Arshaka: bab 2

1831 Words
Beberapa tahun yang lalu, Untuk kedua kalinya aku pulang ke Indonesia di saat libur semester. Niat awalku yang tak ingin pulang ke negara asal karena sudah dua kali ditolak oleh seseorang yang aku sukai sejak masa putih abu-abu, aku urungkan seketika. Penyebabnya masih sama. Aku mendapatkan informasi dari temanku kalau perempuan yang masih bertahta di dalam hatiku itu, sepertinya sedang mempunyai masalah berat. Tanpa berpikir panjang, aku langsung pulang usai ujian akhir semester. Perempuan bernama Meisya yang aku cintai sampai saat ini, benar-benar berpengaruh besar padaku. Aku meminta Dino, teman SMA-ku dulu yang juga otomatis satu sekolah dengan Meisya, membantu perempuan itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan Meisya kalau aku lah yang meminta Dino untuk membantu. Beberapa hari tiba di Bandung, daerah kelahiranku, aku tak langsung menemui Meisya. Aku hanya memperhatikan perempuan itu dari jauh. Hingga aku menemukan keberanian kembali untuk muncul di hadapan perempuan itu. Bukannya apa-apa, aku hanya khawatir Meisya merasa tak nyaman dengan kehadiranku kembali setelah dua kali menolakku. Mencoba untuk mendekati Meisya untuk ketiga kalinya, aku masih berharap jika peluang itu masih ada. Nyatanya, Dino, teman dekatku sejak SMA yang kebetulan satu kampus dengan Meisya memberi kabar mengejutkan. Meisya, perempuan yang dicintai olehku itu sedang hamil. Aku tahu persis bagaimana Meisya. Tak mungkin rasanya perempuan itu melakukan hal tercela. Aku mencari tahu kebenarannya langsung dari mulut Meisya. Karena setahuku, Meisya tak menjalin hubungan asmara dengan siapa pun. Suatu hari, seperti yang sudah aku lakukan beberapa hari belakangan, aku mengantar jemput Meisya ke cafe dari tempat kos perempuan itu. Tempat kos yang aku bantu biayai juga, tanpa sepengetahuan Meisya, yaitu melalui Dino. Tempat kos Meisya berada di tengah-tengah antara kampus dan cafe tempat perempuan itu bekerja paruh waktu. Dan kerja paruh waktu Meisya di cafe itu berasal dari temanku, Dino. Gajinya tak begitu besar, sehingga aku menambah gaji Meisya karena tahu perempuan itu sedang membutuhkan uang. Maklum, Meisya berasal dari keluarga tak mampu. Segitunya pengorbananku untuk Meisya, perempuan yang begitu aku cintai. Hanya menempuh perjalanan sekitar 15 menit saja dengan menggunakan mobilku, aku dan Meisya tiba di depan gerbang kos Meisya. Sebelum Meisya keluar dari mobilnya, aku menahan lengan perempuan itu—membuat Meisya mengernyit. "Ada apa, Ka?" Walau di dalam hatiku ragu, aku ingin tahu kebenaran atas berita yang disampaikan oleh Dino siang tadi. Semisal itu benar adanya, aku yakin, Meisya pasti punya sesuatu maha dahsyat yang tengah disembunyikannya. Pasti ada sesuatu dibalik kehamilan perempuan itu. "Emm, a-aku mau nanya sesuatu," ucapku hati-hati. Aku takut Meisya tersinggung akan pertanyaanku, tapi aku sungguh penasaran. "Mau nanya apa? Tanya aja." Meisya memutar duduknya menghadap padaku. "Ka-kamu... apa sedang hamil?" Bukannya tersinggung, Meisya malah tersenyum menanggapi pertanyaanku. "Iya, aku memang lagi hamil," jawab Meisya santai, terlalu santai malah. Aku menggelengkan kepala. Masih saja sulit untuk percaya walau aku sudah mendengarnya langsung dari mulut Meisya. "Gimana ceritanya, Sya?" tanyaku nanar. "Aku nggak percaya." "Percaya atau enggak, emang begitu kenyataannya. Panjang ceritanya dan aku rasa, nggak ada yang perlu aku jelasin sama kamu." Meisya memutar kembali duduknya menghadap ke depan. Aku menatap Meisya dengan tatapan sendu. Meisya dari luar tampak tegar, namun aku tidak tahu bagaimana di dalam hati perempuan itu. "Oke, kalau kamu nggak mau cerita. Tapi, apa lelaki yang sudah menghamili kamu mau bertanggung jawab?" "Aku mau masuk ke dalam kos, Ka." Meisya mengalihkan, tak menjawab pertanyaanku. Meisya segera membuka pintu mobil dan keluar. "Sya, tunggu!" Aku ikut keluar dari mobil dan meraih tangan Meisya. "Apa lagi, Ka?" tanya Meisya lirih. Hatiku rasanya diremas, ikut nyeri merasakan kesedihan Meisya. Perempuan di depanku saat ini sudah mengeluarkan air mata. Tanpa ragu,aku membawa Meisya ke dalam dekapanku. Memeluk perempuan yang sedang menangis itu dengan rasa sayang. "Rasanya sakit banget, Ka. Sakit... " lirih Meisya di dalam pelukanku. "Jangan sedih lagi, ada aku di sini. Aku janji, akan selalu ada untuk kamu." Meisya menggelengkan kepala. "Nggak, Ka. Kamu nggak bisa! Kamu harus mengejar impian kamu di luar negri sana." "Aku akan pindah ke sini, biar bisa terus jagain kamu," jawabku enteng, tanpa berpikir panjang. "Aku bisa jaga diri sendiri." Aku menggeleng. "Aku cinta sama kamu, Sya! Selalu... dan nggak akan pernah berubah. Jadi tolong, biarin aku menjaga kamu dan... calon bayimu. Kalau kamu bersedia, aku mau menjadi ayah dari anak yang sedang kamu kandung." Segitu besarnya rasa cinta yang kumiliki untuk Meisya hingga ingin menikahi perempuan itu, walau sedang hamil anak lelaki lain. Begitu tahu siapa lelaki yang menghamili Meisya, aku langsung menghajar orang itu. Ternyata, lelaki itu adalah orang yang mantan kekasihnya sahabat Meisya sendiri. Yang sejak aku pulang pada libur kuliah semester lalu, lelaki itu tampak beberapa kali menemui Meisya. Aku tidak menyangka bahwa Meisya berhubungan dengan lelaki bajingann seperti itu. Meisya bungkam, tidak menceritakan kenapa bisa dirinya mengandung darah daging lelaki bernama Mario itu. Aku sudah bisa menebak jika Meisya dipaksa oleh Mario yang entah apa alasannya. Tak lama setelah aku baku hantam dengan Mario, lelaki yang menghamili Meisya tersebut kecelakaan. Dan Meisya, yang aku tahu telah kecewa berat dengan lelaki yang tidak mau bertanggung jawab itu, memintaku untuk menemaninya ke rumah sakit demi melihat keadaannya lelaki itu. Di sana, aku bisa melihat bagaimana khawatirnya Meisya terhadap kondisi Mario yang terluka cukup parah. Apa Meisya mencintai pria itu? Di dalam mobil perjalanan pulang dari rumah sakit, aku lebih banyak diam. Hingga Meisya bersuara lebih dulu dengan mengatakan suatu hal di luar dugaanku. "Ka... a-aku, aku mau menikah sama kamu." Aku tentu saja saja terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Aku tidak salah dengar, bukan? Aku menepikan mobilnya dan berhenti. Aku menatap Meisya lekat. "Kamu bilang apa barusan, Sya? Aku nggak salah dengar?" Perempuan yang berada di sampingku itu menggeleng pelan. "Kamu nggak salah dengar, Ka." Mesiya meraih tanganku dan menggenggamnya. "Aku memang belum mencintai kamu saat ini. Tolong bantu aku untuk jatuh cinta padamu." Aku meraih Meisya ke dalam dekapanku. "Aku akan membuat kamu jatuh cinta hanya padaku saja." "Ngelamun?" Aku tersentak begitu mendapati tepukan pelan pada bahuku. Aku tersenyum begitu mengetahui siapa pelakunya. "Kenapa?" tanya seseorang yang merupakan sahabatku sejak SMA. Kami dekat, namun sejak lulus sekolah masing-masing dari kami jarang bertemu sejak sibuk kuliah. Dia di Belanda, sedangkan aku di Jerman. Aku tak lama di Jerman, namun dia malah akhirnya bekerja di sana usai kuliah. Namanya Nindya, dia adalah teman curhatku, termasuk tentang kisah asmaraku yang bertepuk sebelah tangan kepada Meisya. Selain keluarga, aku tak banyak berbicara dengan lawan jenis, kecuali Nindya ini. "Masih belum move on dari Meisya?" Aku terkekeh. "Enggak juga. Ini kebetulan posting-an nya lewat beranda gue aja." Aku membalikkan ponselku. Move on bukan berarti sepenuhnya lupa dengan orang yang pernah dicintai, bukan? Aku barusan hanya teringat lada masa laluku ketika melihat posting-an pada akun media sosial milik Meisya. Sudah 6 tahun berlalu dan Meisya sudah bahagia sekarang dengan pilihannya. Dia mempunyai 3 anak dengan seseorang dulu menghamilinya sebelum menikah. Aku ikut bahagia karena lelaki itu sudah berubah. "Gue ke sini mau ngajakin lo makan siang. Yuk!" "Ke mana?" Nindya mengedikkan bahunya. "Keluar aja dulu. Entaran pikirin kalau udah di jalan." "Entar muter-muter nggak jelas." "You know me so well." Aku memutar bola mata. "Nggak pakai lama, ya? Gue mau ada yang dikerjain." "Siap, Pak CEO!" Pada akhirnya, kami makan di Grand Indonesia karena Nindya hendak membeli sesuatu juga di sana. Di saat kami sedang makan, layar ponselku menyala. Ada panggilan masuk dari seseorang yang merupakan tunanganku selama 2 tahun belakangan ini. Kami sudah kenal sejak 6 tahun yang lalu karena sebuah perjodohan dan baru bertunangan setelah perempuan itu lulus kuliah. Usianya 2 tahun lebih muda dariku, namanya Chintya. "Kok nggak diangkat teleponnya, Ka?" tanya Nindya. "Bukan telepon penting," jawabku. Biasanya, Chintya pada jam makan siang ini menghubungiku hanya untuk bertanya apakah aku sudah makan atau belum, makan siang di mana dan lainnya yang bagiku hal tersebut tidak penting. Aku pun mematikan ponselku. Nindya manggut-manggut. "Weekend ini temenin gue jalan-jalan dong, Ka. Ada acara nggak lo?" "Mau ke mana emangnya?" "Terserah. Muter keliling Jakarta jugga boleh. Maklum udah lama enggak balik Indo, kayaknya udah banyak yang berubah di sini." "Iya, sih. Jakarta udah beda banget sekarang." "Makanya. Temenin, ya?" "Hmm." *** Aku baru menyalakan lagi ponselku ketika sudah berada di kantor kembali. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan notifikasi pesan dari Chintya. Perempuan itu benar-benar berisik sekali. Dia tetap ceria dan sering menghubungiku walau sikapku dingin dan cuek padanya. Bukannya apa-apa, aku belum bisa mencintai perempuan itu walau sudah beberapa tahun bersama. Papa dulu menentang keras ketika aku ingin menikahi Meisya. Lalu, menjodohkanku dengan anak temannya yang bernama Chintya itu. Aku bisa apa? Sebagai anak pertama dan laki-laki satu-satunya di keluarga, aku tak bisa menolak keinginan papa. Mama juga memohon padaku agar merelakan Meisya saat itu. Mama yang pada awalnya merestuiku dengan Meisya, tak bisa berkata apa pun ketika papa sudah memutuskan sesuatu. Akan tetapi, setelahnya mama menyukai sosok Chintya yang dijodohkan denganku itu. Sebenarnya Chintya adalah perempuan yang baik dan juga cantik. Hanya saja hal itu lantas membuatku jatuh hati padanya hingga saat ini. Aku tak memiliki perasaan apa pun padanya, namun entah kenapa tak ingin juga membatalkan perjodohan kami. Ketika papa bertanya tentang kapan waktunya menikahi perempuan itu, aku menjawab jika ingin memajukan perusahaan terlebih dahulu. Sedangkan dari pihak Chintya, mereka hanya menunggu waktunya tanpa bertanya. Ponselku kembali berbunyi, layar ponselku memunculkan nama Chintya. Aku ogah-ogahan mengangkatnya. “Kenapa?” “Kamu di mana?” “Kantor.” “Udah makan siang?” Tuh kan, apa juga kataku, dia hanya menanyakan sesuatu yang tidak penting. “Udah.” “Ooh. Apa kamu melupakan sesuatu, Kak?” Keningku berkerut. Perasaan, aku tidak melupakan apa pun. “Apaan?” “Kamu belum baca chat dariku.” “Iya. Entar gue baca.” “Oh, ya udah.” “Matiin. Gue mau lanjut kerja.” “Oke, Kak. Maaf udah ganggu waktu Kak Shaka.” “Hmmm.” Tanganku menyentuh layar ponsel dan membuka beberapa pesan tak terbaca dari tunanganku itu. Chintya Aluna Kak Shaka, jadi lunch bareng, kan? Kamu udah janji kemarin Di resto Bunaya aja, ya? Di tengah2 antara kantor kita, jadi adil Kak Shaka Kak? Lagi sibuk? Aku on the way Nanti Kak Shaka nyusul aja Kak, kok ga ada kabar Telepon aku di reject ? Skrg malah ga aktif Kenapa janji, klo gabisa nepatin? Aku menepuk jidatku. Aku lupa jika kemarin menjanjikan makan siang dengannya hari ini. Tidak jadi ikut makan malam bersamanya malam itu, aku bilang kemarin jika akan menggantinya hari ini dengan makan siang berdua saja. Dia kemarin berkata jika papa dan mamanya pergi ke rumah saudara mereka di luar kota hari ini. Merasa bersalah, aku menghubungi perempuan itu. “Chin, sorry tadi gu— “ “Enggak apa-apa. Bisa lain hari aja.” “Nanti malam lo sibuk?” “Aku ada janji pulang kantor sama teman.” “Ya udah, lain hari kita atur lagi.” “Iya, Kak.” “Sekali lagi, maaf. Gue beneran lupa.” Aku meletakkan ponsel di atas meja dan memijit keningku. Chintya, perempuan itu tak pernah marah atas sikapku padanya. Dan aku yang kadang berjanji, namun lupa dengan janjiku itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD