4

1168 Words
Kinan sampai di kelasnya dengan wajah seperti biasa tanpa ekspresi. Della yang melihat sahabatnya berekspresi demikian hanya bisa menggelengkan kepalannya. Della melihat Kinan semakin mendekat lalu sahabatnya itu duduk tepat di sampingnya. “Nan, lo kenapa?” tanya Della posisinya menjadi menghadap Kinan. “Nggak pa-pa kok,” jawab Kinan tanpa merubah posisi duduknya. Della menghela napasnya pelan. “Nan, kita udah temenan berapa tahun sih?” tanya Della menatap Kinan nampak kecewa. “Gua siap kok jadi temen curhat lo, lo itu udah gua anggap sebagai kakak gua, Nan.” Kinan menghela napasnya pelan. “Maaf Del, bukannya gua nggak percaya sama lo, tapi gua nggak mau lo menaggung beban gua,” jelas Kinan mencoba menghilangkan pikiran buruk Della. Kinan tahu betul jika Della sangat menyayanginya melebihi sahabat, bahkan Kinan juga sudah dekat dengan ke dua orang tua Della sejak awal pertemuannya. Kinan sudah menganggap Della sebagai saudaran kadungnya sendiri, Della juga yang selalu mengingatkan Kinan jika jadis itu bertingkah melebihi batas. Sifat Della yang lemah lembut dan sabar, mampu membuat sifat Kinan yang keras sedikit melunak. Della mengusap punggung tangan Kinan dengan sayang. “Nan, apa pun masalah lo, gua bakalan bantu. Kalo lo nggak cerita masalah lo, gua sebagai sahabat merasa tidak berguna.” Kinan menggeleng cepat, menolak semua ucapan Della. “Lo satu-satunya orang yang gua percaya, Dell. Jadi, berhenti beripikiran buruk.” “Gua harap nggak ada lagi rahasia diantara kita!” ucap Della tegas. Pipin terlihat berjalan mendekat kearah Kinan dan Della dengan senyum yang menawan. Tangan besarnya membenarkan rambut undercutnya yang sedikit berantakan agar sedikit menjadi rapih karena ingin bertemu dengan sang pujaan hati. Della yang melihat Pipin dari kejauhan hanya bisa memutar bola matanya jengah. Cowok yang sering memakan batang rumput muda itu memang sudah mengincar Della sebagai target serangan selanjutnya. Namun, akibat kegigihan pendirian Della yang tidak ingin berpacaran sebelum lulus sekolah membuat Pipin sulit menggapai hati Della. “Hay, cantik,” sapa Pipin matanya mengedip genit. Tubuh tingginya didudukkan tepat di samping Della. “Kok mas Pipin dicuekin sih, dek?” Pipin mencoba mendorong tubuh Della untuk memberi ruang untuknya duduk. “Hai, ketos yang paling cantik tapi galak. Please dong, bilangin sama Della jangan ketus-ketus. Nanti mas Pipinnya sakit hati,” ucap Pipin menatap Kinan penuh memohon. Kinan menatap Pipn sembari memincingkan sebelah alisnya. “Kenapa gua?” tanya Kinan tanpa ekspresi. “Ya ampun, gini amat yak punya ketos. Nggak punya senyum,” keluh Pipin. “Beb,” Pipin mencolek dagu Della genit. “Apaan sih.” Della mengusap dagunya kasar seolah bekas colekan Pipin adalah najis. Pipin mencium bau jarinya sendiri. “Punya mas Pipin nggak bau kok dek, kenapa kamu kelihatan jijik banget sih? Ingatlah, mas ini adalah calon imammu yang akan membimbing menuju surga-Nya.” Lagi-lagi Della memutar bola matanya jengah, gadis itu lelah dengan segala gombalan receh yang selalu Pipin lontarkan untuknya. Nyatanya lelaki itu tidak bisa memegang ucapannya sendiri. Terbukti Pipin masih sering membolos, tidak menaati tata tertib sekolah dan lain sebagainnya. Pipin menatap Della sedih, karena selalu diabaikan dan diacuhkan seperti ini. Pipin tidak suka diperlakukan seperti itu. Pipin selalu bertanya kepada dirinya sendiri, apakah dirinya kurang tampan? Kurang kaya? Jika Della memilihnya sebagai suami, pastilah hidup gadis itu akan bahagia sampai mati. Pipin menghela napasnya kasar. “Dek, jangan acuhkan mas seperti ini. Sungguh hati ini.” Pipin menunjuk dadanya sendiri. “Perih dek, kau acuhkan aku, kau diamkan aku. Mas Pipin tidak bisa hidup tanpamu, dek Della,” ucap Pipin begitu nelangsa. Della yang mendengar kata picisan dari bibir Pipin hanya bisa mendengus kesal. Pipin memanglah pria yang tidak pernah tahu malu, lelaki itu selalu saja mempermalukan Della di depan umum, contohnya seperti saat ini, berkata picisan di depan semua teman-temannya degan suara lantang sampai semua isi kelas dapat mendengar semuannya. “Nan, tolongin gua dong. Usir kek nih orang, bikin naik darah aja,” bisik Della karena sudah terlanjur kesal dengan sikap Pipin yang selalu seenak hatinya. Kinan menghela napasnya pelan, lalu menatap Pipin tajam. Pipin yang ditatap setajam itu hanya bisa meringis kemudian menunjukkan dua jarinya berbentuk huruf ‘V’ seolah tengah meminta maaf. “Iya Nan, maaf. Dek Della, mas Pipin akan selalu menunggu jawabanmu, meskupun sampai lebaran monyet tiba,” ucap Pipin lalu melenggang pergi. Kepergian Pipin membuat Della bisa kembali bernapas lega. “Ya ampun Nan, kenapa nggak dari tadi sih. Rasanya gua pengen muntah denger segala ocehan dia.” Della mengomel kesal. Kinan terkekeh geli, “Masih aja si Pipin deketin lu. Padahal udah jelas-jelas lu nolak dia. Lonya sih terlalu kalem,” cibir Kinan. “Sekali-kali gertak dia biar nggak seenaknya lagi,” sambung Kinan. Della yang mendengar cibiran Kinan hanya bisa mendengus kesal. Tidak salah jika Kinan mencibir Della, sahabatnya itu terlalu pendiam sehingga tidak punya kata-kata untuk membungkam mulut Pipin. “Lo kan tau sendiri, gua orangnya nggak suka debat, Nan.” Della memutar tubuhnya menjadi membelakangi Kinan dengan perasaan kesal. Kinan memang selalu berkata demikian jika Della mendapat gangguan dari lelaki buaya itu, namun Della tetaplah seorang gadis yang kalem yang hanya bisa diam jika diganggu dan memilih untuk menghiundar dari pada menaggapi ‘mereka’ yang jelas-jelas kejiwaanya sedang terganggu. Kinan menghela napsnya pelan ketika melihat Della lebih memilih untuk memunggunginya. Kinan tidak bisa menyalahkan sikap Della yang mencari jalan damai, karena memang manusia diciptakan dengan karakter yang berbeda dan unik, tentunya. Pelajaran terakhir telah berlangsung beberapa menit yang lalu. Guru yang berada di depan menerangkan materi yang tengah dibahas, namun tiba-tiba perut Kinan terasa melilit dan terpaksa Kinan harus meninggalkan mata pelajaran untuk beberapa menit ke depan. Setelah kepergian Kinan dari kelas, tidak berselang lama Gavin pun juga ikut izin ke toilet. “Kenapa si Gavin ikutan ke toilet sih?” gumam Della. “Tapi, terserah dia juga mau ke kamar mandi atau nggak, toh juga bukan urusan gua. Tapi, kalo dia gangguin Kinan gimana ya?” sambung Della dalam gumamnya dengan menggigit jari telunjuknya sendiri. Kepanikan Della teralihkan ketika melihat segumpal kertas mengenai bahunya. Della mengambil kertas itu lalu membukannya perlahan. Mas Pipin khawatir tau dek ketika melihatmu menggigit jari telunjukmu sendiri. Kenapa sih? Ada masalah? Jangan bikin mas Pipin khawatir dong. Della melirik ke belakang tempat di mana Pipin duduk di situ. Della dibuat mendelik tajam ketika Pipin melayangkan kedipan sebelah matanya genit. Setelah mendapat pemandangan menjijikan dari Pipin, Della memilih untuk kembali pada posisi awal, namun sebelum itu Della kembali melemparkan kertas yang Pipin berikan untuknya tadi dalam bentuk yang sama. “Kenapa sekolah elit kaya gini bisa menampung orang gila kaya Pipin sih?” lagi-lagi Della bergumam sendiri. *** Kinan membuka pintu kamar mandi dengan helaan napas lega ketika sudah tidak merasakan perutnya melilit. Namun, kelegaanya musnah ketika melihat seseorang bertubuh jangkung tengah menyadarkan bahunya yang lebar di dinding kaca kamar mandi. Kinan mencoba tidak mempedulikan keberadaanya, Kinan berjalan begitu saja di hadapannya. Akan tetapi, tangan kecilnya dicekal dengan begitu kuat oleh lelaki itu. “Mau lo apa sih?” tanya Kinan dengan mata yang mendelik tajam. Wajahnya memrah menahan kesal. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD