1. Pertemuan Pertama

1305 Words
High heels cokelat tua milik seorang perempuan bertubuh semampai itu menyentuh genangan air akibat derasnya hujan sore. Kaki jenjang terus berlari menghindar dari guyuran air mata langit, tapi tetap saja, si cantik tidak bisa melindungi dirinya sehingga tetap basah kuyup. Hari ini ia sedikit tidak beruntung lantaran mobil mewah yang baru sebulan dibeli olehnya mengalami masalah pada bagian mesin. Entah apa yang terjadi, si empunya sama sekali tidak mengerti. Kendaraan roda empat itu berakhir di bengkel dan pulang dengan menaiki taksi. Namun, sepertinya kesialan tidak pergi begitu saja darinya, belum setengah perjalanan, sopir taksi menurunkannya di tengah jalan setelah menerima panggilan telepon. Sopir itu meminta dirinya turun dengan alasan istri tercinta sedang kesakitan di rumah dan harus segera dibawa ke rumah sakit karena sudah waktunya melahirkan. Apa ia bisa marah? Tentu tidak. Dengan begitu, terpaksa turun setelah membayar taksi walau tidak sampai pada tujuannya. Lalu, saat hendak menanti bus di pinggir jalan, tiba-tiba saja hujan mengguyur bumi dan ia terjebak di sana. “Sial!” Sedikit memaki saat sepeda motor melewati dirinya tanpa pelan sama sekali sehingga percikan dari genangan air tepat mengenai kemeja putih. Noda membandel menempel di baju mahal. Ah, dia adalah Naina Chandrawinata, perempuan cantik yang berusia 30 tahun dan seorang pekerja kantoran. Mapan? Tentu saja. Jika tidak, mana bisa ia membeli mobil mahal dan pakaian serba bermerek. Percuma ia bekerja selama 7 tahun di perusahaan properti kalau tidak menghasilkan sama sekali. Sukses, pintar dan tentu saja cantik! Idaman semua lelaki. Namun, sayangnya hingga kini Naina tidak memiliki pasangan. Trauma masa lalu telah menghancurkan hatinya sehingga terlalu takut untuk membuka hati pada yang lain. Bukan tidak ada yang mendekatinya, bahkan sudah ada yang melamar, ya ... karena tidak ingin mengulang kepahitan makanya ia mengubur perasaan untuk memiliki seseorang yang berdiri di sampingnya. Ia takut dikhianati! Dulu, 2 tahun yang lalu, ia sangat mencintai kekasihnya bahkan sudah memutuskan hanya lelaki bernama Vero itu yang akan menjadi suaminya kelak. Sialnya, saat perayaan hari jadi ke 2 mereka, ia mendapatkan kabar jika kekasihnya meninggal dalam kecelakaan bersama seorang perempuan. Usut diusut ternyata perempuan itu adalah kekasih dari Vero, dengan kata lain, dirinya adalah selingkuhan Vero. Menyebalkan! Ia sudah dikhianati selama bertahun-tahun. Bagaimana ia tidak menyadari kalau selama ini dirinya hanyalah selingkuhan? Kekasih kedua dari Vero. Astaga! Memikirkan itu saja membuat kepala Naina hampir pecah. Oke, lupakan! Naina mengelap wajahnya yang basah dengan tisu yang baru ia ambil dari tas. Membersihkan tetesan hujan agar tidak tersisa. Saat ini, ia sedang berada di depan mini market. Bukan hanya dirinya, ada beberapa orang di sana yang juga berteduh dari hujan. Bahkan ada sepasang kekasih yang saling menghangatkan dengan berpelukan erat. Ada rasa iri, tapi hanya sesaat karena Naina menganggap itu bumbu kehidupan. “Maaf, Mbak. Boleh bergeser sedikit?” Naina menoleh pada perempuan yang sedang mengajaknya bicara itu. Seseorang yang sedang hamil tua dan kelihatannya sangat lelah dan juga basah kuyup. Ya, hujan masih belum reda. “Di belakang Mbak ada tempat yang bisa saya duduki. Sungguh saya sangat lelah,” kata perempuan itu lagi pada Naina. Jelas dari suara yang terdengar jika si ibu hamil itu benar-benar kelelahan. Apa dia berlari menerobos hujan? Naina menoleh ke belakang dan menemukan kursi kayu. Mungkin lebih mirip meja atau semacamnya, dan itu tidak terlalu tinggi. Naina membantu perempuan hamil itu untuk duduk, lalu memberikan tisu untuk mengelap tubuh basah. “Tidak terlalu membantu, tapi setidaknya bisa mengerikan air di wajah dan tangan Anda.” Naina berucap tulus. Perempuan itu tersenyum manis. “Terima kasih.” “Apa Anda kedinginan?” tanya Naina lagi. Perempuan itu mengangguk. “Ya. Tentu saja. Saya basah kuyup karena suami saya sangat menyebalkan hari ini.” Nada kesa terdengar dari bibir perempuan itu. Naina mengernyitkan keningnya. Di sela-sela tubuhnya yang menggigil kedinginan, ia menyempatkan diri mendengar curahan hati perempuan yang baru ia kenal itu. “Bagaimana bisa ia menurunkan saya di tengah jalan hanya karena kekasihnya menelepon? Saya ini istrinya, walau tidak ada cinta di antara kami.” Air mata perempuan itu mengalir bersamaan tetesan air dari rambutnya. Naina menghela napas. Lagi, ada lelaki tidak bertanggung jawab menyia-nyiakan perempuan. Naina semakin trauma bahkan membenci untuk memiliki mereka dalam kehidupannya. Ia berjanji akan hidup lebih baik tanpa kekasih. Lelaki hidung belang tidak pantas untuk dijadikan pendamping. “Saya harap Mbak gak ngalamin seperti apa yang saya alami. Menguras air mata dan pikiran.” Perempuan itu menghapus air matanya dengan tisu pemberian Naina. Naina tersenyum kaku. “Semoga saja. Mbak harus sabar, ya. Tapi ... satu pertanyaan buat Mbak.” “Apa itu?” tanya perempuan hamil itu. “Tanyakan saja.” “Kalau Mbak tahu, suami Mbak itu lebih mementingkan kekasihnya, kenapa Mbak masih bertahan? Bukankah akan membuat Mbak menderita lebih parah? Kita itu perempuan yang punya harga diri. Jangan mau diinjak-injak oleh lelaki.” Naina berucap pelan walau kesal sebenarnya. Perempuan itu menghela napas. “Awalnya saya berpikir untuk berhenti bersamanya. Tapi ... setelah sekian lama menjadi istrinya akhirnya saya jatuh hati padanya. Saya gak peduli sama rasa sakit ini, yang terpenting bagi saya saat ini adalah merebut perhatiannya. Dia milik sah saya dan harus selalu berada di dekat saya.” Mendengar itu Naina memejam mata. Perempuan yang ada di depannya itu telah termakan cinta buta. Oke, Naina tidak akan ikut campur lagi. “Semoga bahagia selalu.” Naina berucap sebelum masuk ke dalam mini market. Beberapa menit kemudian Naina kembali dengan dua minuman botol. “Untuk Mbak.” Menyodorkan kepada perempuan hamil itu. Perempuan yang Naina belum tahu namanya itu hanya bisa mengangguk setelah menerima botol minuman itu. Ia ingin sekali berbicara lagi, tapi Naina berlalu dari hadapannya, mengambil jarak lebih jauh tepat di samping siswa SMA yang sedang mengeringkan rambutnya dengan cara mengibas-ngibas. Terlalu berlebihan, seolah sedang memamerkan ketampanannya saja di khalayak ramai. “Gue tahu kalau gue itu ganteng. Jadi Mbaknya jangan lihatin gitu banget, dong. Copot nih jantung.” Itu mulut benar-benar tidak disensor saat berbicara. Naina memutar bola matanya kesal. Siapa yang melihat bocah itu? Ia hanya melirik sekilas. Lagian, setampan apa pun, Naina tidak akan tertarik apalagi pada bocah ingusan. “Mbak kelihatan kesal, banget. Adu argumen sama Mbak yang hamil itu, ya?” tanya cowok SMA itu lagi. Naina melirik anak SMA itu. Kenapa bisa tahu kalau dirinya barusan beradu argumen? Ah, sebenarnya tidak tepat dibilang beradu argumen karena perempuan hamil itu curhat dan dia memberi nasihat saja. “Kamu menguping?” tanya Naina. Cowok SMA itu tersenyum manis. “Gue gak nguping, Mbak. Lagian mana dengar juga, jarak kita agak jauhan tadi. Gue itu hanya menganalisis dari gerak-gerik Mbak aja.” “Cih.” Naina masa bodoh. Ia mengacuhkan cowok SM itu dan memilih meminum minuman yang tadi ia beli di dalam mini market. Saat ia sedang minum, tiba-tiba saja sebuah jaket menutupi tubuhnya. Ia melirik sebelahnya dan ternyata pelakunya anak SMA tadi. “Hanya membantu, Mbak. Banyak mata liar di sini. Baju Mbak terlalu tipis dan membuat isinya terlihat jelas apalagi karena basah.” Cowok SMA itu menjelaskan. Naina melirik ke setiap sudut dan benar saja, para lelaki hidung belang menatap tajam padanya seolah ingin menelanjanginya seketika. “Terima kasih.” Hanya itu yang bisa Naina ucapkan. Bagaimanapun ia berterima kasih atas kebaikan siswa tengil yang berdiri di sampingnya itu. Meskipun menyebalkan, tapi setidaknya otak anak itu lebih waras dari lelaki dewasa. “Sama-sama.” Setelah itu hening tercipta. Tidak lama berselang, sebuah mobil hitam berhenti dan dari balik kaca menyembul kepala seorang perempuan. “Naina!” Suara itu menggelegar. Naina tersenyum saat tahu siapa yang memanggilnya. Zevanya, teman se kantor sekaligus sahabat baiknya. “Ayo,” ajak Zevanya. Naina mengangguk. Ia melepas jaket dari tubuhnya dan mengembalikannya pada anak SMA itu. “Terima kasih.” Lalu berlari meninggalkan area mini market. Cowok SMA itu tersenyum. Ia mencium jaket yang dikembalikan Naina, dan wangi semerbak menusuk indra penciumannya. “Astaga, gue jatuh cinta,” cicitnya pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD