“Aku pergi dulu ya,” pamit Reno kepada semuanya. Ketiganya langsung menoleh kaget dan Oman melihat jam yang melingkar di tangannya.
“Ini baru jam dua dan kamu udah mau balik, ga salah,” sindir Oman dan diangguki keduanya. Reno langsung menggeram. “Aku mesti meeting pagi besok sama klien,” ketus Reno.
Dia langsung berdiri dan keluar dari ruangan itu tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya. Dia menuju tempat parkir dan melajukan mobilnya dengan cepat kembali ke penthousenya.
Sesampainya di penthouse dia merebahkan tubuhnya di ranjang empuk miliknya. Pandangannya menerawang membayangkan nantinya dia ke Jerman dan bertemu dengan Gladis.
Senyum mengembang di kedua bibirnya, “Dia pasti akan ngedumel kesal dan mengataiku macam-macam sepanjang kereta api super cepat yang ada di sana,” gumam Reno sambil memejamkan matanya dan entah sejak kapan dia sudah tertidur.
Loka is calling ….
Reno menggerakkan tangannya dan berusaha meraih ponselnya yang sedari tadi berdering, tapi dia tidak tahu dimana ponsel itu berada. Terpaksa dia duduk dan membuka matanya untuk fokus dengan bunyi ponsel miliknya.
“Astaga, siapa yang jatuhin ponselku di sini sih,” keluh Reno tanpa alasan yang jelas, karena sebenarnya dia hanya tinggal seorang diri di sana sudah jelas pasti dia sendiri yang menjatuhkan ponsel itu.
“Ada apa?” jawab Reno setelah dia menerima panggilan dari Loka. Asistennya itu langsung paham mendengar suara bosnya yang terdengar masih serak khas bangun tidur.
”Bos, kita empat puluh lima menit lagi mau ada meeting dengan klien perusahaan Jakarta Bos, kenapa Bos belum sampai di kantor,” ucap Loka membuat Reno langsung membuka matanya lebar dan melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 7.
“Kenapa baru bangun sekarang, aduhh,” seru Reno dan langsung mematikan ponselnya. Reno langsung bergegas ke kamar mandi dan bersiap untuk ke kantor.
Tak sampai tiga puluh menit dia sudah rapi dan bersiap ke kantor. Dia turun ke basement ke tempat parkir mobilnya dan melajukan mobilnya ke jalanan kota.
Sampai di kantor dia langsung disambut dengan celotehan Loka soal investasi yang nantinya akan dijalankan oleh keduanya. Reno yang masih belum fokus seratus persen hanya mengangguk setuju soal ini.
“Maafkan kami datang terlambat, semoga kalian tidak menunggu lama,” sapa Reno ramah membuat kedua orang yang ada di sana jadi berdiri dan menyambut kedatangan Reno.
“Tenang saja Pak Reno, kami yang datang terlalu cepat,” ucap seeorang pria jika tak salah kenal dia adalah Johan. Keduanya berjabat tangan sebagai tanda perkenalan.
“Pak Johan dari Direktur Operasional, benar kan?” Reno memastikan sambil menyalami tangan Pak Johan yang langsung mengangguk mendengarnya.
“Senang bertemu dengan Anda Pak Reno Abrisam,” balas Johan dan dia langsung mempersilahkan pria yang terlihat lebih tua darinya untuk duduk.
Meeting berjalan tanpa hambatan yang berarti, intinya adalah perusahaan yang Reno jalankan saat ini sebagai bagian dari Abra Group akan menanamkan saham dengan perusahaan pengadaan yang sekarang pak Johan urus.
“Ini Bu Santi beliau adalah manager operasional di bagian Purchasing, jadi semua jalinan supplier yang Abra Group butuhkan bisa melalui Bu Santi. Bisa dipastikan beliau tahu siapa yang kompeten dan tidak,” ucap Pak Johan dan Reno langsung tersenyum.
“Saya senang mendengarnya Pak, itu artinya ada banyak kerjasama potensial yang bisa kita jalankan di sini,” jawab Reno dengan bangga.
“Untuk sementara ada dua kantor yang Abra kelola di Indonesia yaitu di Surabaya dan Jakarta, untuk mempermudah komunikasi mengingat kantor kalian ada di Jakarta maka kalian bisa berkomunikasi dengan Pak Dimas yang ada di sana,” ucap Reno sambil menyodorkan kartu nama Dimas.
Pak Johan memperhatikan nama di sana dan mengangguk paham. “Saya salut dengan generasi muda sekarang yang bisa menjalani tugas dan tanggung jawab besar pada usia muda, terlepas dari bantuan orang tuanya yang memang seorang pebisnis sukses,” puji Pak Johan.
“Untuk informasi saja Pak, saya mendirikan perusahaan ini dengan jerih payah sendiri sampai saya bertengkar dengan ayah saya, karena beliau ingin saya belajar mengenai bisnisnya,” jeda Reno.
“Tapi berkat dukungan dari semua pihak yang membantu saya untuk mewujudkan bisnis ini, akhirnya saya dan tim berhasil melaluinya sampai kami memiliki dua kantor seperti sekarang,” kata Reno dengan senyum bangga.
“Bapak benar sekali, saya tidak menyangka pemilik perusahaan ini masih muda bahkan saya yakin umurnya lebih muda dari saya,” canda Bu Santi membuat Reno tertawa.
Akhirnya keduanya mengakhiri meeting ini dengan sukses dan kesepakatan yang saling menguntungkan. Setelah berpamitan, Pak Johan dan Ibu Santi menginggalkan ruangan meeting itu. Begitu keduanya pergi Reno berjalan ke ruangannya dan sudah melihat banyaknya tumpukan di sana.
“Apa jadwalku untuk minggu depan sudah kamu bereskan?” tanya Reno kepada Loka yang sedari tadi masih berdiri di sana memeriksa tablet milik Reno.
“Sudah Bos dan Bos Dimas juga setuju dengan ini,” jawab Loka jelas. Reno yang mendengar nama Dimas langsung teringat jika dia lupa belum membicarakan hal ini dengan Dimas.
“Hallo Dim, sibuk aja apa sibuk banget?” tanya Reno begitu panggilannya tersambung. “Ngeledek banget Bos,” jawab Dimas dengan nada tak ramah. Reno langsung terbahak mendengarnya.
“Aku mau ke Jerman minggu depan, cuma mau pamit itu doank,” kata Reno tanpa dosa. Dimas hanya berdehem menjawabnya. Reno malah makin terbahak mengetahui reaksi Dimas.
“Apaan ngakak mulu, emang gue lagi ngelawak apa,” geram Dimas. Reno langsung menghentikan tawanya, “Sorry Bro, aku tahu kamu mesti jengkel banget sama aku, tapi kerjaan minggu depan kan emang kerjaan yang seharusnya aku kerjain juga di Jakarta jadi ga ada masalah soal itu,” bela Reno.
“Aku iyain aja lah daripada ribet,” jawab Dimas santai. “Jangan gitu dunk, kalo mau protes boleh kok,” kata Reno ramah. Dimas menggeleng yang kemudian dia sadari jika Reno tak bisa melihatnya.
“Enggak lah, urusan hati dan perasaan ga bakal bisa diprotes, aku tahu gimana rasanya dan kita baru sadar itu memang setelah kita kehilangan orang yang kita sayang,” ucap Dimas mendadak dalam.
Reno yang mendengarnya langsung ikutan diam. Bukan tanpa alasan tapi karena emang dia tahu apa yang dialami Dimas.
“Sorry,” lirih Reno dan Dimas tertawa pelan.
“Tenang aja Bro, udah beberapa bulan juga sih, jadi aku berusaha bangkit aja dari apa yang aku alami,” kata Dimas bijak meskipun pikirannya masih menerawang.
“Ga masalah Bro, aku cuma ngecek aja di sana, jadi kalau aku merasa belum ada titik terang aku bakal balik lagi kok, jadi ga ninggalin apa yang udah kita kerjain di sini gitu aja,” kata Reno bijak.
“Oke beres kalo gitu,” kata Dimas dan keduanya akhirnya mengakhiri panggilan.
Sore harinya Reno memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan dan membeli beberapa baju hangat karena setahu dia di Jerman sedang musim gugur, jadi cuaca di sana perlahan menjadi dingin.
Tapi belum sempat dia masuk ke pusat perbelanjaan, masih di area parkir, seseorang berdiri di tengah jalan membuatnya menghentikan mobilnya. Reno menatap wanita itu, pakaiannya sederhana tidak terlalu mencolok.
“Mas, tolong dunk, bantu saya bawa orang pingsan ke rumah sakit,” pinta wanita itu. Reno hanya menjawab, “Eehhh, kenapa –“ tapi omongannya langsung dipotong oleh wanita itu.
“Sini Mas bantu saya angkat pasiennya, saya tadi kasih CPR belum sadar kali saya salah ya,” sahutnya yang sebenarnya membuat geli Reno dan ingin tertawa.
Reno akhirnya membuka pintu mobilnya dan turun dari sana. Begitu melihat Reno turun, wanita itu langsung menggandeng tangan Reno dan perasaan aneh itu mendadak muncul.
Deg.
*****