Pagi ini sebenarnya udara terasa sangat sejuk, maklum hawa pedesaan di kaki gunung memang selalu terasa menyegarkan.
Tak banyak polusi kendaraan disini, para ibu yang berjalan membawa bakul untuk mencuci baju di sungai, sementara para anak lelaki akan membawa banyak ember untuk mengisi kendi atau bak penampungan air dirumah.
Dan para bapak membawa cangkul ke sawah.
Wanita manis bertubuh mungil itu baru saja mengenakan pakaiannya setelah mandi, seperti biasa, dia akan mengajar di sebuah sekolah dasar di desa ini.
Hanya sebagai tenaga honorer karena dia hanya lulusan sekolah menengah atas. Tak banyak siswi yang menempuh pendidikan sampai sekolah menengah atas sepertinya.
Rata-rata mereka sudah dinikahkan ketika berusia lima belas tahun. Berbeda dengan wanita bertubuh mungil dan berparas manis itu, di usianya yang sudah 20 tahun ini, dia masih melajang. Kedua orang tuanya tak pernah memaksa dia untuk menikah, dan memberinya kebebasan.
Sehingga meskipun sekolah mengah atasnya sangat jauh, dia tetap bersemangat demi mengenyam pendidikan. Dia ingin sekali kuliah sebenarnya, namun selain faktor ekonomi, di kampung ini tak ada kampus. Untuk kuliah dia harus naik angkutan umum selama tiga jam menuju kota. Sangat tak terjangkau olehnya.
Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dia sudah terbiasa menjadi tulang punggung keluarga, membantu kedua orang tuanya di sawah, atau ikut berjualan di pasar bersama sang ibu.
Namun pagi ini terasa berbeda, suara beberapa pria yang asing di telinganya, seolah mengusiknya dan membuatnya ingin keluar dari kamar berbilik bambu yang ditempatinya sejak lahir.
Ibunya melarang dia keluar dengan menggeleng. Maka dia hanya bertiga dengan adik prianya yang masih berusia empat belas dan sepuluh tahun, berdiam di kamar mendengar suara keras itu.
Bentakan dan makian yang memekakkan telinga, isak tangis sang ibu dan suara memohon sang ayah membuat pria bernama lengkap Embun Gayatri itu keluar dari persembunyiannya.
Tampak tiga orang berbadan kekar dengan tato menghias tubuh memelototinya. Lalu tersenyum miring dengan pandangan seolah menelanjangi Embun.
“Jika dia ikut kami, hutang kalian lunas!” seringai salah satu pria berkepala plontos. Embun mundur dua langkah hingga menubruk tembok di belakangnya. Ibu Embun semakin mengiba dengan berlutut, memohon pada mereka untuk tak membawa putrinya.
“Kalau nggak mau dibawa! Bayar hutang kalian yang sudah menggunung! Bahkan sawah kalian pun tak mampu melunasinya!” tukas pria itu kasar, mendorong tubuh sang ayah yang semakin ringkih.
“Cukup!” Embun berteriak dengan lantang.
Ketiga pria itu saling tatap dan tersenyum menyeringai.
“Berapa hutang bapak?” tanya Embun sembari membantu kedua orang tuanya berdiri.
“Hmmm seratus juta sudah sama bunga,” ucap salah seorang dari pria itu sambil tertawa, bau alkohol dari mulutnya sangat jelas tercium.
“T-Tapi kalian bilang kemari hanya delapan puluh juta,” ucap bapak Embun memelas.
“Itu kan sebelum ditambah bunga! Dan bisa meningkat lebih tinggi!” bentak pria berkepala plontos itu.
“Beri waktu kami satu minggu, saya akan melunasinya lengkap dengan bunganya!” ucap Embun dengan mata menyalang.
“Satu minggu, bunga akan bertambah sepuluh persen!” tukas salah seorang dari mereka. Embun menggeleng sambil menggigit bibirnya. Bukan lintah darat namanya jika tak mencekik rakyat jelata pemilik hutang seperti keluarganya. Embun tak punya pilihan selain mengiyakan ucapan mereka, membuat kedua orang tuanya semakin meringis.
Mereka tahu, gaji Embun tak lebih dari 200 ribu sebulan, mana mampu mendapatkan uang yang jumlahnya mencapai hampir ribuan kali lipat dari itu.
“Baik, sekarang kalian bebas, tapi ingat seminggu dari sekarang, jika kalian tak dapat melunasi hutang kalian! Kami akan mengambil rumah dan sawah kalian, dan satu lagi, kami akan menyerahkan anak kalian ke bos kami!” ucap mereka sambil menggebrak meja dan meninggalkan Embun.
Sepeninggal tiga orang anak buah lintah darat itu, tubuh Embun luruh ke lantai. Ayahnya menangis sambil memegang bahunya.
“Bapak bisa punya hutang sebesar itu untuk apa?” tanya Embun dengan suaranya yang melemah.
“Awalnya hutangnya sedikit, untuk sekolah kamu dan adik-adik, namun biaya sekolah semakin tinggi, dan ... bapak terus meminjam dari mereka,” jawab sang ayah sambil terus menunduk, tak punya kekuatan untuk sekedar menatap mata putrinya.
“Sudah, sudah sekarang kamu berangkat mengajar ya, biar kami pikirkan lagi nanti,” ucap ibu sambil menghela Embun agar berangkat kerja.
Embun berjalan lunglai menuju halaman belakang, mengambil sepeda tuanya yang sudah reyot. Sambil berjalan dia terus mengucurkan air mata. Pemandangan yang indah dipandang mata itu kini justru hanya menyisakan sesak di dadanya.
Seharusnya dia tak memaksakan ingin sekolah sampai SMA jika berujung pada kesialan nasib keluarganya. Ayahnya sampai rela berhutang demi impiannya menjadi guru.
Embun merasa pandangannya mengabur karena air mata yang terus bercucuran. Dia tak tahu lagi harus bagaimana melunasi hutang itu.
Sesampainya di sekolah, ramai anak-anak berlarian menuju halaman sekolah, Embun melihat ke arah anak-anak kecil itu yang mengerubungi mobil berwarna merah yang tak pernah dilihat sebelumnya.
Embun meletakkan sepeda tuanya dibawah pohon, dan berjalan melewati mobil itu, saat pintu nya terbuka dan memperlihatkan sosok wanita berpakaian indah dengan tas mahal dan banyak perhiasan emas menghiasi tubuhnya.
Mata embun terpana melihat betapa glamour wanita itu. Hingga wanita tersebut membuka kacamata hitamnya dan menoleh ke arah Embun sambil tersenyum.
“Mbak Mira?” tanya Embun, wanita itu melambai pada Embun.
Embun menghampiri wanita yang merupakan saudara jauhnya itu, Mira berusia 35 tahun, wajahnya masih terlihat awet muda, mungkin karena perawatan yang dilakukannya. Mira termasuk salah satu perantau yang berhasil di kota.
Rumah orang tuanya paling besar di kampung, semua sangat iri terhadapnya, katanya Mira bekerja di perusahaan besar, sehingga gajinya pun besar, meskipun Embun sangat tahu bahwa Mira bahkan tak lulus sekolah dasar kala itu.
“Embun, apa kabar?” sapa Mira sambil mengecup pipi saudara jauhnya. Nenek mereka berdua adik kakak itu sebabnya mereka masih saudara meskipun hubungannya sangat jauh.
“Nggak baik, Mbak,” ucap Embun lesu. Mira melihat raut sedih Embun dengan wajah yang ikut sedih.
“Mbak ada keperluan apa kesini?” tanya Embun balik.
“Kepala sekolah sini meminta sumbangan pembangunan, sekalian Mbak mau lihat kamu,” ucap Mira, mereka berjalan berdua menuju ruang kepala sekolah dan Embun berpamitan untuk mengajar.
***
Sepulang mengajar, Embun melewati rumah Mira. Rumah paling megah dan mewah yang ada di kampungnya. Mira mengadu nasib lebih dari dua puluh tahun lalu, dari jerih payahnya itu, bahkan separuh persawahan di kampungnya adalah milik sang ayah.
Namun ayah Mira yang merupakan sepupu dari ayahnya, merupakan orang yang sangat pelit dan sombong, membuat ayah Embun sungkan meminta bantuan kepadanya, karena bukan bantuan yang didapat justru hanyalah caci maki yang diterima, membuat mereka sangat sakit hati dan memutuskan untuk tak pernah meminta bantuannya.
Embun melihat mobil Mira masih terparkir di halaman rumah itu, sesaat dia ingin minta pertolongan, mungkin Mira bisa membantunya keluar dari permasalahan ini.
Namun baru saja dia turun dari sepeda, ibu Mira sudah menegurnya dengan sinis.
“Mau apa Embun?” tanyanya.
“Mbak Miranya ada Bi?” tanya Embun dengan sopan.
“Cuih, paling ada maunya kamu ketemu Mira, ya kan?” ucapnya dengan sombong, meletakkan tangan di d**a dengan sengaja menggemerincingkan gelang di tangan. Embun hanya menunduk sambil memegang stang sepedanya.
“Embun!” panggil Mira, Embun mendongak dan tersenyum pada Mira.
“Sini,” lambai Mira pada Embun.
“Mau ngapain dia?” tanya sang ibu dengan wajah kerasnya.
“Mira yang panggil dia tadi disekolah Bu,” ucap Mira saat Embun dan ibunya sudah berada di dekatnya.
Mira mengajak Embun menuju halaman belakang rumahnya, ada gazebo yang sangat indah dan tampak kokoh, menampilkan pemandangan gunung yang menjulang tinggi.
Mira meminta pekerja di rumahnya membuatkan minuman untuknya dan Embun.
Embun menerima kebaikan Mira dengan sungkan.
“Kamu tadi belum cerita, ada apa?” tanya Mira.
“Bapak terjebak hutang di rentenir Mbak, minggu depan Embun harus bayar 110 juta,” ucapnya sambil terisak, Mira menutup mulutnya kaget.
“Astaga, bagaimana bisa?”
“Entahlah mbak, Embun nggak ngerti lagi,” ucap Embun putus asa, “Mbak ada simpanan uang, Embun pinjam dulu,” ucap Embun dengan mengaburkan rasa malunya.
“Yah sayang sekali, Mbak baru saja membeli sawah di sana, tapi kalau kamu mau ikut Mbak ke kota, mungkin kita bisa dapatkan uang itu,” ucap Mira.
“Mbak yakin?” tanya Embun dengan mata penuh harapan.
“Yakin, tapi kamunya juga harus yakin, apapun pekerjaan disana, akan kamu jalani dengan baik, uang segitu tidak sedikit lho,” ucap Mira.
“Iya Mbak, aku tahu, resiko apapun akan aku terima, tapi tolong ajak aku ke kota, aku ingin membebaskan hutang bapak,” ucap Embun.
“Mbak tunggu sore ini ya, kita harus berangkat sebelum malam, perjalanan malam lebih enak nggak macet di kota nya,” ucap Mira.
“Embun bilang bapak dulu ya Mbak,” ucap Embun. Mira mengangguk pasti dan membiarkan Embun berlalu.
Setelah Embun pergi, dia tersenyum seolah penuh kemenangan, menelepon seseorang dari ponsel genggamnya.
“Ya, ada satu pekerja lagi tuan, siap akan saya bawa secepatnya,” ucap Mira sambil tertawa, tawa berbeda dengan yang biasa dia tampilkan. Membuat siapapun pasti bergidik melihatnya.
Dan Embun tak pernah menyadari, bahwa dia akan masuk perangkap yang dibuat oleh saudara jauh dari keluarganya.
***