Kinan berjakan semakin dekat ke arah warung itu. Kinan melihat segerombolan anak lelaki tengah menghisap sebatang rokok hingga asapnya terbang ke udara. Langkah Kinan semakin mendekat, hingga kini gadis itu sudah berada di depan pintu samping warung itu. Sebelum masuk Kinan sedikit menginti pada celah papan yang terlihat berlubang, hingga pemandangan yang gadis itu dapatkan mampu membuat amarahnya memuncah.
Suara pintu terbuka dengan keras mampu membuat para siswa yang tengah menikmati rokoknya menoleh kearah pintu, terlihatlah seorang gadis yang menyandang status sebagai ketos tengah berdiri di sana dengan wajah yang menahan amarah.
“Kalian sekolah atau mau bikin jantung kalian tidak berdetak lagi?” tanya Kinan semakin mendekat.
“Kinan, semenjak lo jadi ketos, lo semakin semena-mena sama kita ya,” ucap salah satu dari mereka. Memang benar, dahulu Kinan tidak segalak ini, karena sikapnya yang sangat disiplin dan tidak menyepelekan amanat, maka dari itu dirinya berubah menjadi menjadi galak dan tegas, seperti sekarang ini.
“Ini demi kebaikan kalian dan gua menjalankan amanat sesuai dengan janji gua dulu waktu pelantikan.” Suara tegas Kinar mampu membuat lelaki bertubuh jangkung yang tengah duduk di pojokan berdiri lalu berjalan mendekati Kinan.
“Lo itu cantik, kalo diem,” ucap Gavin dengan senyum mengejek khasnya.
Kinan mendelik tajam ketika mendengar gombalan receh yang Gavin ucapkan. “Gua nggak akan diam sebelum kalian mematuhi peraturan sekolah.” Kinan menatap Gavin dengan berani.
“Peraturan ada untuk dilanggar, sayang,” ucap Gavin lagi dengan senyum yang sama.
Kinan menatap Gavin semakin tajam. “Terserah lo mau ngomong apa, intinya bukti udah di tangan gua. Siap-siap kalian semua bakalan di panggil ke ruang BK,” ucap Kinan lalu melenggang pergi dari tempat.
Pipin—teman Gavin menghampiri lelaki itu lalu menepuk pundaknya. “Vin, lo jangan gila ya. Kinan nggak pernah main-main sama omongannya,” ucap Pipin sembari mengunyah batang rumput muda yang sudah menjadi kebiasaanya sedari dulu.
“Kalo kita semua dipanggil sama guru BK, ya nurut aja apa susahnya,” jawab Gavin begitu meremehkan seorang Kinan yang tidak pernah memandang bulu.
Pipin mengusap wajahnya frustasi. “Lo nggak tahu guru BK di sini Vin. Lo bakalan habis di ceramahi sama dia.”
“Pin, udah ya jangan panik, kalo dimarahin kita bareng-bareng kok.” Setelah berucap demikian Gavin melenggang pergi.
“Gavin!” teriak Pipin. “Ganteng sih, tapi rada gesrek otaknya. Nggak tahu aja gimana bu Vania kalo udah ngomel itu kaya gimana,” gumam Pipin lantaran kesal dengan sikap Gavin yang terlalu meremehkan Vania—guru BK di SMA Pripurna Negara yang terkenal dengan omelan pedasnya. Setelah bergumam mengomentari sikap Gavin, Pipin berlari menyusul lelaki itu.
Pipin melihat Gavin tengah berbincang dengan Kinan, Pipin melihat begitu jelas jika keduanya tengah berdebat.
“Nggak dispensai buat lo, Gavin.”
Pipin mendengar jelas ucapan Kinan karena lelaki itu berada tak jauh dari sana.
“Nan, tapi gua kan anak baru di sini masa nggak dapet keringanan sih?” protes Gavin.
Kinan menatap Gavin sebentar lalu gadis itu kembali melanjutkan makan siangnya yang tertunda. Della yang berada di satu meja bersama Kinan pun hanya menatap sahabatnya itu heran.
“Nan, lo ada masalah apa si sama Gavin?” tanya Della namun tidak ada tanggapan dari Kinan. Della menghela napasnya pelan lalu kembali terdiam menyaksikan wajah Gavin yang sudah dipenuhi keringat dingin.
“Gavin!” suara lantang dan nyaring itu berasal tak jauh dari Gavin berdiri. Gavin memutar tubuhnya dengan sangat pelan, lalu meringis sembari menunjukkan dua jarinya. “Ampun bu,” ucap Gavin tanpa merubah ekspresinya.
“Kinan, bisa ikut ibu ke kantor BK dan kamu Gavin, ikut dengan saya!” Kinan hanya mengangguk lalu melenggang pergi menyusul Vania ke ruangannya, kemudian disusul oleh Gavin dengan langkah gontai.
“Kinan, laporan kamu sudah ibu terima. Gavin, ibu ingin mendengar langsung dari kamu.”
Gavin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari menatap Kinan yang terlihat tenang duduk tepat di sampingnya. Gavin baru menyadari ternyata benar apa yang dikatakan Pipin beberapa menit yang lalu, Kinan memanglah sosok gadis yang tidak pernah main-main dengan ucapannya.
“Gavin!” panggil Vania lagi disertai nada tinggi.
“Iya bu.” Gavin menatap Vania. “Menjelaskan apa bu? Memangnya ibu percaya sama Kinan? Jangan percaya bu, dia anaknya suka bohong.”
“Gavin, saya memanggil kamu di sini untuk menjelaskan kelakuan kamu selama satu hari sekolah di sini. Bukan untuk menjelek-jelekkan Kinan. Kinan itu ketua osis yang sangat bertanggung jawab, jadi jangan asal berbicara. Sekarang kamu jelaskan, mengapa jam istirahat kamu merokok di kantin belakang sekokolah? Kamu mau sekolah atau mau jadi jagoan sih?”
Lagi-lagi Gavin menggaruk tengkuknya yang memang sedari tadi tidak gatal sama sekali. Gavin kembali mengingat ucapan Pipin beberapa menit yang lalu, ternyata benar kecerewetan Vania melebihi Kinan.
“Saya … khilaf bu,” jelas Gavin yang tidak menimbulkan rasa puas sama sekali untuk Vania.
“Khilaf kamu bilang?” tanya Vania dengan mata yang membola.
Gavin kembali meringis, “Tidak bu, ini saya lakukan atas dasar keinginan saya pribadi dan saya sadar atas apa yang saya lakukan,” jelas Gavin kali ini membuat kepala Vania mengangguk-angguk.
Sedangkan Kinan, gadis itu mendengarkan secara seksama penjelasan Gavin yang menurutnya masih kurang memuaskan.
“Kinan, hukuman apa yang pantas untuk Gavin dan Pipin. Oh iya, Pipin kemana? Kenapa dia tidak ada di sini, bukankah dia juga terlibat dalam masalah ini? Gavin, kemana temen kamu yang sama bandalnya sama kamu itu?” tanya Vania dengan suara yang menggelegar bahkan Kinan berusaha menulikan telingannya tanpa menyentuh, namun tidak bisa. Sedangkan Gavin, lelaki itu dengan terang-terangan menutup telingannya, Vania yang melihat itu langsung mendelik tajam.
“Kamu kenapa? Kuping kamu tiba-tiba tuli setelah mendenger suara saya? Itu berarti secara tidak langsung kamu menghina suara saya cempreng?”
“Em … bukan seperti itu bu. Saya berbicara fakta, suara itu itu memang ….”
Kinan mencubit kaki Gavin hingga sang empu meringis kesakitan.
“Suara ibu bagus kok,” sambung Gavin cepat.
Vania menatap Kinan dan Gavin secara bergantian. “Kalian kenapa?” tanya Vania menatap keduanya mengintimidasi.
“Kita nggak kenapa-kenapa kok bu,” jawab Kinan cepat.
“Ya sudah kalian berdua bisa keluar dari ruangan saya. Oh ya, Kinan, tolong panggilkan Pipin ya anak itu benar-benar menyebalkan,” grutu Vania.
“Baik bu, saya permisi dulu.”
Vania hanya mengangguk lalu Kinan keluar dari ruangan kemudian disusul oleh Gavin di belakangnya.
“Kinan!” Gavin mengejar Kinan hingga lelaki itu mencekal lengan Kinan.
Kinan menepisnya dengan kasar hingga cekalan tangan itu terlepas. “Apaan lagi sih Vin, gua lagi buru-buru ke kelas mau manggil Pipin.”
Gavin membiarkan Kinan semakin menjauh darinya hingga tubuh kecil gadis itu hilang di telan tembok kelas.
Sesampainya di kelas, Kinan langsung mencari keberadaan Pipin. Kinan melihat Pipin tengah memainkann gawainya sembari mulutnya berkomat-kamit mengumpati game yang tengah dimainkan.
“Pipin.” Kinan langsung mengambil ponsel Pipin nampak lelaki itu ingin marah, namun ketika melihat yang merebut ponselnya adalah Kinan, lelaki itu langsung tersenyum lebar sampai deretan giginya terlihat.
“Eh ada Kinan, kenapa Kin?” tanya Gavin hanya sekedar basabasi.
“Lo dipanggil sama bu Vania,” ucap Kinan yang masih mempertahankan wajah datarnya.
“Kin, apa nggak ada keringanan gitu buat gua?” tanya Pipin menapilkan ekpresi memelasnya.
“Nggak!” jawab Kinan singkat.
Setelah berucap demikian, Kinan langsung melenggang pergi dari tempat Pipin lalu menuju bangkunya sendiri.
“Kenapa lagi sih?” tanya Della sembari meletakkan n****+ yang baru saja gadis dibaca.
“Biasalah,” jawab Kinan setelah meneguk air minumnnya.
“Nan.” Della menunjuk menggunakan dagunya. Kinan pun mengikuti arah tunjuk dari sahabatnya itu. Ternyata ada seorang gadis yang berdiri tidak jauh dari Kinan dan Della duduk sembari menatap keduannya dengan tatapan sinis.