"Happy anniversary, Mas ...," ucap Almira seraya memeluk punggung suaminya dari belakang.
Sandi yang tengah memasang dasi lantas mengulum senyum. Kemudian dia membalik badan lalu berucap, "Happy anniversary juga, Al." Mengecup puncak kepala sang istri yang dinikahinya sejak tiga tahun yang lalu.
Almira tersipu diperlakukan demikian mesranya oleh Sandi. Sangat jarang sekali suaminya ini bersikap hangat. "Mas enggak lagi demam 'kan?" tanyanya sembari menempelkan punggung tangan ke kening Sandi yang sekarang ini mengerutkan alisnya.
"Kok, nanyanya malah gitu?" Sandi memindai wajah Almira yang terkekeh.
Almira merasa lucu dengan tingkah Sandi yang menurutnya tidak seperti biasa. "Habisnya Mas kayak bukan Mas Sandi yang aku kenal. Yang datar dan lempeng. Heheeee..." cicitnya disusul dengan gelakan tawa.
Sandi yang merasa disindir sontak tercenung.
Sebenarnya dia hanya sedang berusaha merubah sikap. Selama ini Sandi jarang bersikap romantis kepada Almira. Jangankan bersikap romantis, memerhatikan Almira saja bisa dihitung dengan jari.
Telapak tangan Sandi terjulur ke belakang kepala Almira. Mengelus lembut rambut hitam sebahu itu seraya berkata, "Mas 'kan lagi usaha ini, Al. Kamu emang enggak suka kalau mas berubah, hem?"
Almira yang tingginya tak seberapa lantas berjinjit guna mengecup pipi Sandi. "Aku sih seneng banget kalau Mas akhirnya bisa berubah. Enggak lagi cuek dan datar sama aku. Kalau bisa sih Mas kayak gini setiap hari," pintanya yang tak pernah banyak menuntut.
Bagi Sandi—Almira adalah perempuan baik dan penyabar. Namun entah kenapa dia belum bisa mencintainya. Tak ada sedikit pun getaran di hatinya, padahal mereka sudah sangat lama membina rumah tangga.
Pernikahan yang seharusnya dilandasi dengan cinta dan kasih sayang, justru berbanding terbalik dengan pernikahan Sandi dan Almira yang hanya dilandasi oleh perjodohan dan keterpaksaan.
Mereka memang hidup bersama layaknya sepasang suami dan istri. Tinggal satu atap dan tidur di ranjang yang sama pula. Akan tetapi, hubungan mereka hanya sebatas itu tanpa pernah ada kemajuan. Bukannya Sandi dan Almira tidak ingin berusaha untuk membuat pernikahannya lebih berwarna dan lengkap.
Hanya saja bayangan masa lalu selalu menjadi penghalang bagi Sandi yang ingin berubah. Bayangan wajah seorang wanita cantik yang hingga detik ini masih tertanam di lubuk hatinya yang terdalam.
"Aku berangkat dulu. Udah siang," ucap Sandi seolah mengalihkan pembicaraan. Dia selalu saja bersikap tak acuh jika Almira menyingung hal itu.
Almira yang sudah terbiasa cuma mengangguk lemah. Dia tidak pernah bisa memaksa Sandi karena dia sadar dengan posisinya saat ini.
"Hati-hati Mas. Nanti sore jangan terlambat pulang. Kita 'kan udah ada rencana buat ngadain pesta di hotel. Nanti bakal ada kakak sepupu aku dari Malang yang satu Minggu lalu baru aja nikah. Sekalian mau ngenalin istrinya."
Sandi mengangguk kemudian berucap, "Mas usahain pulang cepet. Semoga enggak ada meeting dadakan kayak kemaren." Berjalan ke arah pintu lalu keluar dari sana dengan tergesa.
Almira menghela napas panjang.
"Hfuuh ..."
**
Sopir segera membukakan pintu mobil, begitu melihat sang majikan muncul dari pintu.
Sandi terlihat sangat gagah dan menawan dengan balutan kemeja dan jas berwarna senada—warna biru laut. Dasi berwarna hitam dengan garis vertikal menjuntai di dadanya yang bidang.
Warna kulit eksotis serupa dengan warna rambut dan manik matanya—yaitu cokelat alami. Sandi Himawan terlahir dengan kesempurnaan bak mahakarya yang tiada duanya. Pesonanya tak terelakkan lagi meski usianya di atas kepala tiga.
"Pagi, Tuan," sapa sang sopir pribadinya yang usianya jauh lebih tua—pak Budi namanya.
Sandi mengulas senyum ramah serta anggukan kepala. "Pagi, Pak Budi." Tubuh tingginya membungkuk lalu masuk ke mobil dan duduk tenang di kursi penumpang.
Pintu mobil lantas ditutup Pak Budi dengan segera. Kemudian sedikit berlari mengitari mobil Alphard hitam keluaran terbaru itu lalu stay di bangku kemudi.
"Bismillah ...," ucapnya sebelum menginjak pedal gas perlahan dan membawa mobil itu keluar dari halaman rumah Sandi.
Sang majikan tersenyum melihat kebiasaan sopirnya ini. Sandi mulai mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Dia bermaksud menghubungi seseorang yang dimintai tolong untuk mencarikan hadiah.
**
"Oke. Kirim hadiahnya nanti malam di Hotel Shangrila, jangan sampai terlambat," tukasnya lalu mengakhiri panggilan.
Sandi memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Tangan kokohnya mengendurkan tali dasi yang sedikit mencekik, helaan napas panjang berembus dari hidungnya.
Pandangannya mengarah pada jendela mobil yang sengaja dia buka sedikit bagian atasnya. Semilir angin segar di pagi hari cukup melegakan rongga dadanya yang terasa sesak.
"Kenapa harus di tanggal yang sama? Takdir seolah mengejekku." Mulut Sandi bergumam dengan diiringi tawa sumbang.
Tatapannya begitu nyalang menatap setiap kendaraan yang berseliweran mendahului mobilnya. Hati Sandi berdenyut nyeri mengingat jika hari ini merupakan hari di mana dia dan mantan pujaan hatinya memutuskan untuk mengakhiri jalinan asmara mereka.
Miris.
Satu kata itulah yang pantas menggambarkan perasaan Sandi saat ini. Setiap tahunnya dia seperti Dejavu kala hari ini tiba. Antara harus bahagia atau sedih. Sandi seolah bingung menyikapi.
Almira sempat merengek memintanya supaya mau merayakan hari jadi mereka. Dan dengan berat hati Sandi menyetujui permintaan istrinya itu. Mengadakan pesta di sebuah Hotel paling ternama yang ada di kota Surabaya.
Almira begitu antusias ingin mengundang para kerabat dekat dan teman-temannya seprofesi.
"Aku ingin belajar melupakanmu dan belajar mencintai Almira. Bisakah kamu pergi dari ingatanku? Memberiku kesempatan untuk bahagia dengan istriku."
Sandi merogoh saku celananya dan mengambil sesuatu dari dalam sana.
"Mulai detik ini aku akan melupakan semua kenangan yang berhubungan denganmu. Termasuk cincin ini," ujarnya seraya menatap cincin yang di dalamnya terdapat inisial nama seseorang.
Lalu tiba-tiba saja mobil yang ditumpangi berhenti mendadak hingga membuat Sandi tersentak nyaris tersungkur ke depan. Cincin yang digenggam pun turut terlempar entah ke mana.
"Ma-maaf Tuan. Maaf." Pak Budi segera meminta maaf lantaran hampir mencelakakan majikannya. Pria paruh baya itu tampak memucat.
"Sebenarnya ada apa, Pak? Kenapa ngerem mendadak?" tanya Sandi sambil fokus mencari-cari cincin tersebut di bawah kakinya.
"Tadi ada anak sekolah main nyelonong aja. Saya jadi kaget terus ngerem mendadak," jelas pak Budi dengan terbata-bata. Nampaknya dia benar-benar syok.
"Ya udah. Lain kali lebih hati-hati lagi." Sandi masih fokus mencari cincinnya yang jatuh entah ke mana. "Ke mana lagi cincinnya?" gumamnya.
Setelah syok-nya mereda, pak Budi lantas melajukan mobilnya kembali, sedangkan Sandi nampak frustrasi lantaran belum menemukan cincinnya.
**
Sementara itu Almira tengah bersiap menuju butik langganannya. Hari ini dia ada janji mengambil gaun pesta yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Perempuan berparas ayu itu sangat antusias dalam mempersiapkan pesta hari jadi pernikahannya dengan Sandi.
Sampai-sampai Almira memesan baju couple dengan suaminya itu. Paras ayunya kian memancarkan rona bahagia kala kado yang telah dipersiapkan olehnya sudah siap.
"Entar malem Mas Sandi pasti terkejut. Aku yakin dia enggak bakalan nolak," seru Almira yang tak henti menyunggingkan senyuman di bibir ranumnya.
Selepas itu Almira bergegas menuju garasi dengan langkah kaki lebar-lebar hingga menimbulkan suara hentakkan heels di lantai marmer rumahnya yang mewah.
Almira yang berprofesi sebagai model sudah terbiasa memakai sepatu berhak tinggi. Meski badannya tidak terlalu tinggi seperti model-model biasanya. Namun, itu sama sekali tidak mengurangi kadar kecantikan Almira yang khas wanita Jawa pada umumnya.
Almira lahir dan tumbuh di Surabaya. Lulus kuliah dia melanjutkan studinya di dunia modelling selama hampir dua tahun di Paris. Kemudian memulai karir sebagai model sekitar dua tahun.
Tak lama dia pun dijodohkan dengan Sandi yang kebetulan pada saat itu melakukan hubungan kerja sama. Orang tuanya dan orang tua Sandi adalah teman lama. Demi baktinya kepada orang tua yang selalu mendukungnya, Almira menyetujui perjodohan ini.
Namun, di hari pertama dia menikah justru dikejutkan dengan kenyataan pahit. Pernyataan Sandi di malam pengantin mereka menjadi hal yang tidak akan pernah Almira lupakan seumur hidup.
Almira memaklumi perasaan Sandi dan menghargai setiap keputusan lelaki itu. Sebagai istri, Almira tak hanya belajar memahami Sandi. Dia juga berusaha untuk menjadi perempuan satu-satunya di hati Sandi, menggeser posisi wanita yang lebih dulu bersemayam di hati suaminya.
Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ketulusan cinta Almira nampaknya belum terbalaskan hingga sekarang. Sandi—suaminya masih enggan membuka pintu hatinya.
Almira tak pernah mempermasalahkan itu semua. Toh selama ini Sandi masih bersedia berada di sampingnya, walau lelaki itu belum sepenuhnya menjadi miliknya.
****
Almira turun dari mobilnya begitu terparkir tepat di depan butik langganannya.
"Hfuuh ... akhirnya sampai juga." Seringai lebar menghiasi paras ayunya. Almira sudah tidak sabar ingin mencoba gaun pesta buatan sahabatnya.
##
bersambung...