02 - Berdebat - √

1541 Words
  Dokter yang sebelumnya Inez panggil untuk memeriksa kondisi Arsa sudah tiba dan tentu saja dokter tersebut adalah Dion.   Dion sudah terbiasa mengunjungi kediaman Arsa, karena itulah begitu ia tahu kalau pintu utama tidak terkunci, ia masuk tanpa menekan bel terlebih dahulu.   Saat memasuki rumah, Dion bertemu dengan salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di kediaman Arsa.   "Den," balas Bi Ijah ramah. "Den Dion mau periksa Den Arsa ya?"   "Iy Bi, di mana dia?"   "Den Arsa di kamarnya, Den."   "Kamar yang mana nih, Bi?" Kamar yang biasanya Arsa gunakan ada 3, 1 kamar di tiap lantai.   "Kamar yang di lantai 2, Den."   "Ya sudah, Dion naik dulu ya Bi." Dion pamit undur diri dan Bi Ijah pun mengangguk.   Bi Ijah kembali melanjutkan pekerjaan, tapi begitu ia ingat kalau ia belum menawarkan minuman pada Dion, Bi Ijah kembali menolehkan kepalanya pada Dion. "Mau Bibi buatkan minuman apa, Den?" Bi Ijah berteriak karena jarak Dion sudah terlalu jauh.   "Enggak usah Bi, Dion sudah sarapan!" Teriak Dion sesaat sebelum memasuki lift.   "Baiklah," gumam Bi Ijah seraya kembali fokus pada pekerjaannya.   Dion memilih untuk menaiki lift dari pada anak tangga. Membutuhkan waktu yang lama untuk menaiki anak tangga, mengingat jumlah anak tangga di kediaman Arsa sangat banyak. Jika menggunakan lift, tak sampai 1 menit kemudian, D5ion sudah sampai di lantai 3.   Dion memasuki kamar Arsa tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. "Dasar," cibir Dion sambil menggeleng tat kala melihat Arsa dan Inez sama-sama terlelap dengan posisi yang bisa di bilang cukup intim.   Kalau begini caranya, siapa yang tidak akan salah sangka dan berpikir kalau mereka berdua adalah pasangan kekasih atau bahkan pasangan suami istri?   Dion meletakan tas yang ia bawa di meja, lalu ia segera membangunkan Arsa. Seperti biasanya, tak sulit untuk membangunkan Arsa, dan kini Arsa sudah terbangun, tinggal membangunkan Inez.   "Jangan di bangunin," lirih Arsa, melarang Dion ketika Dion akan membangunkan Inez. Arsa tak tega untuk membangunkan Inez, wanita tersebut terlihat pulas sekali. Arsa tahu, pasti semalam Inez begadang untuk menyelesaikan pekerjaannya.   Dion mengurungkan niatnya untuk membangunkan Inez, lalu duduk di samping kiri Arsa. Seperti Dokter pada umumnya, Dion mulai memeriksa kondisi Arsa, juga menanyakan beberapa hal sebelum akhirnya membuat kesimpulan kalau Arsa memang sakit, penyebabnya karena kelelahan dan kurang istirahat.   Dion meresepkan beberapa obat untuk Arsa, tak peduli ketika Arsa menolaknya untuk melakukan hal tersebut. Ya, Arsa menolak dengan tegas ketika Dion akan meresepkan obat untuk pria tersebut.   Padahal tujuan Dion meresepkan obat untuk Arsa agar Arsa cepat sembuh, tidak merasa sakit lagi dan bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala.   "Ini resepnya, nanti di tebus ya." Dion meletakan resep obat yang baru saja ia tulis di nakas samping tempat tidur.   "Obatnya cair atau tablet?"   Dion memutar jengah matanya. "Menurut loe?" tanyanya ketus.   "Cair," lirih Arsa memelas. Arsa berharap besar kalau Dion akan memberinya obat yang berbentuk cair, bukan tablet. Ya meskipun ia tahu kalau tidak semua obat berbentuk cair.   "Enggak ada yang cair, adanya tablet."   "Yah, loe kan tahu kalau gue gak suka minum obat tablet," keluh Arsa memelas.   "Dan loe juga tahu kan kalau gue sama sekali enggak peduli tentang hal itu," balas Dion acuh.   Arsa mendengus, dengan isyarat tangan meminta agar Dion segera pergi meninggalkan kamarnya. Kali ini giliran Dion yang mendengus, tak lupa untuk melabuhkan pukulan di perut Arsa sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar Arsa.   Arsa hanya mengerang, menahan agar ringisan kesakitannya tidak lolos, karena ia tidak mau kalau Inez sampai terbangun.   "Jangan lupa bayar ya!" Teriak Dion sesaat sebelum menutup pintu kamar Arsa.   Dengan cepat, Arsa menolehkan kepalanya pada pintu kamar dan ia melihat Dion yang sengaja meledeknya dengan cara memeletkan lidahnya.   Arsa ingin sekali balas memarahi Dion dengan cara berteriak, tapi ia takut kalau Inez malah akan terbangun saat mendengar teriakannya. Mendengar teriakan Dion saja, Inez sudah terusik apa jadinya jika ia ikut berteriak. Bisa-bisanya Dion berteriak di saat ia saja menahan diri untuk tidak bersuara karena takut membangunkan Inez.   "Dasar teman menyebalkan," gerutu Arsa tanpa sadar.   Arsa memilih untuk kembali tidur, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka untuk tidur berdua dengan Inez. Kapan lagi ia bisa memeluk Inez, karena jika dirinya tidak dalam keadaan sakit, pasti Inez akan menolak satu ranjang dengannya.   1 jam sudah berlalu sejak Dion datang memeriksa kondisi Arsa dan setelah itu Arsa memilih untuk kembali tidur sambil memeluk Inez.   Inez bangun terlebih dahulu, sedangkan Arsa masih terlelap, tertidur dengan begitu pulasnya.   Perlahan tapi pasti, kelopak mata Inez yang sebelumnya terpejam mulai terbuka. Inez menunduk tat kala ia merasakan beban berat yang menimpa pinggangnya.   "Ternyata tangan Arsa," gumam Inez yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri. Bulu kuduk Inez meremang, dan itu semua karena deru nafas hangat Arsa yang menerpa ceruk lehernya.   Inez mengangkat tangan Arsa dari pinggangnya, tapi pelukan Arsa bukannya merenggang, malah semakin erat. Inez memutar jengah matanya saat ia tahu kalau Arsa sudah bangun.   "Lepas dulu Ar, berat tahu," ucap Inez merajuk. Tapi bukannya melepaskan pelukannya dari pinggang Inez, Arsa malah semakin mengeratkan pelukannya, bahkan sampai membuat Inez engap.   "Arsa!" Pekik Inez sambil mencubit tangan Arsa yang melingkari pinggangnya.   "5 menit lagi," gumam Arsa memelas. Arsa sama sekali tidak merasa kesakitan karena cubitan yang Inez berikan sama sekali tidak kuat, rasanya seperti di gigit semut biasa.   Inez menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Inez sedang meredam amarah yang saat ini bercokol dalam relung hatinya. "Baiklah, 5 menit lagi dan setelah itu lepas."   Arsa tidak menanggapi ucapan Inez, tapi Inez bisa merasakan anggukan Arsa.   "Sekarang jam berapa?" Seingat Inez, tadi ketika ia terlelap, ia memakai jam tangan, tapi sekarang ketika ia terbangun, jam tangan yang ia pakai sudah tidak ada. Mungkin Arsa yang melepaskannya, karena tidak mungkin lepas sendiri.   "Jam 11."   "Jam 11?" tanya Inez memastikan dan lagi-lagi Inez merasa kalau Arsa mengangguk.   "Dion sudah datang atau belum?" Jika sekarang sudah pukul 11, maka seharusnya Dion sudah datang memeriksa kondisi Arsa.   "Sudah."   "Kamu sudah di periksa?"   "Tentu saja sudah." Arsa merenggang pelukannya, dan kesempatan itu sama sekali tidak Inez sia-siakan. Inez langsung berbalik menghadap Arsa, sedikit mundur agar jaraknya dan wajah Arsa tidak terlalu dekat.   "Apa kata Dion?"   "Terlalu lelah dan juga kurang istirahat, karena itulah sakit."   "Makanya istirahat yang cukup, jangan terlalu sering begadang." Inez menyentil kening Arsa dan Arsa hanya bisa meringis kesakitan, tanpa ada niat sedikitpun untuk balas menyentil kening Inez.   "Akhir-akhir ini aku lagi sibuk, makanya mau gak mau harus begadang agar pekerjaannya bisa selesai tepat waktu."   "Sibuk apa?"   "Lagi buat rancangan untuk rumah sakit baru."   "Ya kenapa enggak pakai arsitek aja?" Uang Arsa itu tak berseri, masa bayar jasa arsitek saja tidak bisa?   "Ya tetap aja, awalnya harus aku sendiri yang desain, ini itunya mau kaya gimana. Nanti pakai arsiteknya kalau semua rancangan yang aku buat sudah jadi."   "Terserah kamu deh." Lebih baik tidak terus mendebat Arsa karena Arsa pasti tidak akan mau mengalah.   "Capek ya jadi Direktur?" Pertanyaan tersebut sudah sejak lama sekali ingin Inez tanyakan, tapi baru saat ini ia memiliki kesempatan untuk bertanya.   "Iya, capek banget."   "Padahal kelihatannya enak."   "Iyalah kelihatannya memang enak, karena memang enaknya saja yang di tunjukan, saat masa sulitnya sama sekali tidak di tunjukkan."   Sejak kedua orang tuanya meninggal, mau tak mau Arsa mengambil alih jabatan Direktur yang sebelumnya di pegang oleh mendiang Ayahnya.   "Oh iya, apa Dion meresepkan obat untuk kamu?"   Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sama sekali tidak Arsa harapkan. Arsa sudah berharap besar kalau Inez akan melupakan tentang obat, tapi ternyata ia salah. Inez sama sekali tidak melupakannya dan malah mengingatnya dengan jelas.   "Ti-tidak." Arsa menjawab dengan gugup.   Inez menatap mata Arsa dengan tajam dan tatapan tajam sekaligus intens yang Inez berikan membuat Arsa salah tingkah.   Inez tahu kalau Arsa gugup, terlihat jelas dari kedua bola matanya yang bergerak dengan gelisah, menghindari tatapan intens yang ia berikan.   "Jangan berbohong, kamu tahukan kalau berbohong itu dosa." Inez merubah posisinya menjadi duduk, begitu pun dengan Arsa yang ikut duduk. Bedanya, Arsa bersandar di kepala ranjang, sementara Inez duduk di samping kanan Arsa dengan posisi menghadap Arsa.   "Ada resepnya," lirih Arsa pada akhirnya. Lebih baik Arsa jujur dari pada berbohong, karena jika ia berbohong, lalu Inez memilih untuk menghubungi Dion, menanyakan apa pria itu meresepkan obat untuknya atau tidak? Yang di mana pasti Dion akan menjawab dengan jujur pertanyaan Inez, mengatakan kalau pria tersebut meresepkan obat untuknya, maka Inez sudah pasti akan murka padanya dan itu adalah hal yang sangat ingin Arsa hindari.   "Coba lihat resepnya?"   Dengan perasaan malas, Arsa membuka laci nakas di mana tadi ia menyimpan resep obat yang Dion berikan padanya. "Ini," ujarnya seraya menyerahkan resep obat tersebut pada Inez.   "Ya sudah kamu tunggu ya, biar aku belikan dulu obatnya."   "Eh enggak usah beli?"   "Kenapa?" Inez menatap Arsa dengan mata memicing penuh curiga.   "Aku enggak mau minum obatnya."   "Ya gimana kamu mau sembuh kalau kamu sama sekali enggak minum obatnya Arsa?" ucap Inez gemas.   "Kamu tahu sendiri kalau aku tuh gak suka obat dan gak bisa minum obat dalam bentuk tablet."   "Dan kamu juga harusnya tahu kalau orang yang suka minum obat secara suka rela itu sangat langka, siapa sih yang suka banget sama obat? Mungkin memang ada, tapi orang seperti itu langka. Biasanya juga obatnya selalu kamu bubukin sebelum kamu minum."   "Ta–"   "Tidak ada tapi-tapian Arsa," desis Inez tajam.   Arsa tidak lagi membantah dan membiarkan Inez untuk memesan obat tersebut. Arsa sudah bisa membayangkan betapa pahit obat yang nanti akan ia minum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD