Nabila kembali ke kantor sendirian. Saat kembali, ia merasa langkah kakinya sangat berat sekali. Rangga menyuruhnya kembali terlebih dulu karena Rangga masih tertinggal di ruang pak direktur.
"Nabila, kamu bisa kembali lebih dulu, aku akan menjelaskan konsepnya pada Tyas. Aku juga masih harus rapat dengan para supervisor tentang konsep ini."
Begitulah kata Rangga tadi. Nabila menerima perintah Rangga. Ia segera pergi dari ruangan pak direktur. Sebelum pergi, tentu saja Nabila berpamitan dengan sopan pada pak direktur dan Tyas.
Di satu sisi, Nabila merasa lega. Ia dapat melarikan diri dari suasana yang sangat membuatnya risih tadi. Ia juga merasa kesal bercampur sedih karena merasa dituduh menjadi seorang penjahat yang menculik seseorang. Atau seperti manusia pengganggu hubungan orang lain.
Namun, jauh di dalam hati kecilnya, ia memberitahukan bahwa hatinya penuh dengan kecamuk. Ia penasaran seperti orang gila tentang hubungan Rangga dan Tyas. Di mana seharusnya itu menjadi tidak penting baginya.
Kenapa dengan dirinya? Ia juga merasa hatinya tidak karuan saat ini. Nabila tidak bisa menjelaskan perasaannya.
Jika ia mau jujur pada hatinya sendiri, ia memang mulai menyukai Rangga. Awalnya ia hanya berpikir bahwa Rangga adalah seorang yang membantu kehidupan ekonominya. Karena Rangga, ia tidak akan bisa sampai di titik ini.
Tanpa ijasah sarjananya yang tanpa sengaja masih tertahan di mantan suaminya, tidak mungkin saat ini Nabila bisa berada di posisi ini dalam suatu perusahaan. Rangga berjasa sangat besar dalam hidupnya.
Berkat Rangga, ia bisa melunasi tunggakan kos-nya selama tiga bulan itu.
Awalnya Nabila hanya berpikir bahwa Rangga adalah orang yang sangat baik yang menolongnya. Namun, setelah lama bersama, Rangga mulai mengetuk pintu hatinya. Terlepas dari sifatnya yang sangat peduli, Nabila memang merasakan ada suatu perasaan yang muncul dan tidak bisa dijelaskannya saat bersama Rangga. Nabila, selalu merasa bahagia jika bersama dengan Rangga.
Nabila merasa Rangga adalah orang yang sangat baik. Rangga banyak sekali memotivasinya dalam keterpurukan masa lalu bersama mantan suaminya. Juga selalu memberi dukungan jika Nabila mulai merasa berat dalam menjalani kehidupannya.
Hal yang paling berkesan adalah ketika Rangga juga peduli pada Vano, yang bukan merupakan siapa-siapa baginya. Rangga membuat percaya dirinya sebagai seorang single mom yang sempat turun, bisa kembali seperti semula. Namun hari ini, ia merasa semua kebahagiaan itu berlalu begitu saja. Hilang dengan begitu cepatnya.
"Ah... Apa yang sedang aku pikirkan?" gumamnya dengan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Tidak. Nabila tidak boleh sedih hanya karena hal seperti ini. Nabila harus sadar, dirinya bukan siapa-siapa. Nabila hanyalah seorang yang tak perlu dihiraukan sama sekali.
Selama ini Rangga begitu baik padanya karena Rangga menganggapnya sebagai teman. Tidak lebih. Nabila harus lari dari perasaannya.
Belum lagi kalimat Tyas yang menyatakan bahwa dirinya adalah perebut Rangga dari Tyas. Itu sangat mengganggu pikirannya. Mau tidak mau, ia harus berusaha mengacuhkannya.
Nabila harus fokus pada tujuan awalnya. Ia akan berjuang untuk anaknya. Nabila juga masih harus melunasi semua hutang mantan suaminya atas namanya.
Ya, Nabila akan menganggap Rangga sebagai rekan kerja yang sangat baik. Suatu saat, Nabila pasti akan membalas budi baik Rangga. Itu yang bisa terpikirkannya saat ini, agar ia bisa melanjutkan kerjanya.
***
"Ada apa denganmu Yas?" tanya Rangga pada Tyas dengan nada lembut.
Tuas dan Rangga saat ini, sedang berada si kantor produksi. Mereka baru saja berjalan keluar dari ruangan papa Tyas. Rencananya setelah ini, Rangga akan melakukan rapat pada para supervisor lapang soal konsep Rangga untuk menghadapi audit nanti.
"Apa maksudmu?" Tyas justru balik bertanya pada Rangga.
"Yang kamu bicarakan pada papamu tadi," jawab Rangga.
"Yang mana? Aku mengajakmu makan malam? Apa salahnya? Bukankah biasanya seperti itu?" ungkap Tyas.
"Kenapa kamu tiba-tiba ingin mengajakku dan ibuku makan malam?" Rangga justru balik bertanya.
"Memangnya ada masalah? Aku lihat kamu juga tidak terlalu sibuk akhir-akhir ini." Tyas berbalik membelakangi Rangga.
"Aku bahkan melihatmu pulang bersama Nabila kemarin sore," gumam Tyas agak pelan dengan nada kesal. Ia mendumel dengan menyedekapkan kedua tangannya.
Tapi Rangga bisa mendengarnya.
"Jadi karena Nabila?" Rangga membalik pertanyaannya.
Tyas berbalik kembali, melihat ke arah Rangga. Sejujurnya, Tyas memang mengatakan seperti itu karena Nabila alasannya. Tyas ingin membuat perhitungan dengan Nabila. Tyas tidak menjawab. Tapi, ia memang mengakuinya.
"Karena kamu ingin menunjukkan pada Nabila jika kita dekat? Keluarga kita saling kenal?" tanya Rangga pada Tyas untuk memastikan.
"Kenapa kamu mengelaknya? Kita memang dekat bukan?!" ujar Tyas dengan kesal.
Tyas tidak sadar meninggikan nada bicaranya. Rangga menundukkan kepalanya. Ia menghela nafasnya sambil menutup matanya.
"Kamu tidak perlu memamerkannya di depan Nabila kan?"
kata Rangga yang masih bisa bersabar.
"Aku tidak ingin Nabila mengambilmu dariku!" seru Tyas semakin kesal.
Rangga terdiam menatap ke arah Tyas yang sepertinya penuh dengan kemarahan itu. Ia lalu mengalihkan pandangannya dari Tyas. Kali ini ia berusaha keras mencoba lebih tenang.
"Yas," ucap Rangga dengan kembali menolehkan wajahnya ke arah Tyas. "Kamu tidak akan kehilangan siapa-siapa. Sampai kapanpun, aku tetap akan menjadi sahabatmu," ujar Rangga lembut.
"Bohong!” teriak Tyas tiba-tiba.
Membuat Rangga terkejut melihatnya. Ia menatap ke arah Tyas dengan tatapan bingung. Tidak menduga ekspresi Tyas akan seperti itu.
"Nyatanya kamu lebih banyak menghabiskan waktumu dengan Nabila!" kata Tyas yang mengungkapkan kekesalannya.
Suaranya tergetar hampir menangis, sangking menahan kesalnya. Kemudian, Tyas memalingkan wajahnya dari Rangga. Mereka lalu terdiam beberapa saat.
Rangga bingung menghadapi seorang perempuan yang terbawa perasaan seperti ini. Mungkin, Tyas hanya salah mengartikan kebaikan Rangga selama ini. Apalagi yang bisa diperbuatnya selain mengalah?
"Yas, aku minta maaf jika mungkin sebagai teman aku berbuat buruk padamu. Nanti malam aku akan mengajak ibuku untuk memenuhi undangan makan malam itu," ujar Rangga.
Rangga mencoba mengontrol dirinya. Ia tidak boleh terpancing emosi yang berlebihan saat menghadapi Tyas. Karena Rangga tahu apa akibatnya.
"Benarkah?" tanya Tyas yang mulai mereda dan menghadap ke arah Rangga lagi. Tyas juga menyeka air matanya sebentar.
"Iya." Rangga menganggukkan kepalanya. "Aku janji. Aku benar-benar akan datang nanti malam," kata Rangga lagi.
Tyas akhirnya bisa tersenyum. Seketika ia menghambur memeluk Rangga. Rangga terkejut dengan sikap Tyas.
"Ya. Berjanjilah akan datang malam ini," kata Tyas dengan nada manja. Ia masih tidak melepaskan pelukannya dari Rangga.
"Dan berjanjilah jika kamu akan lebih banyak waktu untukku." Kembali lagi Tyas masih bernada sama.
"Ba... Baiklah." Rangga melepaskan dirinya dari pelukan Tyas.
Rangga masih serba salah, ia hanya meng-iyakan sesuatu yang belum tentu bisa ia lakukan. Hanya berusaha agar Tyas bisa melepaskannya. Rangga berjalan mundur satu langkah agak menjauh dari Tyas.
"Ee... Ini masih jam kerja. Ayo kita mengerjakan tugas. Kita masih harus mengadakan rapat untuk para supervisor tentang konsepnya," ujar Rangga kemudian.
Tyas hanya mengangguk tanda setuju. Tyas merasa masih ada saja harapan bagi dirinya agar Rangga bisa kembali padanya. Tyas tidak akan menyerah hanya karena Rangga pernah bilang bahwa Rangga menyukai Nabila. Tyas akan tetap berusaha agar Rangga hanya menjadi miliknya seorang.