• SEMBILAN •

1078 Words
 CERITA INI MERUPAKAN KARYA ORISINIL MILIK SAYA. IDE CERITA, ALUR DAN HAK CIPTA SEPENUHNYA MILIK SAYA. APABILA ANDA MENEMUKAN ADANYA DUGAAN PLAGIAT TERHADAP CERITA INI (DI UPLOAD PADA PLATFORM LAIN DENGAN AKUN LAIN) SILAKAN LAPORKAN KEPADA SAYA. JANGAN LUPA UNTUK TINGGALKAN VOTE ATAU KOMEN SEBAGAI BENTUK DUKUNGAN TERHADAP PENULIS. SALAM, Penulisnya hihihi  Isabella Moore. *** Star High School, New York. Zach duduk di salah satu meja kafetaria asrama. Namun pria berbadan tegap itu tidak sendirian. Ia duduk bersama rekan sesama detektifnya yang sedang menyamar;Nathaniel Anderson. Jika Zach didaulat sebagai pengganti salah satu wali kelas--dimana Alisa berada--karena wali kelas sebelumnya mengalami kecelakaan yang cukup parah, Nathaniel justru menyamar sebagai anak dari Paman Alan, penjaga asrama sekaligus ketua tim pengelola makanan kafetaria asrama. Mereka duduk di sana saat jam pulang untuk para murid. Kebanyakan dari anak-anak itu biasa menghabiskan waktu di kamar atau taman asrama alih-alih memilih bersantai di kafetaria. Sehingga keadaan sore itu bisa dikatakan cukup sepi dan kondusif bagi Zach dan Nathan untuk menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya. Nathan mendorong sebuah gelas berbahan kaca yang dipenuhi oleh es karamel di atas meja ke arah Zach. "Minumlah dahulu. Wajahmu tampak jelek saat sedang kalut," tukas Nathan sarkas. "Aku muak melihatnya." Zach mendongak, menatap Nathan dengan sinis sebelum akhirnya menarik gelas tersebut dan meneguknya sampai habis setengah. "Kau belum minum dari kemarin, hm?" Lalu dibantingnya dengan keras sisa minumannya itu ke atas meja. Sehingga suara gebrakan yang ditimbulkan oleh gerakan Zach itu mengejutkan Nathan. Ia mendecih dan mendelik tak suka pada rekannya sekarang. "Kenapa aku harus menyamar sebagai wali kelas dan kau hanya menjadi tukang bersih-bersih di sini?" serunya frustrasi. "Tahan emosimu, Zach," kata Nathan dengan nada menggoda, dengan maksud menjahili Zach. "Aku di sini hanya menyamar dan gelas itu tidak benar-benar milik ayahku." "Sudahlah, jangan berbasa basi denganku." Zach melipat kedua tangannya di d**a dan mencondongkan wajahnya yang serius ke arah Nathan. Matanya yang gelap kini menatap sang lawan bicara lurus-lurus. "Apa hasilnya sudah keluar?" Bukannya langsung menimpali pertanyaan Zach, Nathan justru tertawa di tempatnya. Tawa yang terdengar geli dan mencemooh dalam waktu yang bersamaan. "Aku tahu kau sangat sibuk, tapi tidak bisakah kau bersantai sedikit?" Kedua alis Zach sontak berkerut dalam. "Pantas saja tidak ada satupun polisi yang ingin satu tim denganmu, Zach." "Bisakah kau hentikan itu sekarang?" desak Zach tak sabar. Ia kemudian menarik gelas miliknya dan menelan habis minuman berwarna cokelat muda di sana dalam sekali teguk saja, lalu diletakkannya kembali gelas itu ke atas meja dengan kesal. "Aku sudah muak memasang wajah manis di hadapan gadis-gadis di asrama ini, Nath. Kau seharusnya lebih peka terhadap rekanmu," keluh Zach pada Nathan yang tak henti-hentinya menyunggingkan senyum di bibirnya yang sedikit tebal. "Aku tidak bisa berdiri di depan kelas selama sebulan sementara gadis-gadis itu mengamatiku dengan ekspresi mesum." "Bagaimana jika kita bertukar tempat saja?" kata Nathan menawarkan. "Aku tidak merasa keberatan jika menjadi kau." Satu pukulan mendarat di puncak kepala Nathan setelahnya. Membuatnya meringis sekaligus tertawa karena melihat ekspresi kesal yang tercetak jelas di wajah Zach. Nathan memang suka sekali menggoda rekannya itu. Maklum, Zach tidak pernah mengenal yang namanya wanita selama bergabung dalam tim penyelidik kepolisian kota New York. Dalam hidup pria berusia 27 tahun itu, Zach sama sekali belum pernah berkencan. Entah karena terlalu sibuk atau memang tidak tertarik, tapi Nathaniel tidak pernah benar-benar memergoki Zach bersama seorang wanita dalam hubungan yang romantis. Beberapa rumor mengenai penyimpangan orientasi yang dimiliki Zach bahwa pria itu merupakan gay--menyukai sesama pria--sempat berembus kencang di lingkungan kerja, tapi Zach menepisnya dengan tegas dan Nathaniel mempercayai ucapan Zach saat itu. Nathaniel juga akan terus mempercayai kata-kata rekannya itu meski Zach belum tampak memiliki niat untuk berkencan sampai detik ini. "Omong-omong, kau tidak memanggilku seperti biasa?" tanya Nathaniel mengalihkan topik pembicaraan. "Kau memanggilku 'Nath' tadi, bukan 'Nate'. Apakah kepalamu terbentur sesuatu atau semacamnya?" Zach terkekeh pendek, lalu melihat Nathaniel yang duduk di depannya dengan ekspresi tak habis pikir. "Apakah penting untuk membahas itu sekarang?" Ia kemudian mengangkat satu tangannya yang sudah terkepal di udara, hendak mendaratkan tinju lain di wajah Nathaniel, "Apa aku perlu menghajarmu agar kau segera sadar?" Jika saja pria bermata sipit itu tak langsung berkata, "Baiklah baiklah. Kau seharusnya menanggapinya dengan santai, Zach." Ia memicingkan matanya dan mendelik jijik pada sang lawan bicara, seolah Zach baru saja terjatuh ke kubangan lumpur dan benar-benar kotor sekarang. "Pantas saja kau tidak punya pacar." "Kau mau berhenti menggodaku atau aku pukul?" Lagi, Nathaniel tertawa puas di tempatnya. "Baiklah, kali ini aku serius." Ia kemudian mengeluarkan sebuah amplop cokelat berukuran sedang dari dalam saku jasnya yang tebal dan langsung memberikannya pada Zach. "Aku cukup terkejut saat tim mengatakan bahwa ditemukan banyak sidik jari di atas ranjang gadis itu." Satu alis Zach terangkat, sementara tangannya menyambut map cokelat yang diberikan Nathaniel untuknya, "Di atas ranjang? Bukankah kau mengatakan bahwa tidak ada sidik jari lain di kamar Alisa?" dan dengan terburu-buru, Zach memeriksa isinya. "Lalu bagaimana dengan hasil autopsinya?" "Astaga, Zach. Aku tahu kau penasaran, tapi setidaknya kau cukup melempar satu pertanyaan saja," gerutu Nathaniel. "Kalau begitu, jawab saja kedua pertanyaan itu satu persatu." Mata Zach memandangi hasil autopsi yang tertera dalam selembar kertas di tangannya. Ia membacanya dengan saksama dan lamat-lamat, khawatir jika detektif muda itu akan melewatkan sesuatu nantinya. "Apa kau membawa seprai di kamar Alisa?" "Ya, ada beberapa sidik jari berbeda di bagian ujung seprai." Zach mendongak, menatap Nathaniel penasaran. "Apa mungkin Alisa diculik oleh seseorang dan dipaksa untuk melakukan aksi bunuh diri itu?" "Kemungkinan besar iya, tapi selama kita tidak memiliki bukti yang kuat, tampaknya kita berdua tidak bisa banyak berspekulasi," timpal Nathaniel dengan bijaksana. Pria bertubuh atletis itu lantas kembali menatap kertas di tangannya dan menganggukkan kepala. "Alisa meninggal karena kehabisan darah dan organ vital berhenti berfungsi," ucap Zach, membaca kalimat yang tertera di sana. "Tapi bagaimana bisa, ditemukan banyak sidik jari di atas ranjang sementara di tubuhnya saja, tim forensik tidak menemukan apa-apa? Di sini tertulis, beberapa bekas luka yang dimiliki Alisa diperkirakan terjadi beberapa bulan yang lalu." "Tim penyelidik juga tidak menemukan sidik jari lain pada alat yang digunakan Alisa, ini tampak benar-benar janggal dan rumit, Zach." Nathaniel bersedekap dan menggeleng tak percaya. "Apakah mungkin, Alisa dibunuh oleh makhluk astral?" Zach mendelik sinis, lagi. Ia kemudian memukul kepala Nathaniel dengan map dan beberapa kertas di tangannya dalam hitungan sepersekian detik saja. Sehingga Nathaniel kembali meringis dan tertawa di waktu yang bersamaan. Tidak habis-habisnya Nathaniel menjahili rekannya itu. "Bisakah kau berhenti melucu, Nate? Jika kau tidak segera berhenti, aku bisa menggantikan Alisa untuk menyayat tanganmu sekarang juga, Brengsek."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD