Nabila's Strange Attitude

1131 Words
Hari-hari kerja dimulai tak jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Ruangan yang pengap, bau anyir dari tumpukan limbah dan lantai terbuat dari semen yang bercampur sedikit air. Pagi ini Nabila datang sedikit terlambat. Setelah memakai baju kerja yang digunakan untuk proses produksi, termasuk masker dan penutup kepala, Nabila segera mengambil peralatan sanitasinya. Datang terlambat membuatnya tidak bisa memilih sepatu boot. Sialnya, sepatu boot yang dikenakan oleh ratusan karyawan dengan pencucian hanya satu bulan sekali itu, membuat kulit kaki jadi gatal-gatal. Belum lagi ditambah jika di dalamnya tercampur air yang masuk. Becekan itu menyebabkan pertumbuhan jamur candida, yang sering menyerang kulit kebanyakan. Mau tidak mau, ini harus bertahan sampai delapan jam ke depan. Setidaknya bisa dilepas saat istirahat siang. Apa boleh buat? Memang beginilah cara ia harus beradaptasi di lingkungan barunya saat ini. “Permisi?” Suara seorang laki-laki, sepertinya sedang memanggil Nabila. Nabila melihat ke arah suara itu untuk memastikannya. Memang benar, laki-laki yang tiba-tiba muncul itu, ingin berbicara padanya. “Iya?” balas Nabila. “Kamu, dipanggil pak Rangga di kantor produksi,” lanjutnya menyampaikan pesan dari manajer produksi. “Aku?” Nabila menunjuk batang hidungnya dengan sedikit membelalakkan matanya. “Kamu, anak baru di sanitasi kan?” tanya laki-laki tadi. “Tadi, pak Rangga menyuruh untuk memanggil anak baru di sanitasi. Itu saja,” jelasnya. Seolah tak percaya kenapa harus dipanggil lagi. Kali ini, manajer produksi langsung yang memanggilnya. Ia sudah memastikan melakukan perintah dari Tyas kemarin. Tapi, kenapa Nabila harus berhadapan dengan manajer produksi langsung? Pikirnya. Nabila meletakkan peralatan sanitasinya di pojok agar tidak mengganggu karyawan lain. Kemudian, ia berjalan ke arah kantor produksi dengan langkah gugup. Ada masalah apa lagi baginya? Ia memang karyawan baru, tapi ia tak menyangka jika harus beradaptasi sedemikian rupa. Nabila sampai di depan kantor produksi dan melepas boot-nya. Ia masuk dan mendapati laki-laki tampan yang kemarin, berdiri di dalam ruangan kantor produksi dengan membawa satu buku yang dibuka dan diamatinya. Wajahnya nampak serius mengamati buku tersebut. Nabila semakin gugup. Kenapa seorang manajer produksi harus memanggilnya? Setahu Nabila, manajer produksi hanya berurusan dengan para supervisor. Atau paling banter, hanya dengan ketua-ketua kelompok masing-masing divisi. Nabila hanyalah karyawan bawahan. Ia tahu kabar-kabar dari karyawan lain bahwa pak Rangga ini, adalah orang yang jarang berkomunikasi dengan karyawan dan tegas saat bekerja. Nabila mengetuk pintu kantor produksi beberapa kali. Rangga yang menyadarinya, menutup buku yang dipegangnya. “Masuklah,” kata Rangga singkat, sembari duduk di kursi yang ada di dalam kantor produksi. Nabila hanya mengangguk memenuhi perintahnya dan masuk ke dalam. “Duduklah.” Lagi, perintah singkat Rangga, dengan menunjuk satu kursi yang berhadapan dengannya yang terpisah oleh sebuah meja. Nabila menuruti perintahnya lagi tanpa bersuara apapun. Ia sedikit tegang, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi ini. “Apa kamu yang kemarin dipanggil Tyas?” “Iya pak,” jawab Nabila sedikit terkaguk karena takut. “Saya, sudah melakukan apa yang diperintah mbak Tyas.” Nabila terburu menjelaskan untuk melakukan pembelaan jika saja dirinya masih ditanya hal serupa kemarin. Rangga nampak terdiam dan terus mengamatinya. “Sudah berapa lama kamu di sini?” tanya Rangga kembali dengan singkat. Nabila memutar bola matanya, mengingat saat dirinya baru pertama kali masuk ke pabrik udang ini. “Mungkin, sekitar satu bulan pak.” Setelah berhasil mengingatnya. “Apa kamu pernah bekerja di perusahaan beku udang sebelumnya?” tanya Rangga kembali. Mata Nabila hanya sedikit melebar, tanda terkejut. Rangga tidak dapat melihat ekspresi wajah keseluruhan Nabila karena tertutup rapat oleh masker. Ia hanya dapat melihat matanya. Namun, Rangga bisa menebak jika pertanyaannya barusan itu, membuat ekspresi Nabila menjadi tidak biasa. Nabila lalu kembali memutar bola matanya cepat. “Iya pak,” jawab Nabila ragu. Rangga memberikan ekspresi wajah penuh pertanyaan. "Sebagai apa kamu bekerja di sana?” tanya Rangga lagi. Nabila kembali ragu menjawabnya. Ia melilit dan meremas bajunya dengan tangannya pelan. Pandangan Rangga semakin curiga melihat bahasa tubuh Nabila. Lagipula, kenapa Nabila tidak dapat langsung menjawabnya? Rangga dapat merasakan ada keanehan pada perempuan ini. “Saya, hanya karyawan biasa pak.” Setelah beberapa detik. Alis Rangga berkerut. Itu tidak menjawab pertanyaannya. “Ya. Karyawan apa?” Rangga tak puas dengan jawaban Nabila. “Banyak sekali jenis karyawan yang bekerja,” ujar Rangga. Nabila kembali terdiam dan tidak segera menjawab pertanyaan yang amat mudah dari Rangga itu. “Kupas pak,” jawab Nabila dengan nada penuh keraguan. Rangga masih mengamatinya. Sedangkan, Nabila yang salah tingkah itu, menunduk dengan takut-takut. “Apa kamu yakin?” tanya Rangga sekali lagi. “Iya, pak,” jawab Nabila dengan menganggukkan kepalanya. Rangga bisa saja menanyai Nabila soal hal-hal yang semakin membuatnya terpojok, seperti di mana tempat kerjanya? Berapa lama dia bekerja? Atau hal lain. Namun, melihat sikap Nabila yang semakin mengkerut itu, Rangga merasa kasihan dan memilih untuk membiarkannya. Ia akan menanyakan hal lain yang mungkin bisa menjawab sedikit rasa penasarannya. “Aku pernah mendatangimu di konveyor kupas kan?” Pilihan pertanyaan Rangga. Nabila mengangguk. “Apa kamu bisa memberikan alasan padaku, kenapa harus membuang ususnya?” “Saat itu, kode orderan yang tertulis adalah, kupas tanpa ususnya pak. Jadi, saya pikir saya hanya mengerjakan apa yang menjadi orderannya.” “Apa kamu akan membuang semua ususnya seperti itu?” “Tergantung permintaan pak. Setiap order berbeda jenis permintaan. Jika dari awal kita tidak sesuai, bisa-bisa itu menjadi komplain.” Nabila menjelaskan. Tepat. Bagi kebanyakan karyawan, siapa yang peduli dengan komplain? Bahkan, Rangga sering menemukan komplain produk, karena human eror dari para pekerja yang hanya mengejar target produksi dengan cepatnya. Jadi, kenapa Nabila peduli? “Kamu bisa kembali bekerja.” Rangga melapangkan satu tangannya mempersilahkan Nabila kembali ke proses produksi. Kemudian, Rangga kembali membuka bukunya yang sempat ia taruh saat Nabila datang tadi. Wajahnya kembali serius menghadap bukunya. Tunggu! Nabila masih belum paham ada apa ini? Ia dipanggil dan diberi pertanyaan tentang hal umum yang dikerjakannya. Tidak diberi perintah, atau disuruh melakukan hal yang sesuai keinginan para atasan. “Apa, saya melakukan kesalahan pak?” Nabila ragu jika harus kembali ke proses produksi tanpa mengetahui apa tujuan dirinya dipanggil kesini. “Tidak,” jawab Rangga singkat dan dingin. Rangga bahkan tidak melihat Nabila saat menjawab pertanyaan Nabila. Matanya masih berkutat pada buku yang ada di depannya. Mendengar satu kata dari Rangga, Nabila menahan dirinya untuk bertanya kembali. Ia hanya pasrah dan kembali ke proses produksi. Saat Nabila berdiri dan berbalik berjalan keluar kantor, Rangga melihat punggung Nabila dari belakang. Selang hitungan detik, Nabila sudah hilang dari pandangannya. Rangga lalu menutup bukunya kembali dan berpikir. Satu tangannya memegang dagu dan keningnya sedikit mengkerut. Ada keanehan pada perempuan itu. Rangga dapat menangkap jika Nabila berbohong saat ditanya tentang pekerjaannya yang dulu. Tapi Rangga bisa menilai kepolosan Nabila saat ia menjelaskan secara benar tentang jenis-jenis order di proses produksi. Pikiran perempuan ini sangat kritis dan jauh dari standar karyawan lain yang bekerja disini. Siapa sebenarnya perempuan ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD