LDR

1449 Words
Kepala Agatha tertampar punggung kursi kemudi seketika. Elizha pun demikian. Rasanya, tidak ingin untuk menyalahkan sopir, tapi memang itu salahnya karena tidak fokus. Agatha pun turun ke jalan. Ternyata, ada seekor kucing yang telah bercucuran darah tepat di depan ban mobilnya. Agatha bingung harus bagaimana. Bukan tanpa sebab, dia tidak tahu kucing tersebut ada yang memelihara atau hanya kucing jalanan. Warna langit yang tiba-tiba menggelap membuat kebimbangan Agatha semakin memuncak. Musim hujan begitu menyebalkan bagi sebagian orang, termasuk Agatha. Sebab, mempersulit kegiatannya yang selalu keluar rumah. Tapi, Agatha pun tidak lupa untuk mensyukuri hujan sebagai nikmat dari Tuhan. “Ma, bagaimana?” tanya Agatha dari balik jendela kala hujan telah turun secara rintik-rintik beraturan selayaknya alunan sebuah melodi. “Bawa pulang, saja,” jawabnya sembari mengelus dahinya yang terasa nyeri. Tidak mungkin seorang Agatha akan mengambil kucing mati berlumur darah dengan tangannya. Bukan apa, tapi Agatha tidak ingin terkena bakteri dari kucing yang tidak diketahui asalnya. Sebab, bisa jadi kucing tersebut kucing jalanan yang penuh dengan kuman. Akhirnya, Agatha menyuruh sopir pribadinya. Agatha seakan diuji kesabarannya, ternyata sopirnya tidak turun dari mobil malah dengan santainya memakan bakso tusuk yang dibelinya sejak tadi. Lawak sekali bukan? “Pak, bagaimana, sih, malah makan bakso. Ayo bantu Agatha,” kata Agatha sembari berkacak pinggang. Tiga puluh menit kemudian, Agatha telah sampai di rumah. Bersama dengan sopirnya membersihkan kucing yang telah ditabraknya. Setelah selesai di bersihkan, Agatha menguburkan kucing tersebut di belakang rumah. Setelah itu, Agatha membantu Elizha memasak untuk dibagikan kepada beberapa tetangganya. Konon, jika kita menabrak kucing dan meninggal, kita berkewajiban untuk mengubur dan mengurusnya dengan baik. Sekitar pukul setengah enam sore, Elizha dan Agatha membagikan makanan ke tetangga sebelah. Beruntung, sayuran dan daging ayam masih tersedia di kulkas. Andai, kulkas kosong, sudah dipastikan mereka akan berkeliling supermarket untuk mencari bahan makanan. Itu pun belum tentu mendapatkan barang yang dicari. “Tha, aku belum jadi pulang hari ini. Masih ada kerjaan yang memang harus diselesaikan di sini.” Agatha kesal membaca pesan dari Zakaria. Rasa rindunya telah menggebu tak sabar untuk jumpa. Tapi, sang kekasih sibuk dengan pekerjaannya. Apa dia tidak rindu? Sudahlah, rindu pasti ada, hanya saja dia tidak se-bu-cin Agatha. “Oke, LDR lagi,” jawab Agatha dengan malas menggunakan aplikasi chatting nomor satu. “Jangan manyun, nanti bisa-bisa aku tidak tahan untuk mencium, eh. Tha, gak apa LDR. Kamu tahu kan kepanjangan LDR?” balasnya melalui pesan suara. Agatha merasa tertantang dengan salah satu fitur itu. Tapi, manyun? Apakah dia seorang peramal? Mungkin, Zakaria telah mengubah profesi dari musisi menjadi peramal. Benar, Agatha memang sedang rebahan dengan bibir yang manyun seperti paruh bebek. Lucu, sih. Agatha mengirimkan pesan suara untuk membalasnya. “Tahu, kan Long Distance Relationship, kan?” jawab Agatha dengan memakai intonasi tinggi. “Nah, kamu itu suka banget ngegas. Gak patut anak perempuan seperti itu. LDR ... Ehm, bukan itu, Tha.” Itulah kalimat pertama yang terucap ketika sambungan telepon telah terhubung. Ketika itulah rasa marah yang melekat dalam hati Agatha runtuh seketika. Bahkan, di bibirnya tidak lagi mengerucut seperti bebek. Di sana terdapat senyuman yang manis seakan baru saja menjilati es krim rasa cokelat favoritnya. “Tha ... masih hidup, kan?” sambungnya. “Enak saja, ya masih hidup. Memang, mau kehilangan aku selamanya? Gak takut kesepian?” balas Agatha dengan nada yang begitu manja di telinga Zakaria yang sedang duduk di depan televisi. “Ha ha, kalau masalah kesepian, ya, enggak. Kan, banyak teman. Kerjaan juga banyak, Tha. Kalau kehilangan kamu, ya, jangan sampai dulu. Walaupun setiap yang bernyawa pasti mati. Tapi, aku berharap kita bahagia bersama dulu. Tha, mau tahu LDR itu apa?” “Apa memangnya?” jawab Agatha masih keruh hatinya. “Aku berharap hubungan kita mendapatkan layang doa restu,” balasnya dengan diselingi tawa. Restu, salah satu kata yang belum pernah terucap dari bibir Elizha ataupun Sandra. Seketika pikirannya melayang dengan reaksi ibu dan kakaknya yang sebenarnya tentang hubungan berbeda agama yang dijalaninya. Apa Agatha perlu mencoba bertanya tentang hal itu? Tapi, apa waktunya sudah tepat? “Kamu menerjemahkan judul lagu Jawa, ya?” balas Agatha. Walaupun genre lagu Agatha adalah pop, tapi bukan berarti tidak mengetahui lagu dengan genre lain. Apalagi, lagu yang begitu disukai oleh banyak orang. Tidak dipungkiri, lagu dengan genre dangdut sedang naik daun belakangan ini. Agatha pun mengakui hal itu. Dia juga tahu lagu-lagu bergenre dangdut. Apalagi, lagu berbahasa Jawa yang begitu trending. “Kok tahu?” tanyanya. “Iya, gini-gini juga harus melestarikan budaya sendiri, dong. Apalagi, Bahasa Jawa kan milik Indonesia yang patut untuk dijunjung. Bahkan, warga asing aja banyak yang tahu Bahasa Jawa, masa kita tidak mau untuk mencari tahu dan mempelajarinya, apalagi melestarikannya. Padahal, aku saja tidak bisa,” balas Agatha dengan tertawa. Menurut salah satu artikel yang dibaca di internet oleh Agatha, Bahasa Jawa digunakan di beberapa negara. Misalnya; Suriname, Belanda, dan masih ada beberapa negara lainnya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi hal  tersebut. Salah sarunya, faktor orang Jawa yang tinggal menetap di negara tersebut. Maka dari itu, seharusnya sebagai warga Indonesia, kita bisa menjunjung tinggi bahasa dan budaya yang dimiliki. “Hilih, apa kowe wis mangan?” tanyanya. “Mentang-mentang lagi di Yogyakarta terus sok-sok bisa pakai Bahasa Jawa. Coba itu artinya apa?” jawab Agatha sembari tersenyum. Memang, bukan pertama kalinya Zakaria menanyakan hal itu padanya. Tapi, Agatha ingin lebih diperhatikan oleh kekasihnya. “Apa kamu sudah makan?” “Kamu tanya itu salah orang. Ya, kali Agatha belum makan.” Dari balik pintu kamarnya, terdengar suara Elizha yang sedang memanggil nama Agatha. “Tha, makan malam dulu,” ujarnya dengan suara yang lumayan keras. Zakaria yang mendengar suara calon mertuanya dari balik telepon pun menahan kesal setengah tawa. Lucu, anak segede gajah masih belum mandiri. Makan saja masih harus dikejar-kejar ajakan ibunya. Kesal, sebab Agatha berbohong kepadanya. Padahal, Zakaria tidak menyukai dengan kebohongan, walaupun hanya hal kecil. “Zaki, sudah dulu. Sudah dipanggil Mama. Kamu pasti dengar, kan?” balas Agatha sembari tertawa. Dia meletakkan ponsel ke kasurnya. Kakinya melompat dari ranjang untuk berkumpul dengan ibunya. Di sana, mereka menyantap menu makan malam. Sesekali mengisi kehampaan dengan canda dan tawa. Dalam satu rumah, mereka hanya tinggal berdua. Sebab, Sandra jarang kembali ke Jakarta. “Tumben hp tidak ada di tangan. Biasanya harus ada, ketinggalan di kamar saja sudah ribut.” Elizha mengambil satu porsi soto buatannya ke mangkuk. “Mama kok selalu benar, ya? Hp aku tinggal di kasur,” jawab Agatha sembari menuangkan saus tomat ke mangkoknya. Soto hangat malam ditemani dengan air putih. Benar-benar menu yang sederhana. Tidak terlalu muluk, itulah yang diajarkan Elizha kepada anak-anaknya dalam segala hal. Sebab, sesuatu yang berlebihan tidak baik. Agatha kembali ke kamar. Mengambil gitar akustik miliknya. Memainkan sebuah nada lagu milik salah satu teman sesama penyanyi. Sampai akhirnya matanya meminta untuk dipejamkan. Agatha mengembalikan gitar ke dalam tas dan ke tempatnya. Kemudian, kembali merebahkan diri ke kasur. Memindahkan ponselnya ke meja samping ranjang. Keesokan harinya, tiba-tiba ada Zakaria di depan pintu rumahnya. Tangannya ke angkat dengan keadaan mengepal siap untuk mengetuk pintu. Bibirnya tersenyum manis melihat sosok perempuan yang begitu disayanginya. Sorot matanya berbinar bahagia. “Loh katanya masih di Yogyakarta?” “Ha ha, kena tipu. Enggak, sudah pulang. Sampai di rumah kemarin sore. Kangen gak?” tanyanya. “Kangen, tapi bukan sama kamu.” “Baiklah, yuk aku antar ke sekolah,” katanya sembari meraih tangan kanan Agatha. Mobil mereka berjalan ke arah sekolah Agatha. Di sepanjang jalan, mereka membahas banyak hal. Termasuk angan-agan ke depan tentang hubungan keduanya. “Tha, banyak belajar, dua minggu lagi ujian. Biar nilainya baik, kaya Febby itu loh suka baca.” “Iya, aku suka baca juga. Baca WA darimu.” “Kamu ini bu-cinnya akut banget.” Zakaria mencubit hidung Agatha dengan pelan. Begitu menggemaskan hidung Agatha yang mancung khas Eropa. Agatha memang berdarah blasteran. Antara Indonesia, China, dan Belanda. Begitu menawan dan menarik perhatian laki-laki yang melihatnya. Mereka telah sampai di depan gerbang sekolah. Agatha masuk ke dalam kelas. Sedangkan, mobil Zakaria berjalan ke arah kantornya. Di usianya yang masih muda telah berhasil mendirikan sebuah label musik yang telah diikuti oleh beberapa penyanyi. “Belajarnya yang benar, jangan kebanyakan halusinasi sama idol itu.” Agatha yang sedang duduk di kursinya tak bisa berhenti tersenyum. Hatinya serasa dikelilingi kupu-kupu. Perasaannya terkesima dengan pesan yang diterima dari Zakaria pagi itu. Benar, hobi baru bagi Agatha adalah menghalu-kan sosok artis yang berasal dari Korea itu. “Agatha! Berdiri nyanyi lagu kebangsaan,” kata guru yang memakai kemeja batik. Agatha menengok ke arah kanan kiri, ternyata memang sudah siap untuk menyanyikan lagu kebangsaan. Sebuah rutinitas wajib setiap pagi. Agatha menunduk lalu berdiri kikuk. Ternyata gurunya telah memasuki ruangan kelas sejak dua menit yang lalu. Saking senangnya, Agatha tidak merasakan kehadiran gurunya.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD