Part 2

1465 Words
“Once upon a time in forest, the tiger—- ups!”   “Ughhh!”   Seorang anak perempuan berusia lima tahun menutup mulutnya dengan telapak tangan mungilnya ketika melihat seorang laki-laki nampak terbangun dari tidur. Pasti karena suaranya. Naya merasa bersalah, padahal ia sudah berjanji pada Maminya untuk tidak membangunkan Uncle kesayangannya.   “Naya?” Fazio mengucek-ngucek matanya sembari bangun ketika melihat keponakan sulungnya sedang duduk di atas kursi.   “Om Yo bangun karena suara Naya ya? Maapin.” Fazio terkekeh gemas ketika melihat wajah bersalah ponakannya.   “Eh? Jam lima?” Fazio kaget ketika tak sengaja melirik jam. Buru-buru ia menarik gorden jendela yang berada tepat di samping tempat tidurnya, masih gelap.   “Naya kok udah bangun? Bukannya Papi bilang acaranya jam 8?” tanya Fazio duduk di pinggir kasur. Ia ingat sekali Mas Chandra bilang seperti itu kemarin karena setelahnya Fazio berencana untuk bangun hingga pukul 7.   “Enggak bisa tidur, Naya deg-degan Om.” Gadis manis itu menyentuh dadanya.   Lomba pertama, Zio juga dulu merasakan hal yang sama saat seuisa Naya. Untung saat itu Ibunya dengan lembut memeluknya hingga rasa itu hilang.   “Sini, Naya bobok dulu di samping Om Yo!” ajak Fazio mengajak ponakannya untuk  berbaring di atas kasurnya.   “Mami udah bangun?” tanya Fazio ketika ia dan ponakannya sudah tidur bersebelahan. Naya mengangguk sambil mengalungkan tangannya di leher sang paman. “Mami bilang jangan sampai bangunin Om Yo,” celotehnya menggemaskan.   Sang Paman yang melihat ponakannya memejamkan mata terkekeh, ia tahu gadis itu masih mengantuk namun juga tak bisa meredam rasa gugupnya. Jadi Fazio menepuk-nepuk pelan p****t sang bocah hingga akhirnya gadis itu semakin terlelap.   “Naya sayang——“   Aya yang melihat sang putri sudah terlelap di kasur Fazio buru-buru menutup mulutnya. Lalu berjalan pelan menuju tempat tidur. “Tidur, Yo?” tanyanya pada sang adik ipar.   “Iya, Mbak,” jawab Fazio perlahan melepaskan pelukan sang ponakan.   “Masih ngantuk tapi juga deg-degan, ugh, emang enggak enak, Mbak,” curhat Fazio sambil menurunkan rok sang ponakan yang tersingkap.   “Eh, Mbak Aya duduk,” ujar Fazio sedikit meringgis melihat sang Kakak ipar yang berdiri dengan perut yang besar. Iya, sebentar lagi Fazio akan memiliki keponakan baru.   “Heheh tahu aja ini berat banget,” cengir Aya lalu mendudukan tubuhnya di atas kasur Fazio. Wanita itu menghembuskan nafasnya kemudian mengelus perutnya.   “Kapan pecahnya, Mbak? Eh, maksudnya lahirnya?” tanya Fazio tergelak, perut Aya yang seperti balon membuatnya berpikir bahwa tak lama perut itu akan meledak dan mengeluarkan bayi.   “Masih tiga bulan lagi kok,” jawab Aya. “Bisa dateng kayaknya ke pernikahan Unclenya.”   “Dirga mau menikah, Mbak?” tanya Zio dengan wajah polos membuat Aya mendengus.   “Kamu, Zio!”    Sekarang gantian Zio yang mendengus. “Masih lama, kayaknya tunggu si adek Naya masuk TK.”   “Kamu enggak mau lihat calonnya dulu, Yo?” tanya Aya. “Mbak bukan maksud apa-apa, kamu juga tahukan kalo Mbak sama Mas Chandra dijodohin. Siapa tahu kamu yang nanti bakal berhasil?” Fazio mengangguk-angguk.   “Cinta bisa tumbuh, Yo,” lanjut Mbak Aya.   “Kalo enggak?” tanya Fazio membuat Kakak iparnya jadi skeptis. “Mbak Aya sama Mas Chandra enak, dua-duanya mau saling belajar untuk saling cinta dan bangun rumah tangga. Tujuan kalian satu.”   “Gimana nanti kalo aku nikah, cuman aku yang bangun sedangkan pasangan aku itu sibuk untuk menghancurkan.”   Aya yang mendengarnya perkataan sang adik ipar, menghembuskan nafas. Apa yang dikatakan Fazio ada benarnya. Aya dan suaminya beruntung karena mereka menginginkan hal yang sama, saling cinta dan membangun keluarga. Mereka berdua adalah salah satu dari sekian perjodohan yang sejauh ini berhasil.   Namun, Aya juga tidak menutup mata dengan jutaan pasangan yang gagal karena perjodohan.   Tidak ada yang tahu dengan masa depan seseorang.   “Tapi, kalo ternyata memang itu jodoh kamu, Yo? Gimana?” kali ini Aya memutar pertanyaan yang diberikan Fazio membuat laki-laki itu terdiam.   Bagaimana jika memang wanita yang akan dijodohkan denganya itu adalah jodohnya?   “Ah, enggak tahu Mbak Aya, pusing...” keluh Fazio yang membuat pikiran semrawut, padahal masih pagi.   “Udah kami tidur aja, kata Mas Chandra sibuk beberapa hari ini.”   “Enggak bisa kayaknya, Mbak. Aku baru ingat nanti ada asisten aku yang mau nganter alat make-up.” Fazio mengambil ponselnya yang berada di nakas, mencari kontak Acha untuk mengingatkannya.   “Lho bukannya kemarin kamu bawa?” tanya Aya.   “Beda Mbak, kulit Naya masih terlalu sensitif. Jadi cari alat make-up yang cocok.”   “Mahal dong nanti harganya,” goda Aya yang membuat Fazio ikut terkekeh.   “Itu urusan si Papa Chandra, Mbak hahaha.”   ————   “Wah, Naya mirip banget sama harimau.”   “Aduh, cucu Kakek pasti juara!”   Fazio yang sedang membersihkan alat make-up sedikit tersenyum ketika mendengar suara-suara yang berada di balik kamarnya. Rendra dan Arumi, selaku Kakek dan Nenek memang sangat menyayangi cucunya.   Karena tidak ada yang harus dikerjakan lagi, Fazio segera menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Hari ini ia tidak memiliki janji untuk merias siapapun jadi ia bersantai.   Ah, ia melupakan sesuatu.   Kulkas di apartemennya kosong, mungkin setelah ini ia harus menuju supermarket.   Fazio keluar dari kamarnya mengenakan kemeja biru dan celana chinos hitam. Sepatunya mengenakan sneakers bewarna full putih. Sebuah totebag mengalung di lengan kirinya.   Laki-laki itu turun ke lantai satu yang mungkin sudah sepi, namun ternyata ia salah. Hanya Mas Chandra dan Mbak Aya yang pergi menemani Naya untuk lomba. Padahal Fazio pikir Papa dan Mamanya akan ikut menonton acaranya.   “Fazio, ayo sarapan dulu, Nak!” ajak Arumi dengan senyum keibuan yang membuat Fazio tidak ada alasan untuk menolak.   Ternyata di ruang makan sudah ada Papanya dan dua saudaranya yang lain. Barga dan Dirga.   “Zio, gimana kabarnya? Baik kan?” tanya Rendra menatap rindu putranya yang tengah menikmat sebuah sandwich.   “Baik, Pa,” jawab Fazio seadannya. Laki-laki itu bisa merasakan tatapan tajam dari seorang laki-laki yang berada di depannya. Barga.   Sedangkan Dirga nampak tidak memperdulikan kehadirannya. Fazio memang tidak begitu dekat dengan keduanya.   “Zio, minggu depan sibuk enggak? Mama mau temuin kamu—-“   Fazio meletakan sandwich miliknya yang bahkan belum setengah dimakan ke piring agak sedikit keras. Ia tiba-tiba tak selera makan.   “Bisakan, Nak?” tanya Arumi lagi dengan ekspresi berharap.   “Enggak bisa, Ma!” jawab Fazio menghela nafasnya kasar.   “Lo bisa sopan enggak sama Mama?!” seru Barga yang tak terima Fazio menaikan nada suaranya pada Arumi.   “Emang ada orang yang enggak marah kalo masa depannya ditentuin? Bocah kayak lo yang kemauannya enggak diturutin langsung marah, enggak usah banyak bacot!” sentak Fazio membuat Barga semakin menatapnya tajam.   “Zio, dengarkan Mama dulu,” ujar Rendra.   “Aku udah bilang enggak mau dijodohin, kenapa Mama paksa terus sih?!” tanya Fazio dengan ekspresi wajah lelah membuat Arumi yang melihatnya ikut merasa bersalah.   “Mama pengin Zio bahagia, Nak.”   Bahagia? Fazio rasa hal itu sudah direnggut dan tak dikembalikan ketika Ibunya meninggal. Hidupnya tiba-tiba seperti mati, ia yang saat itu bahkan baru berusia sepuluh tahun berniat menyusul sang Ibu dengan cara apapun. Fazio benar-benar hilang arah.   Benar kata orang, siapapun boleh pergi asal jangan Ibu.   Hidupnya tak akan sama lagi.   “Aku udah bahagia, Ma,” balas Fazio getir.   “Tapi, Fazio. Mama yakin kalo kamu bakal—-“   “Urus aja anak kandung Mama sendiri bisa enggak?!” sentak Fazio lagi yang tak bisa menahan emosinya sampai membuat Arumi terkejut.   “Sialan lo!” teriak Barga yang hendak melayangkan bogeman namun ditahan langsung oleh Dirga.   “Alangkah lebih baiknya Mama pikirin kebahagian anak kandung Mama dulu, aku enggak suka mereka natap aku tajam,” ujar Fazio memundurkan kursinya hendak bangkit.   Namun, seolah tak menyerah, Arumi memegangi tangan anaknya.    “Kasih aku alasannya, Ma.” Fazio menghentikan gerakannya. “Kasih aku alasan sebenarnya kenapa Mama begitu gigih. Soalnya aku masih ragu kalo Mama pengen aku bahagia.”   “Emang enggak tahu diri lo!” seru Barga yang sudah naik emosi. Siapapun boleh menghinanya tapi tidak Mamanya. “Lo pikir siapa yang ngurus lo dari umur 10 tahun waktu nyokap lo meninggal?!”   “Emang lo tahu siapa yang bikin Ibu gue pergi untuk selamanya?” tanya Fazio dengan mata yang sudah memerah. “Nyonya Arumi yang terhomat, Mama lo sendiri.”   Barga yang memang tidak tahu apapun tentang keluarganya terdiam, remaja laki-laki itu menggelengkan kepalannya.   “Lo tahu? Nyokap lo perusak keluarga gue!” teriak Fazio murka, air mata sudah meleleh di pipi laki-laki itu.   “Enggak mungkin.” Barga menggeleng tak yakin, wajahnya sekarang pucat. Ia menatap ke arah Papanya yang terdiam, Mamanya yang menangis dan Dirga yang mengangguk.   “Lo tahu orang yang paling sialan disini?” tanya Fazio lagi. Laki-laki itu kemudian menujuk ke arah Rendra, Papanya.   “Papa kesayangan lo!” seru Fazio lagi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD