3 hari sudah berlalu sejak Alexander dan Alexa pulang kembali ke Indonesia.
Selama itu pula pasangan suami istri tersebut memilih untuk beristirahat sebelum akhirnya kembali beraktivitas seperti biasanya.
Alexa yang kembali pada rutinitas hariannya, yaitu menjadi Dosen di Universitas milik keluarga suaminya, dan Alexander yang juga kembali sibuk pada kegiatannya sebagai CEO di perusahaannya sendiri.
Jika pasangan suami istri tersebut baru saja memulai kembali aktivitas mereka, lain halnya dengan Inez yang sejak kemarin sudah mulai kembali berativitas.
Seperti biasa, Inez sibuk mengelola butik juga restorannya.
Sebenarnya Inez lebih fokus untuk mengelola butik, sedangkan untuk restoran ia percayakan pada tim yang ia buat sendiri. Tim tersebut terdiri dari sekumpulan orang yang sangat ia percayai.
Kemarin Inez tidak pergi ke butik karena kemarin Nesya melahirkan, jadi Inez ada di rumah sakit, menemani Nesya melahirkan. Bukan hanya Inez yang menemani Nesya, tapi ada kedua orang tua Reno dan juga ada Kakak perempuan dari mendiang kedua orang tua Nesya.
Kemarin adalah hari yang sangat menegangkan sekaligus hari yang sangat membahagiakan.
Mereka semua tegang saat menunggu persalinan Nesya berlangsung, tapi begitu Nesya berhasil melahirkan secara normal, dan kedua anak kembarnya lahir dengan selamat, mereka semua luar biasa bahagia.
Kemarin Inez sudah libur seharian penuh, jadi hari ini Inez tidak bisa libur lagi, karena jika ia libur lagi, maka pekerjaannya akan semakin menumpuk.
Pagi ini Inez sudah ada di butik. Inez sibuk mendesain gaun pengantin untuk salah satu klien setianya, lebih tepatnya salah satu temannya yang akan menikah sebentar lagi.
Inez merenggangkan otot kedua tangannya yang terasa pegal setelah hampir 1 jam lebih membuat desain gaun impian sang teman.
Inez sedang mengamati desainnya begitu ia di kejutkan oleh suara ketukan pintu yang cukup nyaring.
"Masuk!" Teriak Inez memberi ijin.
Orang yang tadi mengetuk pintu ruang kerja Inez lantas membuka pintu. Saat mendengar pintu terbuka, Inez mendongak untuk melihat siap orang yang baru saja memasuki ruangannya.
Shock, itulah yang saat ini Inez rasakan begitu melihat siapa orang yang baru saja memasuki ruangannya. "Arsa," gumamnya tanpa sadar.
"Hai." Arsa menyapa Inez dengan senyuman lebar.
Inez berdeham, lalu menghampiri Arsa. Inez mempersilakan Arsa duduk di sofa yang berada tepat di depan meja kerjanya.
Arsa duduk di sofa, sedangkan Inez pergi untuk membuat minuman. "Mau kopi, atau teh?" tanyanya tanpa berbalik menghadap Arsa.
"Maunya kamu." Itulah jawaban yang Arsa berikan.
Inez tidak bertanya lagi, lalu ia membuat minuman yang ia mau dan ia ingin kopi. Sejak tadi pagi, ia memang belum minum kopi, padahal biasanya setelah sarapan ia akan minum kopi.
Arsa beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Inez yang sedang menyeduh kopi.
Inez tahu kalau Arsa melangkah mendekatinya, tapi ia memilih diam, tetap pada posisinya.
Arsa sudah berdiri di belakang Inez, dan Inez bisa merasakan hal itu karena kini Arsa meniup-niup kepalanya.
Arsa melingkarkan kedua tangannya pada pinggang ramping Inez, lalu menumpukan kepalanya di bahu kanan Inez.
"Ar." Inez menggeram, lalu memberi Arsa peringatan tegas agar Arsa tidak lagi meniup-niup leher jenjangnya yang terexpose.
"Kamu marah sama aku," bisik Arsa tepat di telinga kanan Inez. Arsa tidak lagi meniup leher jenjang Inez, tapi kini ia menatap lekat Inez.
Inez diam, tidak menanggapi ucapan Arsa, karena memang ia marah pada pria itu. Itulah alasan kenapa ia memilih mengabaikan Arsa selama 3 hari belakangan ini.
Saat bertemu secara langsung dengan Arsa di rumah sakit, Inez memilih untuk menghindar. Inez juga tidak mengangkat panggilan Arsa, membaca ataupun membalas pesan-pesan yang Arsa kirimkan padanya.
Ada banyak sekali pesan yang Arsa kirimkan pada Inez. Bukan hanya pesan, tapi Arsa juga berulang kali menghubungi Inez, tapi Inez benar-benar mengabaikannya.
Inez sudah selesai membuat kopi, lalu melepas kedua tangan Arsa dari pinggangnya. Inez berbalik menghadap Arsa, saat itulah Arsa mengangkat kepalanya.
"Ada apa kamu datang ke sini? Kamu enggak ke rumah sakit?" Inez bersedakap, lalu mengamati penampilan Arsa, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Arsa tidak memakai jas. Arsa mengenakan kaos hitam polos yang di padu padankan dengan jaket kulit berwarna senada, begitu pun dengan celananya. Semua yang Arsa pakai, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala berwarna hitam.
Ugh, ketampanan Arsa memang naik berkali-kali lipat jika Arsa sudah mengenakan pakaian yang serba hitam. Arsa seperti mafia yang ia lihat di film-film actions Hollywood.
Arsa tidak menjawab pertanyaan Inez, karena sejak tadi fokus Arsa tertuju pada wajah Inez.
Inez menyentil kening Arsa dengan kekuatan penuh. Arsa sontak meringis sambil memegang keningnya, dan saat itu juga Arsa tersadar dari lamunannya..
Inez mendengus, lalu pergi meninggalkan Arsa. Inez membawa cangkir kopi miliknya, sedangkan cangkir kopi milik Arsa biar Arsa bawa sendiri.
Arsa berbalik menghadap Inez, lalu menyusul Inez dengan langkah lebar. Setelah Inez meletakan gelas kopinya di meja, Arsa segera mengangkat tubuh Inez.
Inez menjerit, terkejut dengan apa yang Arsa lakukan. Inez segera membekap mulutnya, takut kalau ada orang yang mendengar teriakannya.
Inez takut kalau para karyawannya berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya dan Arsa. Inez ingin sekali memaki Arsa, tapi jika ia melakukan hal itu, Arsa pasti akan marah padanya. Marah dalam konteks yang berbeda.
Arsa duduk di sofa, dan Inez duduk dalam pangkuannya.
Inez akan memukul Arsa, tapi Arsa menahan tangan kanan Inez, membuat Inez tidak bisa memukul Arsa meskipun ia ingin melakukannya.
Seperti yang sudah Inez duga, Arsa menciumnya. Seperti tidak ada hari esok, karena Arsa menciumnya dengan menggebu-gebu.
Awalnya Inez tidak ingin membalas ciuman Arsa, tapi Inez menyerah, karena pada akhirnya ia membalas ciuman pria itu.
Keduanya terus berciuman sampai Inez merasa pasokan udara di parunya menipis. Inez menggigit bibir bawah Arsa, terpaksa melakukan itu, karena jika tidak, pasti Arsa tidak akan mau berhenti menciumnya.
"Ka-kamu tahu, kita tidak seharusnya melakukan ini," ucap Inez susah payah di sela deru nafasnya yang memburu. Inez tahu kalau apa yang ia katakan sudah terlambat, karena seharusnya sejak dulu ia mengajukan protes pada Arsa.
Inez menatap lekat kedua mata Arsa, begitu pun Arsa yang juga terus menatapnya. Sama seperti Inez, deru nafas Arsa juga tersengal-sengal.
"Tapi aku ingin melakukannya, dan aku hanya melakukan itu sama kamu, hanya kamu." Arsa tidak pernah menyentuh perempuan lain selain Inez, hanya Inez perempuan yang ia sentuh sampai sejauh ini.
"Teman tapi mesra, eh." Inez meledek Arsa, dan sebenarnya meledek dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia selalu bermesraan dengan Arsa, padahal hubungan mereka tak lebih dari sekedar sahabat, bukanlah sepasang kekasih. Jika mereka sepasang kekasih, maka wajar saja jika mereka bermesraan.
"Selama ini kamu juga tidak mempermasalahkannya." Kedua tangan Arsa terangkat, lalu merapihkan untaian rambut Inez yang sedikit berantakan.
Sebenarnya bukan hanya rambut Inez yang berantakan, tapi rambut Arsa juga berantakan. Tadi kedua tangan Inez meremas kuat rambut Arsa, membuat tatanan rambut Arsa jadi berantakan.
Inez menyandarkan kepalanya di bahu kanan Arsa dengan posisi wajah membelakangi leher Arsa. Apa yang Arsa katakan memang benar, selama ini ia juga tidak mempermasalahkannya, masalah muncul ketika ia sadar kalau benih-benih cintanya pada Arsa muncul.
"Iya, dulu aku berpikir kalau aku tidak akan terbawa perasaan, Ar. Aku pikir, perasaan aku sama kamu tidak akan pernah berubah, tetap akan menganggap kamu sebagai teman. Sekarang setelah banyaknya waktu yang kita lalui berdua, aku sadar kalau aku sangat mencintai kamu. Aku sadar kalau aku tidak suka melihat kamu dekat dengan perempuan lain. Aku sadar kalau aku tidak ingin kehilangan kamu." Inez membatin, tersenyum kecut saat tahu kalau Arsa sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.
Astaga! Bisa-bisanya ia jatuh cinta pada pria yang sama sekali tidak mencintainya. Padahal di luar sana ada banyak sekali pria yang mencintainya, meskipun ia tidak tahu apa mereka mencintainya dengan tulus atau karena harta semata. Tapi, pasti ada yang mencintainya dengan tulus, iya kan?
"Ayo kita buat perjanjian."
Inez menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Arsa, lalu menatap Arsa dengan raut wajah bingung. "Perjanjian, perjanjian apa?" tanyanya ingin tahu.
"Kita akan terus melanjutkan hubungan kita yang seperti ini, sampai kita benar-benar menemukan orang yang kita cintai."
Kedua mata Inez membola, tak percaya kalau Arsa akan berkata seperti itu. Inez jadi penasaran, apa sih yang sebenarnya ada dalam pikiran Arsa?
"Bagaimana kalau salah satu di antara kita jatuh cinta. Misalnya, aku jatuh cinta sama kamu, atau kamu yang jatuh cinta sama aku?" Inez menunggu jawaban Arsa dengan jantung berdebar hebat. Percayalah, butuh keberanian besar untuk Inez mengajukan pertanyaan seperti itu pada Arsa.
"Maka kita harus saling jujur." Arsa tersenyum, lalu memajukan wajahnya, mengecup bibir Inez.
Inez mendengus, lalu mendorong wajah Arsa agar menjauh. Inex takut kalau kejadian seperti beberapa menit yang lalu kembali terulang.
"Lalu?" Inez ingin mendapatkan penjelasan yang lebih mendetail, ia tidak puas dengan jawaban yang baru saja Arsa berikan.
"Jika seandainya aku jatuh cinta sama kamu, dan kamu juga memiliki perasaan yang sama, yaitu jatuh cinta sama aku, maka itu sama sekali tidak masalah. Kita bisa melanjutkan hubungan kita, dan mungkin kita bisa melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang yang lebih serius."
Jawaban yang Arsa berikan tak ayal membuat harapan Inez untuk mendapatkan balas cinta dari Arsa melambung tinggi.
Inez jadi berpikir kalau, mungkin ia hanya membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama, juga usaha yang lebih keras agar Arsa bisa balik mencintai dirinya.
"Tapi, bagaimana jika hasilnya tetap sama? Bagaimana jika Arsa tetap tidak mencintai dirinya setelah ia berusaha keras untuk membuat Arsa jatuh cinta padanya?" Pertanyaan tersebut saat ini berputar-putar dalam pikiran Inez. Setelah Inez pikir-pikir, untuk sekarang ia tidak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, ia baru akan mendapatkan jawabannya nanti, setelah ia berusaha keras.
Inez kembali menyandarkan kepalanya di bahu Arsa, kali ini dengan posisi wajah yang menghadap ke leher kekar Arsa. Inez memejamkan matanya, begitu pun dengan Arsa.
"Kenapa kamu diam saja? Kamu tidak suka dan setuju dengan jawaban yang aku berikan?"
Inez membuka matanya, lalu mengangguk. "Aku setuju ddngan jawaban yang tadi kamu berikan."
"Apa itu artinya kita sepakat?"
Inez mengangguk. "Iya," lirihnya.
Tangan kanan inez terulur, membelai jakun Arsa yang sedang bergerak naik turun.
"Baguslah, dan perjanjian tersebut akan berlaku mulai hari ini."
Inez hanya mengangguk. "Kamu belum jawab pertanyaan aku, ada apa kamu datang ke sini?"
"Pertama, aku datang ke sini karena aku ingin menyelesaikan masalah kita. Aku tahu kamu marah sama aku karena kejadian tempo hari, karena itulah aku datang untuk meminta maaf. Kedua, aku datang ke sini karena aku ingin minta tolong sama kamu. Apa nanti sore kamu sibuk?"
"Tidak, memangnya kamu mau minta tolong apa?"
"Antar aku beli kado untuk kedua keponakan aku."
Nesya sudah melahirkan sejak 2 hari yang lalu, dan tentu saja anaknya kembar. Kakaknya berjenis kelamin laki-laki dan adiknya perempuan, lengkap sekali bukan?
Anak pertama Reno dan Nesya di beri nama Adelio, dan anak kedua mereka bernama Adelia. Nama panggilan mereka berdua adalah, Lio untuk Adelio, dan Lia untuk Adelia. Lio dan Lia, sangat lucu juga menggemaskan.
"Jadi kamu belum membeli kado untuk kedua keponakan kamu?" Inez pikir Arsa sudah membeli kado untuk Lio, dan juga Lia. Inez sendiri sudah membeli kado untuk keduanya, dan tentu saja warnanya adalah warna netral.
Arsa menggeleng. "Belum. Kan kemarin aku tidak tahu apa jenis kelaminnya. Laki-laki semua, atau perempuan semua, atau laki-laki juga perempuan."
"Kan banyak barang-barang untuk bayi yang berwarna netral, bisa di gunakan baik oleh laki-laki atau perempuan." Selama hamil, Reno dan Nesya memang tidak ingin tahu apa jenis kelamin anak kembar mereka, karena itulah tidak ada yang tahu pasti apa jenin kelaminnya.
"Tetap saja, aku ingin tahu terlebih dahulu aa jenis kalamin mereka sebelum membeli kado untuk mereka berdua. Jadi, kamu bisa antar aku beli kado atau enggak?"
"Bisa. Aku juga mau sekalian beli kado untuk Ayah." 3 hari lagi Ayahnya berulang tahun, dan ia belum membeli kado untuk sang Ayah. Jadi sekalian aja, Arsa membeli kado untuk Lio dan Lia, lalu ia membeli kado untuk Ayahnya.
Inez sudah tahu kado apa yang ingin ia beri untuk Ayahnya, karena itulah ia bisa langsung datang ke tokonya, tidak perlu mencari terlebih dahulu.
"Ya sudah, sekalian. Aku juga mau beli kado untuk Ayah kamu. Kamu mau kasih kado apa?"
Saat Arsa datang berkunjung, hari masih siang, dan jam makan siang juga belum tiba. Jadi Arsa makan siang di butik Inez, bersama dengan Inez.
Setelah makan siang, Arsa tidak pergi, tapi menemani Inez bekerja sampai sore. Hari ini Arsa memang libur, lebih tepatnya meliburkan diri sendiri, jadi Arsa bisa santai.
Selama Inez bekerja, Arsa sama sekali tidak menganggu, karena ia juga ingin pekerjaan Inez selesai tepat waktu, agar mereka bisa segera pergi berbelanja.