• SATU •

1043 Words
 Star High School, New York. Hari itu semua murid di asrama diminta  berkumpul di aula untuk mendengarkan pembagian kelas dan pengajar di musim kedua oleh sekertaris asrama, Ben Jhonson. Kebanyakan siswa biasa memanggilnya Tuan Ben, atau Paman Ben, atau apapun yang dapat membuat siswa dan Ben menjadi nyaman. Ia sudah seperti ayahnya anak-anak karena sifatnya yang hangat dan bijaksana. Ben sendiri merupakan kepala sekertaris yang dipercaya oleh pimpinan--pemilik asrama--untuk mengelola asrama. Ben memiliki banyak anak buah yang membantunya mendisplinkan siswa di asrama. Salah satunya menjadi kepala pengelolaan kafetaria, kepala kebersihan asrama, kepala keuangan asrama dan masih banyak lagi. Tenaga pengajar yang direkrut pun berada di bawah pimpinan Ben, atau dengan kata lain, Ben dapat mengambil keputusan jika pimpinan mengutusnya. Ben adalah tangan kanan Noel Simmons, sosok pimpinan yang kini sibuk dengan beberapa cabang bisnisnya. Noel terlalu sibuk sehingga membutuhkan jasa dan loyalitas seorang pegawai seperti Ben. Lagipula, pria berusia lima puluh lima tahun itu bukan setahun atau dua tahun mempercayakan pekerjaan ini pada Ben, melainkan sudah dua belas tahun lamanya. Ben adalah sosok yang setia dan patuh, tapi juga kreatif dan ulet. Tidak heran bisnis asrama ini berjalan baik selama berada di bawah tanggung jawabnya. Pria itu kini berdiri di atas podium. Matanya yang tampak sayu dan lelah menyapu seluruh sudut ruangan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya yang keabuan. "Selamat pagi anak-anak," katanya memulai. "Mulai hari ini, kalian akan memasuki musim kedua sekolah di musim dingin. Aku berharap kalian semua tetap melaksanakan kewajiban kalian sebagai pelajar meski cuaca di luar tidak bersahabat. Dan, informasi mengenai pelajaran dan acara sekolah, bisa kalian lihat di papan pengumuman asrama. Di musim kedua ini, aku berharap banyak atas nilai-nilai kalian. Terutama untuk senior, beberapa bulan lagi kalian akan menghadapi sibuknya masa ujian, persiapan kelulusan dan pemilihan universitas. Jadi, sebagai ayah kalian di asrama, aku meminta kalian untuk menjaga kesehatan kalian sampai waktu itu. Terima kasih atas perhatian kalian dan kalian bisa kembali ke kelas masing-masing." Riuh rendah tepuk tangan siswa yang memenuhi aula asrama terdengar dan menggema di ruangan besar itu ketika Ben tampak turun dari podium dan keluar dari sana. Pun dengan siswa-siswa yang berkumpul di sana. Satu persatu dari mereka beranjak, lalu pergi kembali ke kelas masing-masing seperti yang disarankan oleh sekertaris asrama. Namun, seorang siswa masih duduk di jajaran belakang kursi dan sibuk mengutak-atik ponselnya. Perhatiannya berfokus pada benda pintar berukuran tipis di tangannya. Dan sepertinya, hal tersebut menarik perhatian siswa lain bernama Andrew. "Lily? Ada apa?" tanyanya penasaran. Ya, siswa itu adalah Lily Walter. Ia mendongak dan menatap Andrew yang merupakan teman satu kelasnya cemas. "Aku tidak bisa menemukan Alisa dimana pun, Andrew." Dahi anak laki-laki itu sontak mengerut dalam. Ekspresi bingung bercampur penasaran tercetak jelas di wajahnya yang mulus. "Alisa? Apa mungkin dia masih tidur di kamarnya? Seperti terlambat bangun atau semacamnya?" "Aku tidak tahu, aku belum memeriksanya." Lily mengangkat kedua bahunya cepat dan menurunkan ponsel dari telinga. Sudah tiga kali gadis itu berusaha menghubungi nomor Alisa, sahabatnya, tapi tidak juga menghasilkan apa-apa. Berakhir sia-sia saja. "Ponselnya aktif tapi dia terus mengabaikan panggilanku." Andrew lalu mengangguk paham. "Kalau begitu, ayo periksa kamarnya. Mungkin dia sedang tidak merasa baik atau terlambat bangun." Gadis berambut pirang itu berdiri dari kursinya dan mengangguk setuju. Ini adalah pertama kalinya Alisa tidak memberinya kabar atau membalas pesan singkatnya. Padahal jika diingat-diingat lagi, Alisa adalah sosok sahabat yang siap siaga. Dia selalu ada untuk Lily selama 24 jam penuh dan sikapnya yang tiba-tiba berubah, membuat perasaan gadis bertubuh mungil itu sedikit tidak nyaman. Firasatnya kurang baik kali ini. Dan terbukti setelah mereka berdua sampai di depan kamar Alisa. Mereka tidak menemukan Alisa di dalam seperti yang mereka harapkan. "Alisa tidak ada di kamarnya, Andrew. Astaga, perasaanku buruk tentang ini." Andrew mendesah pendek lalu menengok ke kiri dan ke kanan. "Mari periksa dia ke toilet perempuan." Kali ini suara laki-laki itu terdengar sedikit panik, setengah khawatir dan sedikit banyaknya memaksa. Sehingga Lily langsung berlari mengekor di belakang Andrew yang notabenenya adalah kekasih Alisa saat ini. Namun siapa sangka, keputusan Andrew untuk mengajak Lily memeriksa toilet asrama akan berakhir menjadi tragedi. Lily masuk ke dalam toilet dan menemukan satu bilik di pojok ruangan yang sedikit terbuka. Penasaran, gadis itu membukanya dengan hati-hati. "AHHHHHHHHH!" *** "Jadi, kalian berdua yang menemukan jasadnya di dalam sana?" Pria yang menanyakan hal tersebut adalah Zach, Detektif Zach Troll. Seorang detektif di bawah lembaga kepolisian kota New York atau yang lebih akrab disebut NYPD. Ia dan rekannya, Nathaniel, adalah dua orang polisi yang sedang mendapat tugas jaga di kantor pusat ketika sebuah panggilan darurat datang. Zach dan Nathaniel langsung mengamankan lokasi kejadian dengan memasang garis polisi di depan toilet perempuan, demi menghalau siswa lain yang penasaran dengan kematian teman mereka. Sembari menunggu petugas lain datang untuk membawa jasad Alisa, Zach berinisiatif mengamankan dua saksi utama mereka. Lily dan Andrew, orang pertama yang menemukan mayat gadis itu. Sesuai perintah Paman Ben, mereka berdua dibawa ke ruangan sekertaris asrama demi mengurangi perasaan syok yang baru saja mereka alami. "Apa kalian mengenal dengan baik siswa bernama Alisa ini?" Zach mengetuk-ngetuk ujung penanya ke atas jurnal pribadinya, bersiap mencatat seluruh kesaksian kedua siswa yang kini tampak memucat dan kehilangan fokus mereka sekarang. "Seperti apakah sifat Alisa selama berada di asrama?" Lily adalah yang pertama membalas tatapan Zach. Matanya sembab dan pipinya masih basah karena air yang tak henti-hentinya jatuh dari pelupuk matanya. "Alisa adalah teman baikku. Dia adalah teman pertamaku di sini," ucapnya gugup. "Apa dia adalah siswa yang baik?" Lily mengangguk mengiyakan. "Dia adalah siswa sempurna yang pernah kutemui. Dia cantik, cerdas, ceria dan dia punya segalanya." Tangis kembali mendera gadis berpipi chubby itu dan isakan tertahan terdengar jelas ketika ia berusaha melanjutkan, "Bunuh diri adalah sesuatu yang benar-benar tidak menggambarkan dirinya, Detektif." Zach menggumam dan menulis kata-kata itu di dalam jurnalnya. Lalu, wajahnya yang serius dengan garis muka yang tegas itu berpindah pada Andrew. Anak lelaki itu tak kalah sedih dibandingkan dengan Lily. Wajahnya tertunduk lesu sementara sorot matanya hanya dipenuhi oleh kekosongan yang tak berarti. "Dan kau ... bagaimana kau bisa mengenal Nona Harrison? Apa kalian juga berteman dekat?" Andrew mengerjapkan matanya sebanyak dua kali sebelum kepalanya terangkat dan matanya bertemu dengan dwi manik cokelat milik Zach. "Dia bukan temanku," katanya singkat. "Lalu, bagaimana kau bisa mengenal Nona Harrison?" Andrew menghela napas panjang dan menatap lurus-lurus ke arah Zach. "Alisa adalah pacarku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD