• ENAM •

1088 Words
 New York, beberapa bulan sebelumnya. Isabella mengambil sebuah batu kecil dari rerumputan di bawah kakinya, menggenggamnya sesaat, lalu melemparkannya kuat-kuat ke danau yang tepat berada di hadapannya. Matanya memicing, mencoba mencari tahu dimana titik batu yang tidak lebih besar dari ukuran jari kelingkingnya itu jatuh dari tempatnya berdiri sekarang. Sampai suara seseorang yang tak asing terdengar dari arah belakang. "Isa!" Gadis itu menoleh, sama sekali tidak terkejut dengan kehadiran Alisa yang tiba-tiba. Alisa mendekat sehingga Isabella dapat melihat dengan jelas bahwa sahabatnya itu masih menggunakan seragam sekolah, lengkap dengan dasi dan ransel di belakang pundaknya. Gadis itu lantas mengamati Alisa dari puncak kepala sampai ke ujung kakinya, menggelengkan kepala tak habis pikir dan berujar, "Kau pasti kabur lagi dari asrama." dengan nada sarkas. Namun Alisa sama sekali tidak menggubris sindiran Isabella yang ditujukan untuknya. Ia berdiri di hadapan Isabella dan bersedekap. "Apa kau serius, Isa? Kau berkelahi lagi?" Suaranya setengah memekik, terdengar kesal. Namun Isabella tahu bahwa Alisa tidak benar-benar marah padanya. "Kau ini perempuan, tidak sebaiknya berkelahi dengan laki-laki. Tubuh mereka lebih kuat darimu, kau bisa terluka." Isabella mendecih dan memutar kedua bola matanya dengan malas. "Mereka mulai lebih dulu, aku hanya membalas," dalihnya dengan santai, tidak peduli dengan eskpresi marah yang tercetak jelas di wajah Alisa. "Kalau kau terus berkelahi, kau tidak akan punya teman di sekolah." "Aku memilikimu," jawab Isabella singkat. Membuat Alisa tiba-tiba tersipu, pipinya memerah seperti tomat. Sedangkan Isabella justru duduk di sebuah bangku kayu di belakangnya, cukup panjang untuk dipakai oleh dua orang sekaligus dan gadis itu mengeluarkan rokok dari saku roknya. "Bukankah memiliki satu sahabat saja sudah cukup?" Alisa mencebik. Ia menghentakkan kakinya ke rerumputan dan menghampiri Isabella, lalu duduk di sisi kiri gadis itu sembari memandangi danau di hadapan mereka berdua. "Aku sudah punya pacar." "Oh ya?" Isabella menoleh, menatap Alisa antusias. "Seperti apa dia?" Meski dari nada suaranya, Alisa bisa langsung tahu bahwa Isabella tidak sungguh-sungguh penasaran tentang hubungan pribadinya. "Apa dia salah satu anak laki-laki di asrama?" Namun yang bisa dilakukan Alisa saat itu hanyalah berpura-pura tidak mengetahuinya. Ia mengangguk dan menoleh, membalas tatapan biasa-biasa saja yang tercetak jelas di wajah Isabella yang pucat. Sejujurnya, Alisa berharap banyak tentang reaksi Isabella mengenai kabar ini, tapi ia juga tidak bisa melakukan apa-apa. Isabella memang pribadi yang dingin dan tidak memiliki empati, Alisa tahu dia tidak dapat berharap banyak pada sahabatnya itu. "Ya. Kami ada di kelas yang sama," tukas Alisa. "Apa dia setampan Aston?" goda Isabella. Rona di pipi Alisa kini berubah merah, menjadi seperti tomat segar yang baru dipetik. Ia menunduk malu dan menyenggol lengan Isabella dengan lengannya, lalu tertawa kecil. "Pacarku lebih tampan dari Aston. Dia benar-benar lebih baik." Gadis yang menggerai rambut panjangnya ke punggung itu hanya menganggukkan kepala dan tersenyum kecil. "Terdengar bagus," ujarnya singkat. "Dia pasti sangat beruntung bisa memilikimu, Alisa. Berbahagialah." Alisa mengangkat kepala, menoleh ke arah Isabella dan memicing penuh selidik. "Kami hanya berpacaran, bukan menikah. Kau terdengar tidak senang dengan kabar ini, Isa? Apa kau cemburu bahwa akhirnya aku memiliki pacar lebih dulu daripada kau?" Isabella menarik tubuh Alisa dan mengapit leher gadis itu di bawah lengannya. Sembari tertawa lepas, Isabella mengacak-ngacak rambut Alisa dengan puas. "Sial! Sahabatku akhirnya punya pacar dan aku ditinggalkan sendirian! Benar-benar b******k," candanya. Membuat Alisa ikut tertawa dan menghambur dalam suasana yang mendadak hangat di antara mereka. Setelahnya, Isabella melepaskan tangannya dari Alisa dan memberikan gadis itu waktu untuk merapikan rambutnya yang berantakan. "Omong-omong, seperti apa pacarmu?" Kali ini, Isabella terdengar sedikit penasaran dan serius. Sehingga Alisa pun menanggapinya dengan cara yang layak. Ia menggumam pelan dan menjelaskan, "Dia adalah Andrew Blake, siswa paling pintar di asrama. Dia tinggi dan tampan," dengan ekspresi kagum di wajahnya. "Andrew juga memiliki bahu yang lebar dan bibir yang menggoda." "Apa kau berencana mencium bibirnya dalam waktu dekat?" Isabella lantas mendorong bahu Alisa dan mendelik jijik ke arahnya. "Kau m***m sekali, Al." Yang membuat Alisa tertawa geli karenanya. "Aku hanya ingin memberi tahumu bahwa Andrew ini benar-benar luar biasa, Isa. Kurasa kau juga harus memperbaiki hidupmu dan mulai berkencan dengan seseorang," sarannya. "Aku ingin melihatmu bersenang-senang, selain denganku." Ada gumaman kecil yang keluar dari mulut Isabella. Ia lalu melipat kedua tangannya di d**a dan mengerutkan dahinya dalam-dalam. "Apa kau bersenang-senang?" "Tentu saja," timpal Alisa semangat. "Aku berteman dengan gadis-gadis popular di sekolah. Apa kau tahu? Aku cukup dekat dengan Chloe Winchester, ratunya sekolah. Aku juga berteman dengan Lily, dia sangat popular di internet. Dia sudah seperti artis daring, Isa." Isabella hanya diam dan memerhatikan sahabatnya yang terus bercerita. "Dan kali ini, aku memiliki seorang pacar yang keren. Aku punya segalanya dan aku bersenang-senang, itulah alasan kenapa aku ingin kau melakukannya juga." "Apa sungguh semenyenangkan itu?" tanya Isabella tak yakin. "Bukankah kita berdua saja sudah cukup?" "Oh, ayolah, Isabella." Alisa mengangkat satu tangannya, meletakkannya di bahu Isabella dan senyuman manis tersungging di bibirnya yang merah muda. "Kau harus mulai bersosialisasi dengan orang lain. Akan sangat menyenangkan jika kau memiliki banyak teman." "Tapi aku tidak memerlukan banyak teman," bantah Isabella. "Aku hanya perlu satu teman yang setia, sepertimu. Aku tidak butuh berteman dengan orang lain yang tidak bisa kupercaya. Hanya buang-buang waktu saja." "Tapi pertemanan tidak seperti itu, Isa." Lagi-lagi Alisa mencoba untuk membujuk sahabatnya yang kini menyandarkan punggungnya ke puncak bangku. "Kau membutuhkan teman untuk sesuatu. Entah itu untuk hal yang baik atau hal yang buruk, kita akan hidup untuk saling memanfaatkan." Isabella beranjak dari bangku kayu itu dan menyimpan kembali puntung rokok yang daritadi berada di dalam genggamannya. Ia sudah kehilangan minat untuk merokok karena ucapan Alisa kepadanya. Lalu, dengan tatapan tak suka bercampur bingung, Isabella berkata, "Kenapa kau sangat naif, Alisa? Kau harusnya berteman dengan orang-orang yang tulus kepadamu. Bagaimana jika mereka hanya memanfaatkanmu? Bagaimana jika mereka hanya mengambil keuntungan darimu lalu pergi? Mereka bisa saja menendangmu jauh-jauh jika kau sudah kehilangan segalanya. Sebaiknya kau berhenti dengan orang-orang popular di asrama, firasatku buruk soal mereka." Alisa hanya tertawa di tempatnya duduk, tanpa sedikitpun peduli pada raut muka Isabella yang marah karenanya. "Kau berlebihan, Isabella. Aku baik-baik saja dan aku akan tetap berteman dengan gadis-gadis popular itu." Gadis itu kemudian berdiri, menatap sang lawan bicara lurus-lurus. "Aku lelah menjadi gadis yang tak menonjol sepertimu selama ini, bukankah seharusnya hidup itu berjalan dan berkembang? Jika aku hanya berteman denganmu, aku tidak akan bisa mendapatkan Andrew." "Apa kau bahagia karena berteman dengan mereka?" "Ya, tentu. Bukankah kau sudah lihat sendiri? Aku mendapatkan segalanya dan bersenang-senang." Isabella menutup mulutnya, wajahnya kembali datar seperti ruh baru saja meninggalkan raganya. Ia lantas membuang wajah, menatap air danau yang tenang dengan sorot kecewa di sana. "Kalau begitu, bersenang-senanglah. Setidaknya, aku sudah memperingatkanmu, Alisa." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD