipis tampa embel-embel foundation atau semacamnya, dan tanpa pewarna bibir Bibirnya sudah berwarna merah muda alami, tak perlu pewarna lagi.
Sebenarnya Rasya sama dengannya, hanya saja karena Rasya lebih terlalu kegadis-gadisan dan pemalu, sementara dirinya lebih tomboy dan ceplas-ceplos, jadilah Rasya menyembunyikan semuanya di balik riasan wajah yang sedikit lebih tebal. Kurangnya rasa percaya diri yang dimilikinya membuatnya bersembunyi di balik riasan wajah. Rasya mengenakan foundation, juga alat-alat makeup lainnya sehingga wajah mereka terlihat sedikit berbeda.
Seperti halnya di sekolah asal, di sekolah barunya pun mereka diletakkan di kelas yang berbeda. Rasya mencoba untuk protes, tapi suaranya tak mampu keluar Hanya tatapannya saja yang memelas pada orang tuanya yang mengantarkan mereka untuk bertemu kepala sekolah.
"Tenang, Sya!" Egha merangkul bahu kakak kembarannya. "Lo kasih tau aja kelas lo, biar nanti biar yang nyamperin lo ke sana."
Kata-kata Egha tidak membuat Rasya lega, dia justru semakin khawatir. Adik kembarnya sepertinya tidak keberatan dengan perkataan Kepala Sekolah.
"Kamu mau kita nggak sekelas?" Rasya bertanya mencicit. Tak ingin ada yang mendengar suaranya selain Egha. Dia menggigit bibirnya setelah mengatakan itu.
"Emangnya kita pernah satu kelas?" Egha balas bertanya. Dia tertawa kecil, tanpa menutupi mulutnya seperti yang biasa dilakukan Rasya. "Seingat gue, nggak pernah." Dia mengedikkan bahu, menyandarkan punggung dengan santai pada sandaran sofa yang mereka duduki.
Sekarang baru pukul delapan pagi. Bel masuk terdengar berbunyi, memanggil seluruh siswa untuk segera menuju kelas mereka masing-masing karena pelajaran pertama akan segera dimulai. Egha berdiri, dia sangat bersemangat, tak sabar untuk bertemu dengan teman-teman baru di sekolah barunya.
Berbeda dengan Rasya yang semakin menundukkan kepala. Dia khawatir jika di kelasnya yang baru dia tidak mendapatkan teman. Jujur saja, dia malu jika harus menyapa mereka lebih dulu.
"Ayo, kita ke kelas kalian!" Kepala Sekolah menghampiri si kembar, menepuk bahu keduanya dengan lembut bersamaan, lantas berjalan mendahului keluar ruangannya.
Mereka melewati beberapa ruang kelas sebelum menaiki tangga. Kelas sebelas berada di lantai dua, mereka harus menaiki tangga untuk bisa sampai di sana. Di sudut sebelah kanan mereka, Egha melihat ada pintu tertutup yang terbuat dari besi atau semacamnya. Hanya sekali lihat saja dia tahu jika itu adalah pintu lift. Egha sekali lagi melirik ke arah sana, dalam hati mengagumi sekolah barunya yang memiliki fasilitas lebih lengkap dari sekolah lamanya di Surabaya.
"Ini kelas Regha!" Kepala Sekolah berhenti di depan sebuah kelas dengan pintu yang tertutup.
Egha meringis mendengar kepala sekolah memanggilnya. Dia tak terbiasa dengan nama itu.
"Ayo, kita masuk!"
Sementara kepala sekolah mengetuk pintu, Egha memasang indra pendengarnya baik-baik. Sebelah alisnya terangkat, dia tak mendengar suara apa pun dari dalam kelas. Hening.
Seorang pria berkacamata membuka pintu dari dalam. Pria itu sepertinya guru yang sedang mengajar. Ia sedikit membungkukkan badannya yang tegap melihat kepala sekolah berdiri di depan pintu yang dibukanya, kemudian mengangguk sekilas setelah menatap orang-orang yang bersama kepala sekolah.
Pria berkacamata itu melebarkan pintu, ia membuka kedua daun pintu, kemudian mempersilakan semua tamunya masuk.
"Maaf menggangu kegiatan belajar kalian pagi ini!" Kepala Sekolah berseru setelah berdeham satu kali. Tatapannya lurus kepada para siswa yang tengah memperhatikan ke arahnya.
Entahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja karena dilihatnya sekarang beberapa siswa tengah berbisik-bisik dengan teman sebangkunya. Tak perlu berada di dekat mereka untuk mengetahui topik obrolan para siswa itu. Mereka pasti sedang membicarakan para tamu yang dibawanya.
"Seperti yang kalian lihat, Bapak bersama dua orang siswa baru yang akan menjadi teman kalian." Kepala sekolah melanjutkan perkataannya. "Salah satu dari mereka akan menjadi penghuni kelas ini, Bapak harap kalian mau menerima dan berteman dengannya tanpa ada alasan apa pun!"
Kelas kembali hening seketika. Para siswa yang tadi terlihat saling berbisik, memperbaiki duduk mereka dan menatap lurus ke depan. Ada beberapa orang siswa tersebut yang menarik perhatian Egha, salah satunya adalah pemuda berambut pirang yang duduk di deretan bangku nomor tiga dari depan, baris ketiga dari pintu.
Dari semua siswa di kelas ini, hanya pemuda itu yang tidak memperhatikan mereka. Ia menundukkan kepala, sepertinya tengah mencorat-coret buku pelajaran atau buku tulisnya. Bisa juga pemuda itu sedang mencoret meja, seperti yang dilakukannya dulu jika sedang bosan.
Wajah pemuda itu tidak terlihat dengan jelas karena kepalanya yang menunduk. Semakin membuat Egha penasaran saja untuk berteman dengannya.
"Regha!"
Egha berjengit mendengar namanya disebut dengan sedikit keras. Cepat dia menatap Kepala Sekolah yang tengah menatapnya, kemudian mengangguk sebagai tanggapan.
"Seperti yang Bapak bilang sama kamu tadi, ini adalah kelas kamu," kata kepala sekolah dengan nada yang lebih lembut.
Egha kembali mengangguk, kali ini dengan penuh semangat.
"Ke sini!" Kepala Sekolah meminta Egha mendekat.
Dengan semangat empat lima Egha menurutinya. Dalam dua detik gadis itu sudah berdiri di samping kepala sekolah yang bertubuh sedikit tambun dengan perut menonjol ke depan.
"Kamu bisa menyapa teman-teman kamu sekarang!" Kepala Sekolah mengangguk mempersilakan.
Egha menarik napas panjang, menyimpannya di paru-paru. "Halo, salam kenal, Teman-teman semua. Kenalkan, namaku Regha Isabella Segara, panggil aja Egha!" serunya lantang bersamaan dengan embusan napas yang tadi sempat ditahannya.
Berbagai sambutan dari teman-teman sekelasnya yang baru membuat senyum Egha merekah sempurna. Dia melambaikan tangan, membalas lambaian tangan beberapa siswa yang ditujukan padanya.
"Regha, kamu bisa duduk di sana, di sebelah Ken!"
Egha mengikuti arah yang ditunjuk kepala sekolah, dan terkejut karena tempat itu di sebelah pemuda berambut pirang yang tadi. Jadi, nama pemuda itu Ken. Egha tersenyum dalam hati. Sepertinya dia akan mendapatkan teman baru seorang laki-laki terlebih dahulu.
"Kensin Scholandvan, bisa kamu tunjuk tangan?" tanya kepala sekolah meminta.
Pemuda berambut pirang itu mengangkat tangannya. Dari gerakannya yang lambat, sangat terlihat jika dia melakukannya dengan terpaksa. Ternyata, pemuda itu tipe pembangkang, sama sepertinya. Senyuman Egha semakin lebar —di dalam hati, dia yakin mereka akan menjadi sahabat.
"Regha, itu tempat duduk kamu di sebelah Kensin." Kepala Sekolah memberi tahu. "Kamu bisa duduk di sana!" Ia menunjuk bangku kosong yang terletak di sebelah bangku yang diduduki siswa laki-laki berambut pirang tersebut.
Egha mengangguk. Sebelum melangkahkan kaki ke tempat duduknya, dia menoleh pada Rasya yang sejak tadi terus menundukkan kepala. Egha mengulirkan tangan, menggenggam tangan kakak kembarnya, memberinya semangat dan kekuatan melalui genggaman itu.
"Sya, gue duluan, ya," ucap Egha, lantas melepaskan genggaman tangannya dan melangkah ke arah yang tadi ditunjuk kepala sekolah.
Sebelum duduk, Egha melirik Ken dan mencoba tersenyum padanya. Sayangnya, pemuda itu mengacuhkannya dengan membuang muka.
Sabar, Gha, ini hari pertama lo. Masih banyak waktu buat temenan sama dia, juga yang lainnya.
Egha duduk di bangkunya, melambaikan tangan pada Rasya yang melangkah keluar kelasnya.