Hanin Pratiwi

1171 Words
Nama lengkapnya Hanin Pratiwi. 22 desember lalu dia genap berusia 17 tahun. Gadis itu berperawakan mungil dengan tinggi badan 155 cm. Dia memiliki fitur wajah yang serba minimalis. Hanin itu bermata sayu. Hidungnya tidak mancung, tapi juga tidak terlalu pesek. Dia memiliki bibir yang mungil dan terlihat imut. Semua itu dibingkai oleh wajahnya yang kecil. Rambutnya yang panjang dan bergelombang juga membuat aura kecantikan naturalnya semakin terpancar. Hanin termasuk tipikal remaja yang jauh dari kata kekinian. Dia tidak fasih dengan sosial media. Satu-satunya akun sosial media yang dia punya hanyalah f*******: dan itupun tidak lagi digunakannya. Hanin juga tidak familiar dengan aktivitas hangout ala remaja masa kini, tetapi dia aktif dalam kelompok belajar dan juga komunitas pecinta lingkungan di tempat tinggalnya dulu. Pengetahuannya tentang kosmetik juga cukup memprihatinkan. Hanya ada tiga item yang sejauh ini menjadi andalannya yaitu bedak tabur, body lotion, dan deodorant saja. Hanin juga bukan termasuk remaja penganut berbagai sekte per-Idol-an. Dia tidak tahu menahu dengan gegap gempita dunia hiburan. Dia hanya gadis biasa yang menjalani kehidupannya dengan cara yang biasa saja. Namun, justru hal itulah yang menjadi daya tariknya. Hanin terlihat sempurna dengan kesederhanaannya. “Jika semua terasa sulit sederhanakan lagi. Jika semua terasa berat sederhanakan lagi. Sederhanakan saja. Sederhanakan lagi. Sederhanakan terus.” Itulah rumus ajaib yang selalu dianut oleh Hanin dalam menjalani hari-harinya. _ “Kamu nggak apa-apa, kan?” suara sang mama mengejutkan Hanin yang sedang melamun. “Eh Mama... aku nggak apa-apa, kok,” jawab Hanin. Sang mama ikut duduk di tepi ranjang, lalu menatap Hanin yang masih duduk sambil memeluk lututnya. “Mama tahu kamu masih merasa canggung dengan situasi ini. Begitu juga dengan Nadine. semua memang perlu waktu,” ucap sang mama. “Harusnya tadi Mama nggak perlu melakukan itu... aku nggak suka melihat Mama mendapatkan perlakuan tidak sopan dari Nadine,” ucap Hanin. “Maafkan Mama sayang... Mama juga nggak menyangka kalau respon dia seperti itu.” “Pelan-pelan aja, Ma.” Hanin meremas tangan sang mama dengan lembut. “T-tapi jujur Mama lebih mencemaskan kamu...,” Hanin tertunduk lesu. Sang mama terdiam dengan jemari saling berpagutan. Melihat hal itu Hanin pun kembali bersuara. “Lagian Hanin sama Nadine udah bicara, kok.” Wajah sendu sang mama kembali berseri. “K-kamu udah bicara sama Nadine?” Hanin mengangguk cepat. “Iya Ma... pokoknya Mama nggak usah khawatir soal hal itu. Seperti yang tadi mama bilang, semuanya emang butuh waktu.” “Syukurlah kalau begitu... Mama sempat khawatir kalau kamu nggak cocok sama Nadine.” “Nggaklah Ma... everythings gonna be okey,” ucap Hanin sambil tersenyum. “Ya udah sebaiknya sekarang kamu tidur.” “Iya, Ma.” Sang mama beranjak pergi. Seketika itu juga raut wajah Hanin berubah murung. Dia menatap punggung mamanya itu dengan mata sendu. “Ma....” Hanin kembali memanggil mamanya. Sang mama kembali berbalik dan tersenyum. “Iya, ada apa?” Hanin terdiam sejenak. Dia sedang bertarung melawan dirinya sendiri. Ingin rasanya dia menyampaikan kerisauan hatinya. Ingin rasanya dia mengungkapkan ketakutannya. Ingin rasanya dia mengatakan bagaimana perasaannya saat ini, namun bibir itu hanya kembali tersenyum. “Hanin sayang Mama.” Sang mama pun kembali berbalik dan memeluk Hanin. Kegelisahan yang dirasakan gadis itu pun seakan menguap karena dekapan hangat sang mama. Tanpa sepengetahuan sang mama, air matanya pun menitik pelan. Hanin memeluk mamanya lebih erat sembari mencoba menghalau berbagai pikiran buruk yang masih saja terus mengusiknya. Itulah kelemahan sosok Hanin. Dia selalu menyembunyikan perasaannya dan selalu berpura-pura nyaman dengan segalanya. Baginya kata ‘tidak’ adalah kosa kata yang sulit untuk diucap. Hanin tidak pernah menolak ataupun membantah apapun yang dikatakan sang mama. Dia anak yang penurut lagi patuh. Hal itu sebenarnya disebabkan oleh latar belakangnya. Dahulu Hanin sering menyaksikan mamanya menangis semenjak kematian sang papa. Waktu itu Hanin masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Karena tidak ingin melihat sang mama terus bersedih, si kecil Hanin pun selalu berusaha menjadi anak yang baik. Dia tidak pernah menuntut banyak hal. Dia tidak pernah merengek mengadukan kejahilan teman-temannya. Dia selalu patuh dan menurut. Hanin selalu menunjukkan bahwa dia selalu baik-baik saja pada sang mama.  Semua itu dilakukannya agar sang mama tidak lagi bersedih. Agar sang mama tidak merasa terbebani akan hadirnya. Akhirnya Hanin pun tumbuh menjadi anak yang ‘dewasa’ sebelum waktunya. _ Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tetapi Hanin masih belum bisa memejamkan mata. Gadis itu masih gelisah di tempat tidurnya. Berbagai pose tidur sudah dicobanya, namun tidak satupun yang berhasil. Meskipun kasur itu begitu lembut. Walaupun selimut yang digunakan begitu halus, Hanin tetap saja merasa tidak nyaman. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Seiring dengan itu air matanya meleleh tanpa dia sadari. Runtuh sudah segala pertahannya. Dia benar-benar tidak ingin berada di rumah itu. Segalanya kini terasa asing. Dia merindukan kamarnya, dia merindukan teman-temannya dan Hanin tidak dapat memungkiri bahwa dia merindukan saat-saat ketika dia hanya hidup berdua dengan sang mama saja. “Nggak... aku nggak boleh egois,” ucap Hanin pada dirinya sendiri. “Mama sudah terlalu lama menjalani hidup yang sepi. Aku tidak boleh merusaknya.” Hanin menyeka air matanya dan menghela napas panjang. Setelah itu dia pun memejamkan matanya. Lama kelamaan Hanin mulai merasa tenang. Rasa lelah dan penat kini mulai membuatnya mengantuk, tapi tiba-tiba saja dia terkejut karena mendengar suara bising di balik jendela. Tok... tok... Deg. Hanin tersentak dan menarik selimutnya hingga menutupi wajah. Suara apa itu? siapa yang menggedor-gedor kaca jendela kamar tengah malam seperti ini? Apa jangan-jangan rumah itu ada penunggunya? Hanin bergidik ngeri membayangkan hal itu. Tok... tok... psst... psstt... Hanin menajamkan pendengarannya. Kali ini tidak hanya suara ketukan, tetapi juga seperti suara seseorang yang berbisik. Hanin pun meraih tombol lampu dan menyalakan lampu kamar. Setelah itu dia berjalan pelan mendekati jendela kaca. Jemarinya mulai meraih tirai jendela itu dan mulai menyibaknya pelan. Deg. Napas Hanin sejenak terhenti melihat dua sosok wajah dibalik kaca jendela itu. Dia langsung menutup mulutnya agar tidak berteriak. Tak lama setelah itu Hanin pun segera membuka kunci jendela itu. “Lama amat sih... ngapain jendela ini dikunci segala, ha?” sergah Nadine dengan suara setengah berbisik. Hanin yang masih terkejut tidak bisa berkata-kata. Nadine segera melompat masuk diikuti seorang perempuan berambut pendek yang menyeringai kepada Hanin. “Ayo buruan Ditta!’ sergah Nadine. Ditta tidak menghiraukan perkataan Nadine dan masih terpaku menatap Hanin yang kini sedikit ketakutan. Disaat Ditta melangkah mendekatinya, Hanin pun reflek melangkah mundur. Si tomboi Ditta pun iseng mengedipkan matanya dan Hanin langsung terbelalak kaget. “Hahahaha....” Ditta terkiki pelan. “Kamu ngapain, sih... ayo cepetan bantuin aku,” sergah Nadine. Ditta pun akhirnya berbalik dan menyusul Nadine yang sibuk memasukkan pakaian ke dalam sebuah tas kain berukuran besar. Tidak hanya pakaian Nadine juga memasukkan beberapa pasang sepatu, peralatan make up, buku-buku yang penting dan juga laptop miliknya. Hanin yang masih berdiri di tempatnya hanya diam melihat Nadine dan Ditta yang sibuk mengemas semua barang. Setelah semuanya beres, Nadine pun kembali melemparkan tas itu keluar jendela. Sebelum melompat keluar dia pun menatap tajam ke arah Hanin. “Awas kalau kamu ngadu sama Papa ataupun sama Mama kamu!” ancam Nadine. Hanin meneguk ludah. “T-tapi kamu mau ke mana? Nanti Papa kamu khawatir.” Nadine tersenyum sinis. “Nggak usah sok peduli!” “T-tapi....” Ucapan Hanin terhenti karena Nadine dan Ditta sudah meringsek pergi. Hanin pun hanya bisa menatap kepergian saudara tirinya itu dengan perasaan buncah. Hanin mulai menyalahkan dirinya sendiri. Dia mulai merasa berdosa karena sudah menganggu ketenangan Nadine hingga gadis itu pergi dari rumahnya sendiri. Setetes bening kembali menitik pelan. Hanin benar-benar merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. “Apa yang harus aku lakukan sekarang...?” bisiknya lirih. Bersambung....  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD