Tidak Bersalah

2184 Words
Esok harinya, Larisa bangun dari tidurnya. Saat itu jam di nakas sebelah ranjangnya sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Digerak-gerakkan seluruh tubuhnya, mencoba mengurangi pegal di sekujur badannya. “Sudah bangun, Nak?” Pintu kamarnya terbuka dan ada sosok Rika, mamanya, di sana. “Sudah, Ma,” sahut Larisa. Bangun dan segera berubah posisi dari berbaring menjadi duduk di atas tempat tidurnya. Rika tersenyum, lalu menghampirinya. Wanita dewasa yang masih cantik itu duduk di pinggir ranjang. “Mandi, gih. Habis itu sarapan. Mama sudah masak sup jagung kesukaanmu,” Rika berkata sambil mengusap sayang pucuk kepala anaknya. “Oke,” jawab Larisa. Kemudian dia beranjak ke kamar mandi yang ada di sebelah kamarnya. “Nanti setelah mandi, langsung ke ruang makan ya, Sayang,” kata Rika saat anaknya akan membuka pintu kamar mandi. “Iya, Ma,” jawab Larisa seraya masuk ke kamar mandi. Rika sendiri langsung turun ke lantai satu,di mana dapur dan ruang makan berada. Di sana sudah ada Heri yang duduk menunggu. “Gimana?” tanya laki-laki berkacamata itu kepada istrinya yang baru saja datang. “Sedang mandi,” jawab Rika. Dia pun menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya itu. Heri menghela nafasnya. Dia sedikit lega mendengar perkataan istrinya. Setidaknya harapannya supaya putri tunggalnya itu bisa lebih tenang itu bisa terwujud. Laki-laki berkaca mata itu pun melanjutkan membaca berita online dari telepon selularnya. Sedang istrinya melanjutkan acara menyiapkan sarapan. Setengah jam kemudian, Larisa turun dan ikut bergabung. “Selamat pagi, Papa,” Larisa menyapa Heri sambil memeluknya dari belakang. “Selamat pagi, Nak,” Heri menjawab kemudian menepuk kedua lengan anaknya yang memeluk bahunya. “Ayo, sarapan sudah siap,” Rika menghampiri keduanya sambil meletakkan nasi goreng di meja makan. “Duduk, Nak,” ajak Heri kepada Larisa. Gadis itu menganggukkan kepalanya, kemudian duduk di sebelah papanya. Lalu ketiganya pun memakan sarapannya dengan tenang. Setelah makan, mereka pindah ke ruang keluarga yang ada di lantai dua. Larisa bergelung dalam pelukan mamanya, sedang papanya sedang asyik menonton berita di televisi. “Ma, Risa boleh tanya nggak?” tanya Larisa. Rika mengurai pelukannya, menatap ke arah Larisa. Sedang Heri langsung mengecilkan volume televisi. Keduanya pun fokus kepada putri semata wayang mereka. “Tanya apa, Sayang?” tanya Rika dengan suara lembut. Dia tahu jiwa putrinya sedang terguncang, sehingga memilih untuk berhati-hati bicara. Larisa menghela napasnya. Mengumpulkan segala keberaniannya yang sejak beberapa hari ini tercerai-berai. “Risa salah ya jatuh cinta sama Pak Dewa?” tanyanya pelan. Entah mengapa tangisnya tiba-tiba mendesak muncul. Segala rasa bersalah dan terluka berkumpul di dadanya. Rika terdiam cukup lama, seperti berusaha untuk bersikap tenang dan tidak menyakiti anaknya, kemudian mengusap bahu anaknya. “Nggak, Risa nggak salah,” jawab Rika, kemudian diam seperti mencari kata-kata yang lebih mengena tetapi tidak melukai. Larisa diam, menunggu kelanjutan ucapan mamanya. Dia tahu, Rika sedang mencari kata-kata yang tepat “Tetapi cara Risa mengungkapkan itu keliru. Pak Dewa masih pacaran dengan Resty. Tentu saja dia terganggu dengan sikapmu,” pelan, Rika melanjutkan perkataannya. Larisa menunduk, menyadari kebenaran ucapan mamanya yang dari awal juga dirasakannya. Tetapi entah mengapa sikapnya jadi egois dan tidak tahu malu. “Coba kalau Pak Dewa yang pacarnya Risa, dan Resty yang mengejar-ngejarnya. Gimana perasaanmu?” Rika bertanya, mencoba membuka hati anaknya tersebut. Larisa tersentak. Selama ini sebenarnya terkadang dia berpikir ke sana. Tetapi entah mengapa obsesinya kepada atasannya itu merasuki jiwanya dengan begitu liar. Yang dia tahu, dirinya suka Dewa dan ingin mengejar cintanya. “Risa menyesal, Ma,” bisik Larisa lirih. Rika memeluknya. Dia selalu yakin kebaikan hati putrinya yang polos dan cenderung naif lah yang membuatnya bersikap begitu berani dan nekad terhadap Dewa. “Risa nanti minta maaf ke Resty juga Pak Dewa ya. Meski nggak membuatnya jatuh, tapi kamu minta maaf karena sudah mengganggu mereka,” nasehatnya. Tangannya mengelus kepala putrinya lembut, menyalurkan segala kehangatan yang dibutuhkan oleh gadis mungil tersebut. Larisa menganggukkan kepalanya, kemudian tenggelam dalam pelukan mamanya. Di dalam hatinya dia berjanji untuk menghentikan sikap konyolnya yan g melukai Resty itu. “Lepaskan lah Pak Dewa, Sa. Nanti pasti ada laki-laki baik yang pantas untuk bersamamu,” Heri ikut memberi masukan kepada anak tunggalnya itu. “Iya, Pa,” jawab Larisa lirih dan semakin mengeratkan pelukan mamanya itu. Seminggu berlalu, Larisa hanya mendapat kabar jika Resty masih koma dan belum ada tanda-tanda untuk bangun dari Alex lewat telepon. Larisa menghela nafasnya. “Katanya kenapa, Kak?” tanya Larisa ingin tahu. Aku nggak tahu tepatnya. Kata Pak Arya, kondisinya naik turun, jawab Alex dari seberang. “Aku pengen nengokin, minta maaf sama keluarganya dan Kak Resty,” harap Larisa. Terdengar Alex yang menghela nafasnya di seberang. Aku bicara dulu dengan Pak Arya ya, cari jalan gimana caranya kamu bisa nengokin Resty tanpa Pak Dewa tahu. Dia kan masih marah sama kamu. Alex mencoba mencarikan solusi untuk gadis mungil itu. “Iya, Kak. Tolong ya,” pinta gadis itu bersemangat. Aku usahakan ya, De. Alex sekali lagi berkata membangkitkan harapan Larisa. “Kabar Bu Reina gimana, Kak?” tanya Larisa usil, mengalihkan topik pembicaraan. Di seberang sana, Alex tertawa. Tunggu masalahmu beres langsung tembak! Jawabnya lucu. “Asyik! Ada kemajuan!” Larisa senang, setidaknya ada kabar baik di tengah carut-marut masalah yang dihadapinya. Doakan saja, ya! Pinta Alex. “Pasti!” janji Larisa. Sedang kabar tentang penyelidikan kecelakaan itu sudah menemui titik terang. Jumat sore, Danu dan Arya datang ke rumahnya untuk menjelaskan. Sore itu dia dan kedua orang tuanya sedang ngobrol ringan, saat boss dan pengacaranya itu datang. “Selamat sore Larisa,” sapa Danu kepadanya. “Selamat sore, Pak Danu, Pak Arya,” jawab Larisa sambil duduk diapit oleh kedua orangtuanya. Larisa menatap wajah bossnya yang tampak cerah. Dia menduga ada kabar baik yang didapatnya. “Saya dan Pak Arya datang untuk memberitahukan jika keterangan dari Larisa cukup dan sementara tidak ditetapkan sebagai tersangka,” Danu berkata. “Maksudnya?” dahi Larisa berkerut, belum mengetahui arah pembicaraan. Danu tersenyum. “Polisi menyatakan yang dialami oleh Resty bukan karena Larisa. Di CCTV kantor terbukti bahkan tidak ada sentuhan fisik antara mereka,” Danu memberi penjelasan. Larisa menghela napas lega. “Syukurlah,” ucapnya lirih. Rika tersenyum bahagia, memeluk putrinya dengan gembira. Wajah Heri pun cerah. “Terima kasih Pak Arya dan Pak Danu, atas bantuannya,” ujar Heri penuh terima kasih. Keduanya mengangguk. “Tapi polisi menemukan cairan pembersih lantai di sana juga menurut kesaksian Ibu Reina, kamu yang diajak Resty untuk bertemu, benar?” tanya Danu kemudian. Larisa menganggukkan kepalanya. Tetapi dia cukup terkejut dengan keterangan tentang cairan pembersih di tangga darurat. “Polisi akan mengembangkan penyelidikan dengan adanya temuan bukti baru itu. Karena kemungkinan cairan itu yang menyebabkan Resty jatuh,” kata Danu. Larisa menghela nafasnya. Banyak pertanyaan yang kemudian silih berganti muncul di kepalanya. “Berarti kasusnya masih diselidiki polisi ya, Pak?” tanya Heri lebih jauh. “Iya, Pak Heri. Tetapi jangan khawatir, keterangan Larisa sudah tidak diperlukan lagi,” jawab Danu menenangkan. Heri dan Rika mengangguk tanda mengerti. Lega karena Larisa terbukti tidak mencelakai Resty. “Besok Senin bisa masuk kerja, Sa. Sementara kamu bebas dari tuduhan,” kata Arya. Larisa mengangguk sebagai jawaban. “Pak Arya, bolehkah saya meminta tolong?” pandangannya kepada big bossnya itu tampak ragu. “Minta tolong apa, Sa?” tanya Arya ingin tahu. “Bisa nggak saya pindah divisi?” pinta gadis itu. Arya menatap Larisa intens. “Coba nanti saya pikirkan. Sementara coba lah kosentrasi dengan proyek koleksi tema liburan kita. Sebisa mungkin kita kurangi interaksimu dengan Dewa dulu ya,” hanya itu jawaban yang bisa diberikannya saat ini. Gadis itu mengangguk mengerti. Dia pun tahu, pindah divisi pun tidak semudah membalik telapak tangan. “Bolehkah saya menengok Kak Resty?” tanya Larisa lagi. Arya menghela napasnya. “Coba nanti saya tanya ke Dewa dan orang tua Resty ya, Sa,” jawabnya. Lagi-lagi Larisa menganggukkan kepalanya. Selanjutnya Arya dan Danu pamit, kemudian pergi ke rumah sakit. “Saya khawatir Dewa tidak terima dengan hasil laporan dari kepolisian,” kata Arya kepada Danu. Danu menganggukkan kepalanya. “Pak Dewa merasa harus ada yang disalahkan. Dan Larisa orang yang paling tepat.” Dan benar dugaan mereka, Dewa mengamuk begitu mendengar berita tersebut. Hampir saja dia menghampiri Larisa, kalau tidak segera ditahan oleh Farid dan Fira. Ya, Fira datang ke Rumah Sakit begitu Dewa mengabarkan keadaan Resty. Dalam hatinya dia menyesal telah mengabaikan kekasih anaknya itu . Karenanya sekarang diberinya putranya semangat dengan menenaninya di rumah sakit. “Dia pelakunya, Pak!” suara Dewa menggelegar begitu mendengar apa yang disampaikan Danu. Dia tetap kukuh, yakin dengan segala asumsinya terhadap Larisa. “Bukti-bukti justru memperlihatkan Larisa tidak bersalah, Wa,” sergah Arya. Dia melihat Liana yang duduk di dekat Fira. Dahinya berkerut dan menatap tajam ke arah sahabat Resty tersebut. Potongan-potongan dugaan seperti puzzle ada di kepalanya. Liana yang mendapati dirinya ditatap intens oleh Arya, segera menundukkan kepalanya. Hatinya berdegub kencang, seolah tahu kecurigaan sang CEO terhadapnya. CEO PT Mega Star itu menghela napas. Entah mengapa, dia sangat yakin kalau pegawainya itu terlibat dalam kecelakaan ini. Mudah-mudahan polisi menemukan bukti seperti yang kucurigai, kata hati Arya. “Dia yang terakhir bertemu dengan Resty sebelum jatuh,” Dewa tetap yakin dengan asumsinya. Menurut dokter, punggung kekasihnya retak dan tulang ekornya patah. Itu bisa jadi karena dorongan kan? “Rekaman CCTV memperlihatkan jika Resty terpeleset ketika akan mengejar Larisa, Pak Dewa,” Danu memberi keterangan. Mengulang perkataan polisi tadi. Liana membelalakkan matanya, terkejut dengan fakta yang disampaikan oleh Danu. Jadi justru Resty yang kena cairan itu, ujarnya dalam hati. Liana merasa bersalah, karena dia lah yang mengusulkan itu dan justru berbalik membuat sahabatnya celaka. “Wa, sudah. Mungkin memang benar Resty jatuh bukan karena Larisa,” Fira berkata, mencoba menurunkan emosi anak lelakinya itu. Dewa masih belum terima. Masih terus menyalahkan Larisa. “Besok kamu bisa ke ruang kontrol CCTV untuk melihat rekamannya,” usul Arya. Dewa menatap Arya dan Danu bergantian. “Baiklah,” akhirnya dia menjawab. “Boleh saya ikut?” tanya Farid ragu-ragu. Sejujurnya dia penasaran akan peristiwa yang menimpa putri tunggalnya tersebut. Entah mengapa ada keyakinan jika Larisa tidak bertanggung jawab atas kecelakaan ini. Arya menganggukkan kepala. “Boleh Pak, besok jam sepuluh saya tunggu di kantor.” “Ya sudah, besok biar Mama yang jaga Resty selama kalian di kantor,” kata Fira mengusulkan. Dewa menganggukkan kepalanya. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, kali ini besar harapannya untuk mamanya merestui Resty. Sementara Liana gelisah, takut jika rekaman CCTV memperlihatkan keterlibatan dirinya atas kecelakaan itu. Tingkahnya pun tidak lepas dari pengamatan Arya. “Ada yang mau kamu sampaikan, Liana?” tembak Arya langsung. “Ah eh...iya itu, sa-saya mau ijin pulang dulu,” gadis itu gugup menjawab. “Ah iya, ini sudah malam, Li,” sahut Farid mengerti. Liana mengangguk dan segera berpamitan. Setelah itu dia bergegas pergi. Kali ini dia berharap keberuntungan berpihak kepadanya. Besoknya, Arya menemani Dewa dan Farid di ruang kontrol CCTV. Sabtu adalah hari libur, jadi keadaan sepi. Hanya ada staff security dan cleaning Service. “Pak Adam, Dewa sama papanya Resty mau lihat rekaman kecelakaan itu,” beritahu Arya kepada Adam, staff ruang kontrol CCTV yang hari ini bertugas. Dewa dan Farid mengangguk sopan ke arah Adam, yang dibalas dengan singkat dan sikap siaga. “Siap, Pak Arya,” jawab Adam, kemudian mempersilahkan Dewa dan Farid untuk duduk di depan monitor. Keduanya mengamati rekaman CCTV tersebut. Dan benar saja, Resty jatuh tanpa campur tangan Larisa. Farid mengangguk tenang, “saya menerimanya,” ucapnya. Benar dugaannya jika Larisa tidak membuat anaknya celaka. Kini dirinya bisa sepenuhnya berkosentrasi dengan keadaan putrinya tersebut. Tetapi Dewa masih belum terima. “Resty tidak akan jatuh kalau mereka tidak bertemu,” sahut Dewa keras kepala. Arya hanya mampu menggelengkan kepalanya, kehilangan kata-kata. “Menurut Reina, justru Resty yang minta Larisa untuk bertemu di tangga darurat, Wa,” kata Arya, setelah mencoba bersabar dan mengingat kembali keterangan yang didapatnya kemarin. Dewa ternganga, tetapi tetap bersikeras menyalahkan Larisa. Arya kesal dengan kekeraskepalaan bawahannya itu, tetapi tetap menahan emosinya. “Kamu jangan khawatir, Wa. Polisi tetap melanjutkan penyelidikan karena ada korban,” kata Arya mencoba meredam emosi laki-laki itu. “Kasus ini tetap diselidiki?” tanya Farid. “Masih, Pak. Kemarin memang baru Larisa, Reina dan Alex yang dimintai keterangan kepada polisi. Tetapi bukti yang ada bisa dikembangkan untuk melakukan penyelidikan lebih jauh,” kata Arya memberi keterangan. Dewa menatap Arya penuh minat. Dia kembali bersemangat, berharap bisa menuntut keadilan untuk kekasihnya. “Benarkah?” tanyanya penuh semangat. Arya menganggukkan kepalanya. “Kita tunggu saja hasil penyelidikan polisi,” jawabnya. Dewa merasa punya sedikit harapan ketika Arya mengatakan hal itu. “Kita pasrahkan semua kepada polisi ya?” saran Arya kepada kepala divisi termudanya tersebut. Kemudian ketiganya keluar dari ruang kontrol CCTV. Rencana Dewa dan Farid adalah kembali ke rumah sakit. Arya menanyakan kabar Resty yang menurut cerita Farid belum stabil. “Semoga semakin membaik kondisi Resty,” doa Arya. “Aamiin,” Farid dan Dewa kompak mengamini. “Larisa ingin menengok Resty, apakah diperbolehkan?” tanya Arya perlahan. “Tidak boleh!” tolak Dewa. “Silahkan saja,” Farid menjawab menimpali suara keras Dewa. “Om!” seru Dewa tidak percaya dengan jawaban Farid.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD