Beginning and End

1954 Words
Aku berlari secepat yang aku bisa. Tidak peduli rambutku yang berantakan, atau seragam sekolahku yang mulai menyerap keringat. Saat ini yang kupedulikan hanyalah, bagaimanapun caranya aku harus sampai ke sekolah sebelum gerbangnya ditutup. Sialan. Padahal jarak antara flatku dengan sekolah sangatlah dekat. Hanya 10 meter, dan aku masih terlambat. Oh ayolah, seandainya ada orang tua atau saudara yang bisa membangunanku di pagi hari, aku pasti tidak akan pernah terlambat. Tapi sayangnya orang tuaku memilih membeli 1 unit flat di dekat sekolah dan meninggalkanku sendiri untuk perjalanan bisnisnya. Dulu aku sering dibawa dan berpindah-pindah sekolah. Tapi karena saat ini umurku sudah menginjak 16 tahun, aku harus mandiri dan serius mengurus sekolah. Kembali ke realita. Aku baru saja menyelinap masuk dari gerbang yang akan ditutup. Astaga sekarang aku jadi bangga punya badan sekurus ini. Setelah tersenyum manis pada satpam yang memandangku kesal, aku lanjut berlari sambil berdoa semoga guru yang mengajar jam pertama juga kesiangan. Tapi sayangnya guru tidak pernah kesiangan. Apa mungkin para guru itu di kehidupan sebelumnya hidup sebagai prajurit perang? Kenapa mereka tidak pernah terlambat untuk meringankan beban muridnya? “Song Hara, terlambat lagi? Baru kelas 10 sudah seperti ini, mau jadi apa kau nanti ha!? Kau baru bersekolah selama 2 bulan dan sudah terlambat lebih dari 20 kali,” benar kan yang kubilang, baru datang saja sudah begini. Astaga guru satu ini. “Begini ssaem, tadi aku harus menunggu kakakku memperbaiki motornya agar aku bisa ke sekolah. Ssaem tau sendiri kan rumahku sangat jauh dari sekolah? Aku minta maaf sudah terlambat hari ini, aku janji besok tidak akan terlambat lagi,” “Aku sudah menghubungi ibumu kemarin. Beliau bilang kau anak tunggal dan tinggal sendiri di flat dekat sekolah. Jadi berhenti membual dan pergilah ke gudang belakang sampai jamku selesai,” s****n. Aku tidak bisa menjawab jika sudah begini. Bukan karena kehabisan alasan, tapi karena aku tidak mau dianggap sebagai murid tidak tau diri yang melawan kalimat gurunya. Jadi dengan lapang d**a aku akan melaksanakan hukuman yang diberikan, hitung-hitung refreshing karena aku juga bosan jika diam dikelas. Jadi disinilah aku sekarang, gudang belakang sekolah yang tidak terawat. Gelap dan penuh debu. Untung saja aku tidak disuruh membersihkannya. Tapi tetap saja, sangat membosankan jika berdiam diri begini. Oh, aku tau. Bagaimana jika aku memanggil teman rahasiaku untuk datang? Aku punya teman rahasia yang tidak kuketahui benar mahluk apa dia ini. Alien kah? Atau peri? Atau sejenis troll? Aku tidak tau jelasnya. Aku bertemu dengannya sekitar 3 bulan yang lalu, saat mulai tinggal sendiri lebih tepatnya. Awalnya kupikir dia teman khayalan yang datang karena aku kesepian, tetapi setelah beberapa saat, akhirnya aku sadar bahwa dia bukan sekedar khayalanku. Setelah itu aku memberinya nama dan tempat tinggal. Walaupun dia tidak meminta sih. “Astaga! Kenapa kau memanggilku lagi? Bukankah semalam kau sudah memanggilku? Kau tidak boleh bertemu denganku terlalu sering Song Hara. Itu akan membuatmu gila, sungguh,” lihatlah, begitu datang mahluk di depanku langsung menceramahiku dengan sangat imut. Astaga, wujudnya itu anak umur 8 tahun dengan pipi gembul dan rambut Panjang yang dikuncir dua. Bagaimana bisa anak sekecil itu menceramahinya? “Diamlah cink, aku sedang sangat bosan dan kau harus menemaniku,” setelah itu dia kembali mengomel tentang ini-itu yang jelas tidak kudengarkan. Sampai akhirnya dia lelah sendiri dan memilih mendengarkan ceritaku. Omong-omong, namanya Cink. Aku mengambilnya dari kata ‘Tink’ pada nama Tinkerbell. Sudah kubilang kalau Cink itu mirip peri bukan? Aku membicarakan banyak hal dengan Cink sampai waktu istirahat tiba. Tidak peduli walau hukumanku hanya 2 jam pelajaran. Kan nanggung jika tidak diteruskan. Jadi, setelah mendengar bel istirahat berbunyi, aku segera menyuruh cink pergi lalu kembali ke kelas.-tanpa menyadari keberadaan seseorang yang ditugasi untuk menjemputnya sejak jam kedua selesai. [] Suasananya sangat nyaman. Itu yang bisa kugambarkan dari kafe bernuansa vintage yang sedang kukunjungi ini. Jika ada yang bertanya alasan kedatanganku kesini, akan aku jelaskan.  Seminggu yang lalu, tepat setelah aku pergi dari gudang belakang, teman sebangkuku menjelaskan jika ada tugas kelompok yang akan kita kerjakan bersama. Tugas bahasa Inggris katanya. kami akan mewawancarai orang luar yang memiliki pekerjaan di bidang psikologi. Dan untungnya temanku itu punya kenalan psikiater. Itulah alasan mengapa aku rela hari liburku tidak dihabiskan di kamar. Setelah temanku datang, dia langsung mengajakku pergi ke tempat psikiater itu. Padahal aku masih ingin menikmati suasana kafe ini. “Hei Song Hara, kau tau namaku tidak?” Dia membuka percakapan setelah beberapa saat perjalanan. Eh, tunggu. Dia menanyakan nama? Namanya siapa ya, aku baru ingat jika aku tidak mengenal banyak temanku. Padahal orang ini teman sebangkuku. “Sepertinya tidak ya, baiklah. Mulai sekarang kau harus ingat namaku ya. Namaku Kang Sangmi. Ingat dan jangan pernah lupa, okay?” Aku hanya mengangguk melihatnya memperkenalkan diri. Lalu hening kembali sampai kami tiba di sebuah rumah bercat putih. Saat masuk, hal pertama yang menyambutku adalah seorang lelaki tua berumur sekitar 50an sedang duduk di kursi kerjanya yang berada tepat di depan pintu. Apa dia yang akan kami wawancarai? “Selamat datang. Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Coba kuingat, Kang Sangmi dan… Song Aera atau Song Hara?” Aku mengernyitkan dahiku. Bingung. Siapa Song Aera? “Hara. Namanya Song Hara. Begini Paman, kemarin aku sudah menceritakan semuanya kan? Kami sangat butuh bantuan anda untuk hal ini. Apa anda bisa membantu paman?” Setelah mengatakan itu, aku mendengar psikiater yang Sangmi panggil ‘Paman’ itu terkekeh sebentar. “kau ini. Tidak bisakah basa basi dulu? Anak muda jaman sekarang tidak sabaran sekali. Nah, aku sudah menyiapkan ruang periksa. Ayo Song Hara. Sudah lama sekali kau tidak kontrol,” tunggu dulu. Apalagi ini? “Eh, maaf Paman. sepertinya anda salah paham. Saya kemari bukan untuk periksa atau sejenisnya. Kami datang untuk mewawancarai anda karena ada tugas dari guru kami,” aku berusaha menjelaskan kepada orang ini. Sepertinya dia salah paham dan mengira aku pasiennya. “Loh? Sangmi bilang kalian juga butuh video dokumentasi kegiatan kan? Tapi karena Sangmi sudah sering mencoba, jadi hari ini kau yang akan kuperiksa,” kulirik Sangmi yang hanya mengedikkan bahu, menyuruhku agar ikut saja. Huft. Padahal kukira akan mudah karena aku pandai Bahasa inggris.Tapi ternyata  ini tidak akan semudah itu. []   Aku terkejut saat membuka mataku. Bagaimana tidak?! Tiba-tiba saja aku berada di sebuah taman! Bukankah tadi aku bersama Sangmi dan Paman Psikiater—oh tunggu. Aku mengerti sekarang. Jadi ini sejenis alam bawah sadarku begitu? Atau aku sedang di surga? Karena, well, taman ini sangat indah. Pohon-pohon berbuah matang tersebar di berbagai tempat. Orang-orang bersantai menikmati sore mereka dan anak-anak berlari kesana kemari. “TINK!! AYO KITA PANJAT POHON ITU! LIHATLAH BUAHNYA SANGAT BANYAK!! ASTAGA SEPERTINYA SANGAT LEZAT,” Eh? Bukankah itu suara Cink? Kenapa bisa ada Cink disini? Apa aku ada di dunia lain? Alamnya Cink mungkin? Yah, setidaknya ada orang yang kukenal disini. Sepertinya aku harus memanggil Cink agar tidak sendirian seperti ini. “CINKKK!!!!!!” Oh. Itu bukan suaraku. Anak kecil yang berlari mendekati Cink itu mendahuluiku untuk meneriaki namanya. Tapi tunggu. Mataku membelalak saat melihat melihatnya lebih jelas. BAGAIMANA TIDAK?! WAJAH DAN TUBUHNYA SANGAT MIRIP DENGAN CINK! BUKAN-BUKAN. MEREKA SANGAT SAMA! Yang membedakan hanyalah rambutnya. Rambut Cink jelas dikuncir dua. Sedangkan anak ini dikuncir satu seperti ekor kuda. Selain itu, nihil. Tidak ada perbedaan sama sekali. Apa anak ini kembaran Cink? Cink punya saudara kembar identik? Dan dia tidak menceritakannya padaku?! s**l. “Tink, ayo kita panjat pohon itu! Aku ingin makan buahnya,” jadi kembaran Cink namanya Tink? Bukankah kebetulan yang sangat pas? Aku mengurungkan niat untuk memanggilnya. Memilih untuk memperhatikan tingkah menggemaskan mereka saja. “Huh? Sudah kubilang kan, tidak ada kita-kitaan. Biar aku saja yang mengambilkan untukmu. Aku itu kakakmu. Kau masih kecil, jadi jangan berani-berani memanjat pohon tinggi itu, hm?” Wah. Ternyata Tink itu kakaknya. Dan tingkahnya yang sok dewasa itu sangat imut astaga. Aku agak khawatir. Pohon ini agak tinggi. Tidak, pohon ini memang sangat tinggi. Apalagi untuk anak seperti mereka. Yang benar saja! Untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan, aku memutuskan untuk menghampiri mereka berdua. ‘CINK! TINK! SEPERTINYA POHONNYA TERLALU TINGGI. BIAR AKU YANG MENGAMBILKAN YA?’ Tidak ada respon. ‘CINK!!’ Masih tidak ada respon. Kulihat Tink mulai memanjat pohon itu. Tunggu. Tidak boleh! ‘HEI! TURUN! BERBAHAYA DISITU! BIARKAN KAKAK YANG AMBILKAN EOH! TURUN! KUMOHON TURUN!’ Suaraku lenyap. Aku baru sadar setelah berteriak histeris tadi, jika ternyata tidak ada yang bisa mendengarku. Air mataku mulai turun. Ini menyeramkan. Entah kenapa dadaku agak sesak. Aku berusaha menyusul tink ke atas pun tidak bisa. Iya. Badanku menjadi tembus pandang. Aku tidak bisa menyentuh apapun, dan tidak ada yang bisa mendengarku. Kehadiranku disini tidak dirasakan oleh siapapun. Seperti Cink di duniaku. Tunggu. Bukankah seharusnya Cink bisa melihatku? Aku kembali berteriak. Lebih kencang. Dihadapan Cink. Teriak hingga tenggorokan dan dadaku sakit. Tapi yang kudapatkan hanya tatapan sendu dari Cink. Tatapan yang tidak kumengerti. Tapi, itu berarti Cink tau keberadaanku kan? Lantas kenapa dia diam seperti ini? Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti arti tatapan itu. Aku tidak mengerti apa yang sedang  terjadi. Tapi, saat mendengar teriakan Tink diatas sana, sepertinya aku mulai paham. Aku mulai paham keadaanya saat tink terus berteriak sambil menangis karena banyak serangga terbang di sekelilingnya. Jangan lupakan Cink yang kembali seperti biasa seakan aku tidak ada disana. Mulai ikut berteriak memperingati kembaranya agar hati-hati. Air mataku kembali meleleh. Dadaku lebih sesak dari tadi. Aku tidak terlalu paham. Apa aku dan Cink sedang berbagi perasaan dan memori? Cink sedang menceritakan kisah hidupnya? “TINK! DIAM DISANA! JANGAN BERGERAK! AKU AKAN PANGGIL ORANG DEWASA! HIKS.. JANGAN BERGERAK! NANTI KAU JATUH HIKS! PEGANGAN YANG KENCANG TINK!” Cink bergerak gelisah sambil menangis. Kepalanya bergerak kesana kemari mencari pertolongan. Saat melihat beberapa orang dewasa di dekatnya, Cink berniat untuk mendatangi mereka lalu minta pertolongan. “TIDAK! JANGAN PERGI CINK KUMOHON! AKU TAKUT SEKALI! AKU BARU SADAR JIKA AKU SUDAH MEMANJAT SETINGGI INI. AKU AKAN TURUN PELAN-PELAN OKE? TAPI JANGAN PERGI, AKU TAKUT MENGHADAPI INI SENDIRI. JIKA KAU PERGI AKU TIDAK AKAN MEMBERIKAN BUAHNYA LOH!” Ancaman konyol, sebenarnya. Karena nyatanya, Tink tidak akan pernah memberikan buahnya.  Tidak setelah tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Mebuatnya jatuh langsung dari ketinggian 10 meter. Lalu ditangkap oleh alas--yang seharusnya tidak ada disana. Sebuah batu penghias taman. Dadaku semakin sesak saat melihatnya. Kepalaku mulai pusing. Kulihat disana, Cink diam terpaku. Melihat kembaran yang bersama sejak dalam kandungan kepalanya tercecer. Pecah kemana-mana. Kepalaku semakin pusing. Wajah Cink juga sangat pucat.  Bukankah seharusnya ia tak meminta buah? Bukankah seharusnya ia bisa mencegah kakaknya memanjat? Bukankah ini salahnya? Darah dan otak Tink tercecer karena dirinya kan? Kenapa tadi dia tidak memikirkan resikonya? Ini salahnya. Seharusnya tadi ia lebih dewasa. Seharusnya tadi Cink mengajak Tink kejar-kejaran saja. Bukan memanjat yang membuat—kenapa jadi seperti ini? Saat mendengar ada sesuatu yang jatuh, warga mulai berdatangan. Tapi aku tidak bisa fokus. Semuanya mulai menggelap. Hanya terlihat sedikit—seperti gambar yang difoto membelakangi cahaya. Wajah mereka pun tidak jelas—blur. “AERI! SONG AERI!? APA YANG TERJADI? K-KE-KENAPA ANAKKU JADI SEPERTI INI? HIKS APA YANG TERJADI PADAMU NAK? AMBULANCE! PANGGIL AMBULANCE!”  Song Aeri? Nama yang tadi disebut paman psikiater itu kan? Tapi dia ini Tink. Kembaran Cink. Bukan dari dunia yang sama denganku. Apa ibunya sendiri salah menyebut nama? aku ingin memberitahu ibu itu, atau setidaknya melihat wajahnya. Tapi pandanganku sangat gelap dan kabur. Dadaku juga sangat sakit. Kepalaku apalagi. Seperti ditusuk. Aku tidak kuat. Rasanya sakit sekali. Akhirnya kupejamkan mataku, mencoba mengurangi rasa sakitnya. Walaupun sia-sia. Kesadaranku hilang bersama rasa kaget saat orang yang sepertinya ibunya Tink dan Cink mengucapkan kalimat lirih, “Song Hara, jelaskan apa yang terjadi dengan kakakmu?” [] Kepalaku sangat sakit. Benar-benar sakit. Apa yang terjadi ya tadi? Tempat ini sangat gelap. Apa aku mati? Serius? Aku mati karena tugas sekolah? Tapi lama-kelamaan aku bisa mendengar sayup-sayup suara orang berbicara. Berarti aku belum mati. “Sangmi, kenapa kau melakukan ini? Kenapa kau membawa Hara ke psikiater gila itu?” itu suara ibuku bukan? Ibuku kenal Sangmi? "Maafkan aku bibi, aku hanya menjalankan tugasku sebagai sahabat kecilnya. Minggu lalu Hara dihukum untuk pergi ke gudang karena terlambat, lalu ssaem menyuruhku untuk menjemputnya. Disana aku melihat dia berbicara sendiri. Dan kau tau apa yang lebih mengejutkan? Hara memanggil teman khayalannya itu 'Cink'. Bagaimana aku tidak terkejut? Sahabatku memiliki trauma pada masa kecilnya hingga membuat semua ingatan masa kecilnya hilang. Lalu bagaimana bisa dia berbicara pada sosok masa kecilnya sendiri?" Tunggu, jadi kesimpulannya,, ini hanya tentang Song Hara dan masa lalunya yang terlupakan?

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD