Andai Jadi Janda

1200 Words
“Perempuan sialan. Berani sekali mengabaikanku,” umpat Samudra jengkel merasa dipermainkan oleh Naomi. Sambungan telepon ditutup sebelah pihak tanpa pamit dan ketika dihubungi kembali malah ditolak. Samudra benar-benar depresi. Dia tidak tahu keadaan anaknya bagaimana dan apa yang sedang dilakukan Zahwa sekarang. Selama ini Zahwa selalu ada dalam jangkauannya, tapi hari ini malah hilang tanpa jejak. “Tuan, kita akan ke mana lagi?” tanya Pak Tano. “Kita pulang!” Hari ini Samudra benar-benar dirugikan. Sudah tidak bisa datang ke Sumatra Utara untuk peresmian klinik kecantikan barunya, dan sekarang dia juga tidak dapat menjemput putrinya lagi. “Di mana Zahwa, Sam?” Bu Widia gegas keluar dari rumah begitu mendengar suara mobil putranya. Setelah mengetahui Zahwa hilang dari sus Rini, perasaan Bu Widia langsung kacau balau. “Seseorang telah menculik anakku, Ma.” “Apa?” Bu Widia terperanjat. “Bagaimana bisa? Apa kamu sudah melapor ke polisi?” “Aku sudah menghubunginya, tapi perempuan sialan itu sengaja tidak memberikan izin untukku menjemput Zahwa.” Bu Widia melongo. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan putranya sehingga dia terus menatap butuh penjelasan, dan Samudra pun menjelaskan secara detail mengenai apa yang telah terjadi. “Astagfirullah. Kamu lakukan kesalahan apa sampai perempuan itu enggan menyerahkan Zahwa padamu?” “Aku hanya sedikit memarahinya karena tidak menjawab panggilanku.” “Ya Allah, kenapa attitude-mu buruk sekali? Harusnya kamu tanya dulu alasan dia tidak menjawab panggilan darimu.” “Bukan attitude-ku yang buruk, Ma, tapi perempuan itu cari masalah. Harusnya dia langsung kasih alamat rumahnya.” “Perempuan pasti akan marah jika dibentak duluan. Harusnya kamu bisa bicara baik-baik. Dia punya niat baik loh dengan menyerahkan kartu namanya pada petugas keamanan mall supaya kamu bisa menghubunginya. Mama yakin dia tidak menjawab panggilanmu pasti ada alasan. Bisa saja lagi mandi, kan?” ujar Bu Widia menjelaskan nilai positif Naomi pada Samudra yang ditutupi awan kemarahan. “Sudahlah, Ma. Jangan membela dia! Dia bukan perempuan baik-baik,” balas Samudra melangkah masuk, kemudian duduk di sofa seraya menyandarkan kepalanya pada kepala sofa. “Kenapa kamu jadi ke mana-mana? Bagaimana bisa menilai orang, bahkan kamu sendiri belum mengenalnya?” “Dari penjelasan suami dan ibu mertua dia saja sudah jelas kalau dia bukan perempuan baik-baik. Terlebih dia menghalangiku untuk menjemput Zahwa.” Bu Widia menghela napas seraya menggeleng kepala pelan. “Mana nomor perempuan itu, biar Mama yang hubungi dia.” Samudra merogoh sakunya untuk mengambil ponsel, kemudian menyerahkan pada ibunya yang segera diambil dan menghubungi Naomi dengan menggunakan ponsel pribadi, bukan milik Samudra, takut ditolak lagi. “Assalamu’alaikum, ini dengan mbak Naomi?” Bu Widia begitu sopan dan ramah berbicara saat sambungan telepon tersambung. “Wa’alaikum salam. Benar. Saya Naomi.” “Alhamdulillah, saya Widia, neneknya Zahwa.” “Awa ya?” “Iya, benar sekali. Saya ingin menjemput cucu saya, bisa kita bertemu?” “Bisa, Bu. Nanti saya share loc … tapi tolong bapak tadi jangan sampai datang ya!” “Ada apa?” tanya Bu Widia matanya menatap lekat wajah putranya yang ikut penasaran dengan obrolan mereka. “Saya tidak suka dengan sikap kasarnya,” jawab Naomi berterus terang. “Baiklah kalau begitu, saya akan datang bersama dengan sopir saya.” Sambungan telepon terputus, detik kemudian Bu Widia melihat pesan masuk dari Naomi yang berisi alamat rumah. “Gimana? Dikasih alamatnya?” tanya Samudra penasaran. “Dikasih dong. Tapi kamu tidak diizinkan datang.” “Apa? Kenapa seperti ini?” Manik mata Samudra membelalak. “Salah sendiri kenapa bersikap kasar pada perempuan … sudah, sebaiknya kamu mandi! Biar kepalamu agak dingin, tidak tersulut emosi lagi,” titah Bu Widia. Setelah itu dia mengambil tasnya kemudian memanggil Pak Tano untuk mengantarnya ke alamat yang dikirim Naomi. Hanya butuh 15 menit perjalanan, Bu Widia sudah tiba di rumah yang dituju. Dia segera masuk dan menemui Naomi. Sekelebat kemudian, Bu Widia malah dikagetkan dengan wajah wanita yang pernah dia lihat dengan jelas saat temannya mengirim video curhat di pengajian. “Omaaa …” teriak Zahwa membuat lamunannya buyar dan menoleh pada cucunya yang berlari menghampirinya. “Cucu Oma.” Bu Widia menunduk dan memeluk Zahwa. “Oma mau jemput Awa ya?” “Iya.” “Tapi Awa mau di cini cama Oti. Boyeh ya, Oma.” Bu Widia terkejut menoleh pada Naomi. “Awa, sebaiknya pulang sama Oma ya! Kasihan loh Oma sudah datang jauh-jauh,” bujuk Naomi tidak enak juga dengan Bu Widia, takutnya disangka meracuni pikiran Zahwa. “Oti ucil Awa?” tanya Zahwa. Kedua manik mata seketika berembun membuat Naomi cemas. “Bukan begitu, Sayang … Awa bisa datang lagi ketemu Aunty, tapi sekarang Awa pulang dulu sama Oma.” “Gak mau,” jawab Zahwa dengan tegas menggeleng kepala. Terlalu nyaman di sisi Naomi karena bisa merasakan kehangatan seorang ibu, jadinya Zahwa enggan beranjak sedikitpun. “Duh, Bu, ini gimana?” tanya Naomi menatap Bu Widia dengan wajah memelas, takut Bu Widia malah salah paham seperti putranya. Lantas Bu Widia malah tersenyum. “Saya tidak keberatan Zahwa tinggal di sini. Tapi bagaimana dengan …” “Naomi.” “Iya, bagaimana dengan Nak Naomi sendiri?” “Saya tidak masalah. Malahan senang ada teman. Tapi, apa gak bahaya?” Naomi masih saja resah dengan ayahnya Zahwa yang ketus. “Bahaya?” “Iya, saya gak mau diomeli sama ayahnya Awa lagi, Bu. Masalah saya saja sudah bikin saya pusing, malah ditambah lagi dengan omelan ayahnya Awa,” ujar Naomi berterus terang. Seketika Bu Widia dapat memahami alasan Naomi marah pada putranya. Dia bisa menjamin bahwa kesalahan yang memicu kemarahan ini ada pada putranya, bukan pada Naomi. “Kamu jangan khawatir! Sam biar saya yang urus,” ucap Bu Widia meyakinkan Naomi. Naomi pun hanya mengangguk pelan dalam keragu-raguannya. “Zahwa, baik-baik ya di sini! Oma pulang dulu! Ingat, jangan nakal! Jangan merepotkan Aunty!” Bu Widia menasihati cucunya sebelum pamit. “Baik, Oma.” Bu Widia berpamitan pada Naomi karena dia tidak mungkin berada lebih lama lagi di sana karena sebentar lagi mau magrib. Datang dengan tangan kosong, pulang pun dengan tangan kosong. Tapi setidaknya hatinya sudah lega ketika melihat langsung orang yang mengurus cucu kesayangan. Namun, sesaat setibanya di rumah, Bu Widia langsung diinterogasi oleh Samudra karena tidak berhasil membawa pulang anaknya. “Ma, Zahwa mana?” “Dia menginap di rumah Naomi.” “Apa? Aku gak salah dengar, kan?” pekik Samudra kaget. “Mama yang izinkan. Kamu jangan katakan yang tidak-tidak pada Naomi! Kasihan dia. Dia tidak seburuk yang kamu pikirkan,” ujar Bu Widia menasihati putranya untuk tetap menjaga amarah. “Mama, kenapa ngomong seperti itu? Apa perempuan itu sudah mengacaukan pikiran Mama?” selidik Samudra penasaran dengan tingkah ibunya yang tidak seperti biasa. Biasanya paling tidak mudah memuji seseorang yang tidak dikenal, tapi sekarang malah sebaliknya—mencekal Samudra untuk tidak berkata kasar pada Naomi. “Kamu ini su’udzon saja dari tadi. Mama sudah katakan kalau dia itu anak baik. Bahkan Zahwa sangat menyukainya. Andai dia seorang janda, pasti akan Mama minta kamu untuk menikahinya,” ujar Bu Widia secara spontan, sontak membuat kedua mata Samudra membelalak. “Ma!” “Andai, Sam. Bukan kenyataan. Tapi bisa saja jadi kenyataan," jawab Bu Widia begitu enteng, lagi-lagi membuat Samudra kaget. “Mama!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD